Minggu, 11 September 2011

UJIAN NASIONAL YANG DIBUAT ANGKER

Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) selalu mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat. Dengan berubah-ubahnya sistem kelulusan UN di satu sisi dapat dilihat sebagai upaya perbaikan yang dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) agar UN lebih berkualitas dan lebih adil, sedangkan di sisi lain hal ini dapat dilihat sebagai kebijakan trial and error. Para siswa diibaratkan kelinci percobaan dalam sebuah laboratorium ujian bernama Ujian Nasional.
Dibalik tujuan mulia UN untuk meningkatkan kualitas pendidikan, ada sisi lain yang menurut penulis tidak bisa diabaikan. Yaitu berbagai aturan atau hiruk pikuk yang justru menganggu psikologis siswa, tidak terlalu relevan, dan berlebihan-lebihan sehingga dikhawatirkan akan berdampak terhadap siswa. UN yang membutuhkan konsentrasi dan ketenangan, justru dibuat menjadi angker dan penuh ketegangan.
Beberapa hal  tersebut antara lain; pertama, adanya kegiatan istigotsah atau do’a bersama. Penulis bukannya anti istigotsah. Penulis pada dasarnya setuju dengan istigotsah. Allah SWT memerintahkan semua hamba-Nya untuk berdo’a pada-Nya. Tetapi harus diposisikan secara proporsional. Kegiatan tersebut mengesankan bahwa siswa akan mengadapi sebuah perang besar, atau sedang menghadapi musibah yang luar biasa. Dzikir dan do’a pada saat istigotsah memang bertujuan untuk meminta kekuatan lahir dan bathin, ketenangan jiwa, serta agar kegiatan berjalan lancar tetapi apakah ditekankan kepada bahwa istigotsah hanyalah salah satu bentuk ikhtiar agar siswa lulus UN selain belajar sungguh-sungguh? Selian itu, apakah siswa diberikan pemahaman selain siap lulus, juga harus siap ketika kenyataannya mereka tidak lulus meskipun sudah melakukan istigotsah karena mungkin Allah memiliki rencana lain.
Pemandangan ironis yang sering kita lihat adalah ketika mau UN, para siswa melakukan istigotsah memohon pertolongan kepada Allah tetapi ketika selesai UN, bukannya bersyukur kepada Allah, tetapi banyak yang melakukan tawuran, aksi kebut-kebutan, mencurat-coret pakaian seragamnya, dan menganggu ketertiban umum seolah mereka sudah lulus padahal keputusan kelulusannya belum jelas. Suatu hal yang sangat tidak disukai oleh Allah.
Kedua, pelibatan atau pengamanan polisi yang terlalu berlebihan. Soal UN adalah dokumen milik negara dan bersifat rahasia. Sebenarnya wajar jika ada pelibatan polisi mulai dari proses pencetakan dan pengiriman soal. Tetapi, yang menurut penulis nilai terlalu berlebihan adalah soal-soal UN tersebut diinapkan di markas polisi.
Ketika sudah dikirim ke titik bongkar, ruangannya dikunci, disegel, dan dijaga polisi. Kemudian pelaksanaan UN di sekolah juga dijaga ketat polisi. Bahkan, beberapa tahun lalu di sebuah kota, aparat Densus 88 pernah datang ke sekolah untuk “menggerebek” guru-guru yang sedang membetulkan jawaban-jawaban siswa. Bak para tersangka teroris, guru-guru di gelandang ke markas polisi dan disangka melakukan kecurangan UN. Berkaitan dengan hal tersebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta pengawasan polisi tidak berlebih-lebihan dalam pengawasan UN karena hal ini menjadi “teror psikologis” kepada siswa. Dulu, waktu masih bernama EBTANAS pun hampir tidak pernah ada kasus kebocoran soal, pencurian soal, dan pelibatan polisi yang berlebihan. Polisi berjaga-jaga di sekolah hanya disaat pengumuman kelulusan untuk mengantisipasi tindakan anarkis dari siswa yang tidak lulus. Pelibatan polisi yang banyak tentunya memakan anggaran yang besar pula.
Selain itu, pelaksanaan UN juga menjadi semacam reality show bagi pejabat daerah untuk melakukan peninjauan ke sekolah-sekolah. Belum lagi wartawan yang meliput. UN yang harusnya berjalan tenang, justru diwarnai dengan hiruk-pikuk orang-orang. Jika keadaannya seperti itu, justru akan menganggu dan membuat siswa bertambah tegang disaat mereka membutuhkan konsentrasi menjawab soal-soal UN.
Ketiga, selain dijaga ketat oleh polisi, UN juga diawasi oleh tim dari Perguruan Tinggi. Dari hari pertama sampai dengan hari terakhir mereka mengawasi dan memastikan tidak ada kecurangan UN di sekolah. Dan petugas pun harus mengawal penyerahan UN dari sekolah ke tempat pemindai Lembar Jawaban Komputer (LJK). Bahkan untuk memantau dan memastikan tidak ada kecurangan, sejumlah sekolah di Kota Depok dipasangi kamera CCTV. Dengan kondisi seperti ini, siswa menjadi tidak nyaman, merasa terus diawasi, dan merasa tidak dipercayai.
Keempat, adanya variasi paket soal. Beberapa tahun sebelumnya soal UN hanya dibuat dalam dua paket, yaitu Paket A dan B.  Pada UN tahun ini, soal UN dibuat menjadi lima paket. Hal ini dilakukan oleh pemerintah untuk mengantisipasi beredarnya “serangan fajar” kunci jawaban UN di kalangan siswa. Jika pun kunci jawaban UN beredar, maka akan cukup membingungkan dan dapat menjebak siswa karena variasi soal cukup banyak. Walaupun memiliki tingkat kesukaran yang relatif sama, penulis berpendapat bahwa paket soal yang relatif banyak akan menyulitkan pengawas dalam menyusun LJK dan berpotensi terjadinya kesalahan pada saat pemeriksaaan/pemindaian LJK.  Hal itu tentunya akan merugikan siswa. Selain kemungkinan kendala teknis, hal yang perlu dipertimbangkan adalah mengenai biaya penyusunan dan pencetakan soal yang paketnya bervariasi tersebut membengkak. Anggaran UN tahun ini sebesar kurang lebih 500 miliar tentunya ada pos anggaran untuk penyusunan dan pencetakan soal.
Ketidakpercayaan
Diakui atau tidak, pengawasan yang ketat dan berlapis-lapis dari pemerintah dan aparat kepolisian dilandasi oleh ketidakpercayaan pemerintah terhadap sekolah. Kita tidak menutup mata bahwa UN diwarnai oleh berbagai kecurangan. Dibalik Prosedur Operasional Standar (POS) UN yang telah dibuat pemerintah dan ketatnya pengawasan dari berbagai pihak, masih saja ada sekolah yang membentuk “Tim Sukses” yang bertujuan untuk “membantu” siswa menjawab soal-soal UN. Hal inilah yang perlu diperbaiki. Dibentuknya “Tim Sukses” merupakan bentuk dari ketidakpercayaan diri sekolah, takut jika ada siswa yang tidak lulus dan berakibat menurunnya citra sekolah di mata masyarakat. Selain itu, tidak dapat dipugkiri juga sekolah tertekan oleh orang tua dan pemerintah daerah agar kelulusan UN mendekati 100%. Janji Mendiknas, Muhammad Nuh yang akan reward bagi daerah yang kelulusannya di atas 80% juga memungkikan tiap daerah untuk meningkatkan angka kelulusannya walaupun dengan menghalalkan segala cara. Bahkan dengan proporsi kelulusan siswa ditentukan sebanyak 40% oleh Ujian Sekolah dan nilai raport pun tidak menutup kemungkinan sekolah mendongkrak nilai US atau raport.
Budaya Menyontek
Walaupun sudah jelas berbagai larangan yang ditujukan bagi peserta UN seperti membawa HP dan menyontek, tetapi hal itu tetap saja terjadi seperti yang diberitakan di beberapa media. Para pengawas pun seperti yang tidak terlalu memperdulikan kelakuan siswa tersebut. Ancaman Mendiknas, Muhamad Nuh yang akan mendelete peserta UN yang mencontek dan menurunkan akreditasi sekolah terbukti curang tampaknya tidak menyurutkan perilaku mencontek saat UN.
Budaya menyontek merupakan budaya laten yang terjadi bukan hanya pada saat UN, tetapi pada saat ulangan pun, siswa terbiasa menyontek. Bahkan bangsa kita pun diakui atau tidak sudah menjelma menjadi bangsa penyontek dan miskin kreativitas. Misalnya membajak hak cipta orang lain, memalsukan barang-barang, melakukan plagiarisme (penjiplakan) karya ilmiah. Mencontek sebenarnya adalah bibit dari perilaku korup yang saat ini menjadi sosial yang parah di negeri kita.

Penulis, Guru SMP Madani KBB, Pegawai LPMP Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar