Minggu, 11 September 2011

NEGERI DARURAT MORAL

Dalam beberapa kesempatan pidato atau sambutan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan keresahannya berkaitan dengan degradasi moral dan menurunnya karakter positif bangsa. Berbagai penyakit moral bangsa dengan mudah kita saksikan. Bangsa Indonesia yang dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, santun, berbudi pekerti luhur, suka bergotong royong, dan mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah. Sekarang sifat-sifat baik tersebut perlahan tapi pasti kian terkikis digantikan oleh karakter-karakter negatif.
Budaya kekerasan, egoisme, individualisme, materialisme, hedonisme, dan lunturnya budaya malu terjadi hampir di setiap lapisan masyarakat. Aksi anarkis massa, pemaksaan kehendak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan di sekolah (bulying), narkoba, perjudian, seks bebas, perselingkuhan, tindakan kriminalitas, dan korupsi hampir setiap hari mengisi berita di berbagai media. Jika hal ini tidak mendapatkan perhatian serius, tentunya akan menjerumuskan Indonesia kepada krisis moral yang semakin parah. Indonesia saat ini menjadi negara darurat moral.
Arus reformasi tahun 1998 telah membawa perubahan terhadap kehidupan demokrasi dan politik di Indonesia. Isu-isu penegakkan HAM juga semakin mengemuka. Masyarakat saat ini bebas untuk mengeluarkan pendapat melalui berbagai media seperti aksi unjuk rasa, pawai, rapat umum, mimbar bebas, media massa, buku, atau di situs jejaring sosial. Tetapi kebebasan yang saat ini dinikmati oleh masyarakat menjadi kebablasan manakala terjadi hal-hal yang justru mencederai hakikat demokrasi itu sendiri. Perbedaan pendapat atau faham disikapi sebagai permusuhan, tidak mau bersatu, saling menjatuhkan antara yang satu dengan yang lainnya, pemaksaan kehendak melalui aksi massa dalam jumlah besar, perlawanan terhadap penegakkan aturan pemerintah dengan cara anarkis, dan sebagainya.
Media massa saat ini juga tengah menikmati masa keemasan dengan mendapatkan ruang yang luas untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi. Namun kebebasan pers  sering disikapi dengan salah kaprah misalnya dengan menayangkan hal-hal yang melanggar etika dan norma sehingga berdampak buruk terhadap masyarakat. Walupun regulasi tentang pers sudah diatur dalam Undang-undang Pers, sudah diatur kode etik jurnalistik, ada lembaga pengawas penyiaran seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), lembaga penegak kode etik pers seperti Dewan Pers, tetapi pers kadang-kadang kebablasan dengan dalih kebebasan pers.
Kebebasan pers adalah hal yang harus dihormati. Pers menjelma menjadi pilar demokrasi keempat setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pers telah berjasa dalam mencerdaskan masyarakat, dan pers juga telah andil dalam melakukan kontrol terhadap kebijakan publik. Alagkah sayangnya jika hal-hal yang positif tersebut ternodai oleh perilaku kurang terpuji oknum-oknum pers. Diakui atau tidak, tayangan media yang kurang mendidik telah ikut merusak moral bangsa ini. Adalah hal sangat wajar ketika pers mencari keuntungan dan rating yang tinggi dari program yang ditayangkannya karena pada dasarnya media adalah bisnis yang menjanjikan keuntungan besar, tetapi pers pun harus memiliki tanggung jawab moral untuk ikut membangun karakter bangsa, bukan sebaliknya meruntuhkan karakter bangsa.
Unjuk rasa anarkis. Salah satu bukti krisis moral bangsa Indonesia. (net).
Rendahnya budaya politik dan belum optimalnya pendidikan politik menyebabkan para politisi dan masyarakat hanya melihat politik sebagai persaingan untuk mencapai kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, politik uang (money politics) saat pemilu dianggap sebagai hal yang lumrah. Dalam kondisi masyarakat yang miskin, pragmatis, dan memiliki kesadaran politik yang rendah, uang menjadi pertimbangan utama dalam menjatuhkan pilihan politik. Akibatnya, pemilukada menjelma menjadi kegiatan politik yang sangat mahal. Seorang kandidat Kepala Daerah harus mengeluarkan dana miliaran rupiah untuk bersaing menjadi pemenang. Jika seorang kandidat Kepala Daerah menang tetapi dengan menghabiskan banyak uang, maka secara manusiawi tentu yang pertama kali dipikirkan adalah bagaimana modalnya cepat kembali karena pada dasarnya manusia tidak pernah mau rugi, pasti inginnya untung. Oleh karena itu tidak sedikit Kepala Daerah yang terlibat korupsi.
Dampak negatif dari globalisasi juga menyebabkan karakter masyarakat berubah menjadi lebih individualistis, materialistis, dan hedonis. Lihatlah perilaku masyarakat di jalan raya. Banyak pengendara kendaraan bermotor yang ugal-ugalan, saling serobot, dan seenaknya melanggar peraturan lalulintas, trotoar yang harusnya menjadi hak pejalan kaki juga dibajak oleh pengendara motor dan PKL. Masyarakat banyak yang menyeberang jalan seenaknya, tidak mau melalui zebra cross atau jembatan penyeberangan. Sekarang orang tidak risih pacaran atau bercumbu di tempat umum, anak sekolah banyak yang sudah mengakses situs porno, melakukan hubungan seks di luar nikah, dan melakukan aborsi. Akibatnya jumlah pengidap HIV/AIDS dan angka aborsi semakin meningkat.
Faham materialistis membuat harkat dan martabat seseorang dinilai berdasarkan harta,  gelar, pangkat, jabatan, dan kedudukan. Kadang kala hal-hal tersebut juga menjerumuskan seseorang ke dalam kesombongan. Budaya permisif menjadikan penghargaan terhadap nilai dan etika semakin pudar. Hal yang tadinya tabu untuk dilakukan sekarang justru dipertontonkan ke muka publik dengan tanpa risih. Seiring dengan menggejalanya budaya permisif,  budaya malu pun kian pudar. Indonesia, negeri berideologi Pancasila yang pola hidup masyarakatnya bak hidup di negeri berideologi liberal dan sekuler.
Kemiskinan dan pengangguran juga berkontribusi terhadap terjadinya degradasi moral. Ajaran Islam telah mengingatkan bahwa kemiskinan berpotensi menjerumuskan seseorang ke dalam kekufuran. Kesulitan hidup yang menghimpit dan tingginya persaingan hidup menyebabkan masyarakat mudah stres dan mengekspresikan emosinya dengan tidak terkendali. Masalah kecil saja membuat banyak orang yang mudah marah, merusak, menganiaya, bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Saat ini bangsa kita juga menjadi bangsa yang bermental lemah seiring dengan seringnya terjadi kasus bunuh diri karena putus asa. Keinginan untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang gampang membuat seseorang mengambil jalan pintas. Bukan rahasia lagi banyak pengusaha atau pedagang yang mencampur dagangannya dengan formalin, mengoplos, memalsukan, dan menimbun barang. Selain itu, banyak yang menjalani pekerjaan haram karena alasan ekonomi.
Degradasi moral juga terjadi di dunia pendidikan. Sudah menjadi rahasia umum, banyak mahasiswa yang membuat tugas akhir dengan cara menjiplak (plagiat). Beberapa waktu yang lalu ada seorang lulusan dari sebuah PTN terkenal di Bandung dicabut gelarnya karena tugas akhirnya menjiplak karya milik orang lain dan ada seorang profesor di sebuah PTS yang dicabut gelar profesornya juga karena melakukan plagiarisme. Pembajakan hak cipta juga banyak terjadi secara kasat mata. Coba kita perhatikan, di pinggir jalan atau di pasar dengan mudah kita membeli CD / DVD bajakan. Kalangan musisi, artis, pengusaha rekaman, dan negara banyak yang dirugikan akibat pembajakan hak cipta.
Korupsi terjadi baik di pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Otonomi daerah telah menjelma menjadi otonomi korupsi. Korupsi dilakukan secara masif dan berjamaah. Banyak anggota DPRD dan Kepala Daerah yang terlibat korupsi. Korupsi telah membuat bangsa ini semakin terpuruk. Uang negara yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat justru disalahgunakan dan dinikmati segelintir orang.
Masyarakat membenci korupsi tetapi juga sadar atau tidak sadar juga menjadi pelaku  korupsi. Misalnya, ketika ditilang kita sering mencoba merayu polisi untuk menerima “uang damai”. “Menembak” ketika membuat SIM, menyuap agar diterima bekerja, diterima sekolah, membayar uang pelicin ketika mengajukan perizinan, membuat KTP, Akte Kelahiran, dan berbagai administrasi lainnya. Berbagai perilaku menyimpang tersebut sudah dianggap lumrah karena ada anggapan bahwa jika pelayanan ingin lancar perlu ada saling pengertian, saling memberi dan menerima. Budaya korup di lingkungan birokrasi menjadikan pelayanan kepada masyarakat menjadi lambat, berbelit-belit, dan berbiaya mahal.
Pendidikan Karakter
Atas dasar keresahan terhadap semakin menurunya karakter positif  bangsa, pada  peringatan Hari Pendidikan Nasional 2010 dan berbagai kesempatan lainnya, Presiden SBY menyampaikan pentingnya pendidikan karakter. Hal ini sebagai upaya untuk mengembalikan karakter positif dan jati diri bangsa yang berpedoman kepada Pancasila dan nilai-nilai mulia yang dianut bangsa Indonesia. Secara formal, tentunya pendidikan karakter tentunya dijalankan oleh lembaga pendidikan dalam berbagai jenjang. Tetapi secara informal, hal ini dijalankan melalui keluarga dan lembaga sosial kemasyarakatan.
Pendidikan karakter adalah upaya yang perlu didukung oleh semua pihak, tetapi hal ini jangan sampai hanya menjadi formalitas dan terjebak kepada materi yang bersifat hafalan karena fokus pendidikan karakter bukan pada hafalan tetapi penguatan sikap, mentalitas, dan perilaku siswa agar sesuai dengan karakter positif bangsa. Penguatan nilai agama juga menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam membangun karakter positif bangsa.
Keteladanan
Berbagai upaya yang dilakukan yang dilakukan untuk mengembalikan karakter positif bangsa saat ini tidak akan banyak berarti jika tidak disertai keteladanan. Sebuah peribahasa mengatakan “satu perbuatan lebih bermakna daripada seribu kata-kata”. Peribahasa tersebut menunjukkan bahwa keteladanan menjadi sarana yang sangat efektif  dalam mendidik anak. Dengan adanya keteladanan, maka anak didik memiliki contoh baik yang dapat ditiru pada sosok orang tua, guru, tokoh, pemimpin, dan figur publik.

Sinergi
Krisis moral yang terjadi saat ini akan semakin berat jika tidak mendapatkan perhatian serius dari semua unsur bangsa. Pemerintah, lembaga kemasyarakatan, lembaga pendidikan, dan keluarga harus bersinergi memikirkan solusi dari kompleksnya masalah bangsa saat ini. Kita tentu sepakat bahwa keluarga menjadi unit masyarakat terkecil yang diharapkan dapat menjadi unit pertama dan utama dalam mengatasi krisis moral dan mundurnya karakter positif bangsa. Insya Allah !!!

Penulis, Pegawai Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.
(Tulisan ini dimuat di Majalah Suara Daerah PGRI Prov. Jawa Barat No. 472 Tahun 2011) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar