Minggu, 11 September 2011

ANOMALI DANA BOS

Pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dihadapkan pada anomali (ketidaknormalan). Salah satunya adalah dalam hal sering lambatnya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dari mulai dana BOS digulirkan oleh pemerintah untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah  sejak beberapa tahun yang lalu, pencairan hampir dipastikan selalu terlambat. Yang menjadi kendala klasik biasanya adalah masalah birokrasi yang panjang dan berbelit-belit atau kendala administratif. Penyaluran dana BOS saat ini dari pemerintah pusat melalui pemerintah Kabupaten/Kota yang seharusnya mempermudah birokrasi, ternyata memperpanjang rantai birokrasi.
Dengan selalu terlambatnya pencairan dana BOS pada tiap tahun seolah-olah pemerintah tidak pernah mau belajar dari keruwetan soal mekanisme pencairan dana BOS. Mengapa prosedur yang selalu dijadikan kambing hitam dari lambatnya pencairan dana BOS Padahal dana BOS sangat diperlukan oleh sekolah.
Jika kita melihat realita di lapangan sungguh sangat memprihatinkan dimana sekolah-sekolah yang operasionalnya sangat bergantung kepada dana BOS kelimpungan mencari dana talangan untuk membiayai operasional Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dan membayar honor guru swasta. Kepala Sekolah harus memutar otak, nganjuk-ngahutang kesana kemari. Bahkan kalau sekolah tidak memiliki dana talangan, maka para guru honorer pun harus legowo honornya terlambat dibayar sampai berbulan-bulan padahal honor itu adalah tumpuan hidup mereka. Untuk menutupi kebutuhan, terpaksa mereka pun gali lobang tutup lobang. Jika sekolah diibaratkan sebuah rumah tangga, maka Kepala Sekolah sebagai Kepala Rumah Tangga harus bertanggung jawab untuk memastikan bahwa operasional sekolah dapat berjalan walaupun sekolah tidak memiliki uang. Seorang Kepala Sekolah dituntut harus kreatif dan memiliki inisiatif bagaimana caranya mendapatkan dana talangan.
Penulis punya teman seorang Bendahara Sekolah. Dia menceritakan bahwa dalam setiap laporan SPJ-BOS selalu saja terlampir Surat Perjanjian Peminjaman Sementara antara pihak sekolah (peminjam) dengan pihak lain (pemberi pinjaman). Kalau tidak meminjam, sekolah ini tidak bisa memenuhi kebutuhannya. Katanya, sekolah biasanya meminjam kepada guru yang dinilai secara ekonomi mampu atau kenalan Kepala Sekolah. Pinjaman tersebut nanti dibayar jika dana BOS sudah cair. Seorang lagi teman penulis pernah bercerita bahwa Kepala Sekolah di sekolah tempatnya bertugas terpaksa menggunakan uang tunjangan profesi yang seharusnya dinikmatinya untuk membiayai operasional sekolah dan membayar honor guru.
Jika para pemegang kebijakan pendidikan di negeri ini mau melihat secara objektif kondisi riil lapangan, sungguh besar dampak dari terlambatnya pencairan dana BOS ini. Memang, sekolah tidak ada yang bubar atau yang meliburkan siswanya karena dana BOS terlambat cair. Tetapi kegiatan operasional sekolah sangat terganggu, berjalan seadanya, guru-guru mengajar tanpa motivasi karena honornya telat, dan sebagainya. Nu penting barudak sarakola, masalah efektivitas pembelajaran mah itu soal lain. Itulah kira-kira kalimat yang terlontar dari para pengelola sekolah sambil berharap-harap cemas menunggu cairnya dana BOS.
Sekolah memang dihadapkan pada dilema dimana di satu sisi sekolah dilarang oleh pemerintah memungut biaya kepada orang siswa dengan alasan apapun, tetapi di sisi lain dana BOS pencairannya selalu terlambat. Jika ada sekolah yang memungut biaya pasti saja ramai dan disorot oleh media dan masyarakat. Sekolah menjadi serba salah dan takut mengambil resiko.
Gembar-gembor pendidikan gratis pun telah membius masyarakat seolah-olah semuanya serba gratis. Padahal ada pos-pos tertentu yang pembiayaannya mungkin tidak cukup sehingga membutuhkan peranserta orang tua siswa atau masyarakat. Teorinya memang sekolah boleh menerima sumbangan dari orang tua atau masyarakat secara sukarela. Tetapi pertanyaannya, berapa persen orang tua yang secara sukarela menyumbang kepada sekolah? Ketika orang tua datang ke sekolah anaknya dan melihat ruang kelas anaknya bocor atau mau ambruk, apakah hatinya langsung tergerak ingin membantu sekolah dengan dana atau dengan tenaga? belum tentu. Justru pertanyaan yang muncul dari orang tua antara lain, mengapa sekolah ini mau roboh? Apakah sudah mengajukan usulan perbaikan kepada pemerintah? Mengapa pemerintah kok belum membantu rehab sekolah ini? sangat jarang orang yang bertanya, apa yang bisa saya bantu untuk perbaikan sekolah ini?
 Jika kita perhatikan, pencairan dana yang terlambat bukan hanya pada dana BOS. Dana-dana lain seperti subsidi Ujian Nasional (UN), biaya untuk Penerimaan Siswa Baru, dan tunjangan profesi guru juga selalu terlambat. Pertanyaannya adalah apakah keterlambatan ini sesuatu yang disengaja atau karena kendala birokrasi? Apakah keterlambatan dianggap sebagai hal yang biasa atau hal yang perlu diperbaiki? Pemerintah tentu perlu menjawabnya bukan dengan retorika tetapi dengan langkah nyata.
Penyederhanaan Mekanisme
Penulis yakin pada dasarnya pemerintah memiliki komitmen untuk memperbaiki mutu pendidikan termasuk memberikan pelayanan pendidikan dasar gratis bagi masyarakat sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945. Salah satu langkahnya adalah pemberian dana BOS. Selalu terlambatnya pencairan dana BOS ke sekolah adalah hal yang perlu diantisipasi dan sekaligus meknismenya perlu diperbaiki atau disederhanakan. Penggunaan anggaran negara memang tidak bisa sembarangan. Penggunaannya harus mengikuti sejumlah ketentuan mulai dari proses pembahasan sampai kepada proses pencairannya. Penggunaan atau pencairan dana yang tidak sesuai dengan aturan tentu termasuk kepada pelanggaran hukum. Banyak pejabat yang terjerat korupsi bukan disebabkan karena dia makan uang negara secara langsung, tetapi karena keliru dalam menerapkan kebijakan yang berkaitan dengan keuangan. Kekeliruan tersebut terjadi bisa karena disengaja atau juga karena ketidakfahaman menafsirkan peraturan. Hal ini juga menimpa kepada pejabat daerah atau Kepala Sekolah yang terkena sangkaan atau dakwaan korupsi dana BOS.
Di tengah rumitnya  mekanisme pencairan dana BOS yang berimplikasi kepada lambatnya pencairan dana BOS, para penyelenggara negara khususnya aparat birokrasi pendidikan seharusnya menyadari perannya sebagai pelayan masyarakat. Semua ketentuan atau peraturan yang sekiranya mempersulit perlu disederhanakan sepanjang itu untuk kepentingan masyarakat. Toh, peraturan bukanlah kitab suci yang sakral dan “haram” untuk diubah. Peraturan adalah produk manusia yang tujuannya untuk mengatur ketertiban masyarakat. Peraturan tidak ada yang absolut, peraturan justru bersifat relatif bisa dibuat, diubah, atau bahkan dicabut sesuai tuntutan zaman.
Para birokrat pendidikan kita perlu berpikir untuk menjadi birokrasi yang mempermudah bukannya mempersulit, tetapi tidak memudah-mudahkan. Jangan sampai keterlambatan pencairan dana BOS menjadi hal yang rutin terjadi setiap tahun. Kebiasaan yang kurang baik selama ini adalah pemerintah baru bergerak untuk mempercepat pencairan dana BOS kalau sudah banyak disorot oleh media dan jika sudah banyak sekolah yang menjerit dan limbung menutupi kebutuhan dana operasional. Jangan sampai terjadi anomali, disatu sisi sekolah dituntut untuk memberikan pelayanan pendidikan terbaik kepada masyarakat tetapi disisi lain kebutuhannya tidak diberikan tepat waktu.
Ketika dana BOS cair, sekolah di satu sisi senang. Bisa membayar hutang, bisa membayar honor guru, dan bisa membeli berbagai kebutuhan sekolah. Tetapi di sisi lain, ada hal yang membuat Kepala Sekolah pusing. Salah satunya adalah kedatangan orang yang mengaku wartawan atau aktivis Lembasa Swadaya Masyarakat (LSM) yang berdalih silaturahmi, melakukan monitoring dana BOS, dan berbagai alasan lainnya tetapi ujung-ujungnya menjual koran, majalah, kalender, ballpoint dengan harga yang jauh di atas standar harga pada umumnya atau menyodorkan proposal kegiatan. Bahkan sebelum dana BOS cair pun, para wartawan yang umumnya berasal dari media yang hampir tidak dikenal masyarakat dan dijual secara umum sudah datang berbondong-bondong. Ujung-ujungnya, Kepala Sekolah eleh deet dengan sekedar memberikan uang bensin kepada mereka.
Dalam surat kabar lokal Bandung, Penulis pernah membaca berita bahwa setelah dana BOS cair, sekolah di Kabupaten Bandung harus membeli foto Bupati dan Wakil Bupati Bandung yang kemudian dihentikan karena menjadi polemik dan ramai diberitakan media. Selain itu, ada sekolah yang harus berlanggan 49 media (koran dan majalah). Kebanyakan dari koran dan majalah tersebut tidak jelas oplahnya dan tidak dijual secara umum. Pertanyaannya, bagaimana cara sekolah mempertanggungjawabkan uang yang dipakai untuk berlangganan koran dan majalah tersebut sementara tidak dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBS) Sekolah? Hal tersebut membuat Kepala Sekolah pusing.
Kita menghormati wartawan sebagai sebagai profesi yang mulia dan terhormat, tetapi wartawan yang memang benar-benar profesional, berasal dari media yang resmi, punya integritas dan kredibilitas. Pers adalah pilar keempat demokrasi. Pers selain berfungsi sebagai penyampai informasi juga sebagai bentuk kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan publik. Keberadaan pers adalah sebuah keniscayaan di sebuah negara demokrasi seperti Indonesia. Wartawan adalah corong publik untuk memperoleh informasi. Profesi wartawan perlu mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Nomor 49 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik sebagai etika profesi wartawan.
Sekolah sebagai sebuah institusi publik memang harus melakukan akuntabilitas publik berupa menyampaikan informasi secara terbuka kepada publik. Sekolah tidak boleh anti atau alergi terhadap wartawan atau aktivis LSM, tetapi perlu ada aturan main yang jelas, penegakkan kode etik, dan hubungan yang saling menghormati. Soalnya terkadang cara wartawan atau aktivis LSM menggali informasi kepada sekolah tak ubahnya seperti seorang auditor dan sedang melakukan investigasi, kurang beretika, cenderung mengancam dan ujung-ujungnya meminta sejumlah imbalan. Hal tersebut tentunya mencoreng citra wartawan.
Setiap organisasi wartawan perlu membina para anggotanya untuk berperilaku sesuai etika profesinya dan memberikan sanksi tegas jika ada anggotanya yang melanggar kode etik demi menjaga harkat dan martabat profesi wartawan. Semoga!!!
Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Sosial.
(Tulisan ini dimuat di HU Galamedia, 6 Mei 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar