Sabtu, 10 September 2011

ADA PENDIDIKAN KARAKTER DI PIALA DUNIA AFSEL

Tanggal 11 Juni sampai dengan 11 Juli 2010 berlangsung Piala Dunia di Afrika Selatan (Afsel). 32 negara akan bersaing merebut supremasi tertinggi sepak bola dunia tersebut. Event sepak bola terbesar tiap empat tahunan tersebut disambut dengan suka cita oleh seluruh manusia penghuni jagad raya. Selama sebulan penuh kita akan dihibur oleh permainan tingkat tinggi para pemain sepak bola kelas dunia. Bukan hanya permainan yang berkualitas, tiap-tiap pertandingan juga akan dinantikan dengan penuh harap-harap cemas oleh para penggemarnya.
Sepak bola adalah olah raga yang paling digemari di seluruh dunia. Bahkan di beberapa negara, sepak bola diperlakukan seperti agama atau kepercayaan. Di Argentina, misalnya, ada sekelompok masyarakat yang menyembah patung legenda sepakbola Diego Armando Maradona yang terkenal dengan gol “tangan tuhan” di Piala Dunia 1986.
Jika kita telaah, perhelatan Piala Dunia Afsel 2010 bukan hanya persaingan menjadi juara dunia saja. Tetapi, dalam konteks pendidikan khususnya pendidikan karakter ada beberapa hal yang dapat kita ambil pelajaran dari pagelaran akbar sepak bola tersebut. sedikitnya, ada delapan nilai pendidikan karakter yang dapat kita ambil jadi pelajaran. Pertama, nasionalisme dan partiotisme. Setiap tim yang berlaga membawa nama negaranya. Ada kebanggaan dan kehormatan tersendiri dari seorang pemain yang dipanggil membela tim nasionalnya. Dia akan berjuang mati-matian dan memberikan yang terbaik untuk dapat menjuarai Piala Dunia. Peluh keringat, rasa capek, dan cedera yang diderita adalah bukti pengorbanan dalam berjuang membela panji negaranya.
Kedua, sportivitas dan kejujuran. Setiap tim yang berlaga di Piala Dunia tentunya sama-sama bersaing untuk dapat menjuarai turnamen bergengsi tersebut. Tetapi, persaingan tersebut harus menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas dan kejujuran, tidak menghalalkan segala cara. Perbuatan yang tidak sportif akan mencederai hakikat dari sepak bola itu sendiri. Oleh karena itu, setiap tindakan yang melanggar nilai-nilai sportivitas seperti penggunaan doping, diving di kotak pinalti, dan pengaturan skor akan diberi sanksi tegas. Prestasi yang dicapai dengan sportif dan jujur tentunya akan sangat bermakna dan membanggakan.
Ketiga, motif berprestasi. Tim yang bertanding di Piala Dunia tentunya memiliki tujuan yang sama yaitu memenangi Piala Dunia. Masing-masing negara memanggil para pemain terbaiknya untuk memperkuat negaranya. Untuk menangani Timnas, setiap negara rela mengontrak pelatih keas dunia dengan gaji yang besar. Untuk memotivasi para pemain, negara pun menjanjikan bonus yang besar bagi setiap pemain, jika bisa memenangi Piala Dunia. Jelang Piala Dunia, setiap tim melakukan uji coba untuk mencari formasi dan strategi terbaik yang nanti akan diterapkan.
Untuk mencapai prestasi terbaik, motivasi eksternal seperti dukungan suporter dan iming-iming bonus besar tidak akan banyak berarti jika tidak ditunjang dengan motivasi dari dalam diri pemain untuk berprestasi dan mempersembahkan yang terbaik bagi negaranya. Oleh karena itu, seorang pelatih harus bisa membangun motivasi dan optimisme para pemainnya untuk bekerja keras dan berprestasi. Piala Dunia adalah turnamen tingkat tinggi yang bukan hanya mengandalkan kemampuan teknis semata, tetapi juga masalah-masalah nonteknis seperti mentalitas, pengendalian emosi, dan motif berprestasi. Jika mental pemain jatuh atau berwatak tempramental, maka sehebat apapun seorang pemain, dia tidak akan tampil optimal. Kita tentu masih ingat Final Piala Dunia 2006 antara Perancis versus Italia. Pemain Perancis sekaliber Zinedine Zidane pun tidak bisa menahan emosinya ketika terus menerus mendapatkan provokasi dari pemain Italia Marco Materazzi. Zidane menanduk dada Materazzi. Akibat perbuatannya, wasit mengusir Zidane dari lapangan. Akibatnya, Perancis pun gagal jadi juara dunia karena dikalahkan Itala.
Keempat, disiplin, mengormati dan melaksanakan peraturan. Disiplin merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan. Oleh karena itu, setiap pemain harus disiplin dalam berlatih dan bertanding. Agar permainan berjalan secara baik, setiap tim harus mengetahui, menghormati, dan melaksanakan peraturan yang telah ditetapkan oleh FIFA sebagai badan tertinggi sepak bola dunia. Di lapangan, para pemain pun harus menghormati keputusan wasit. Dan jika tidak puas, mekanismenya sudah diatur untuk mengajukan keberatan terhadap keputusan wasit tersebut, tidak boleh main hakim sendiri.
Kelima, kerjasama tim. Sepak bola adalah permainan tim bukan permainan individu. Pemain hebat sekaliber Leonel Messi dan Christiano Ronaldo pun tidak akan akan dapat berbuat banyak tanpa bantuan rekan-rekannya di tim. Oleh karena itu, kerjasama tim menjadi kata kunci ketika sebuah tim ingin berhasil. Dalam tim, semua pemain diperlakukan sama, tidak ada yang diperlakukan istimewa, merasa paling hebat atau yang paling dominan. Ketika sebuah tim berhasil, maka hal tersebut menjadi keberhasilan semua, tidak ada pemain yang mengklaim paling berjasa dengan prestasi yang dicapai tim.
Keenam, persahabatan dan menghormati keberagaman. 32 tim yang berlaga di Piala Dunia Afsel berasal dari lima benua dengan latar belakang ras, budaya, bahasa, kulit, dan agama yang berbeda-beda. Piala Dunia menjadi ajang bersatunya beragam latar latar belakang budaya tersebut. Bukan hanya pemain, para suporter masing-masing negara pun berbondong-bondong datang ke Afsel untuk mendukung tim kebanggaannya. Walaupun berbeda-beda latar belakang, tetapi mereka memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menikmati sepak bola. Sebelum pertandingan dimulai, dikumandangkan lagu kebangsaan masing-masing negara, kemudian masing-masing pemain saling bersalaman. Selama pertandingan berlangsung, di tengah tempo permainan yang tinggi, dan diwarnai dengan berbagai pelanggaran, para pemain tetap mengedepankan persahabatan. Ketika seorang pemain melakukan tackling terhadap pemain lawan, dengan spontan dia menjulurkan tangannya untuk meminta maaf dan membantu pemain yang dilanggarnya untuk berdiri. Dan ketika pertandingan bubar. Para pemain kembali berjabat tangan, saling berpelukan, bertukar kaos tim. Masing-masing pendukung pun tidak henti-hentinya memberikan dukungan dan mengekspresikannya dalam nyanyian, yel-yel, dan berbagai atribut yang dipakainya. Walaupun mendukung tim yang berbeda, para pendukung masing-masing tim tetap berbaur  dan menjalin persahabatan dengan sesama pendukung. Sepak bola mampu membangun harmoni bangsa-bangsa di dunia.
Ketujuh, kepemimpinan. Setiap tim pasti memiliki pelatih dan kapten tim. Mereka memiliki peran penting untuk memotivasi pemain agar memiliki semangat juang yang tinggi, mengatur pola permainan, mengendalikan emosi pemain, dan mengendalikan ritme permainan. Kepemimpinan tidak dapat dipisahkan dengan wibawa. Oleh karena itu, seorang pelatih atau kapten tim, disamping memiliki kemampuan teknis yang lebih dari yang lainnya, juga memiliki wibawa, dan kecerdasan emosional yang tinggi.
Delapan, adil. Selain pelatih, pemain, dan suporter, hal lain yang tidak bisa dilepaskan adalah peran wasit. Wasit ditunjuk sebagai pengadil di lapangan. Menjadi wasit bukan tugas yang mudah. Butuh kompetensi dan stamina yang kuat. Dalam mengambil keputusan yang benar-benar adil, wasit harus mempertimbangkan berbagai hal. Oleh karena itu, seorang wasit dibantu oleh dua orang hakim garis untuk mengawasi jalannya pertandingan, dan ketika terjadi pelanggaran, jika diminta oleh wasit, hakim garis dapat memberikan masukan kepada wasit agar wasit dapat mengambil keputuskan dengan adil.
Itulah sejumlah nilai pendidikan karakter yang dapat diambil dari perhelatan Piala Dunia Afsel. Sepak bola  bukan hanya sekedar olah raga saja, tetapi dapat juga menjadi sarana untuk menyerap nilai-nilai pendidikan.

Penulis, Praktisi Pendidikan, Tinggal di Cililin, KBB
(Tulisan ini dimuat di Majalah Suara Daerah PGRI Prov. Jabar No. 468 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar