Sabtu, 10 September 2011

PANCASILAKU SAYANG, PANCASILAKU MALANG


Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa lahir seiring dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1945. Pancasila dijadikan sebagai dasar negara, ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia karena merupakan kritalisasi dari nilai-nilai budaya bangsa yang terbentuk sejak zaman kerajaan. Pancasila juga merupakan sumber dari sumber hukum di Indonesia. Berbagai aturan hukum yang dibuat harus berlandaskan kepada nilai dan jiwa Pancasila.
Proses perumusan Pancasila berawal pada rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 yang membahas tentang rumusan dasar negara, pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan sebuah pidato yang isinya tentang “Pancasila” (lima sila) sebagai dasar negara Indonesia yaitu (1) nasionalisme (kebangsaan Indonesia), (2) internasionalisme (perikemanusiaan), (3) mufakat (demokrasi), (4) kesejahteraan sosial, dan (5) Ketuhanan yang Maha Esa (Ketuhanan yang Berkebudayaan). Selanjutnya Beliau mengajukan Pancasila tersebut dapat disederhanakan menjadi “Trisila”, yaitu (1) sosio-nasionalisme yang merupakan sintesa dari kebangsaan (nasionalisme), (2) sosio demokrasi yang merupakan sintesa dari mufakat (demokrasi) dengan kesejahteraan  rakyat, dan (3) Ketuhanan yang Maha Esa. Adapun Trisila tersebut dapat disederhanakan menjadi “Ekasila” yaitu gotong royong. Menurut Soekarno, itulah dasar asli bangsa Indonesia. Berdasarkan  kepada pidato Ir. Soekarno tersebut, maka setiap tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila.
Beliau mengusulkan bahwa Pancasila adalah sebagai filsafat negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia atau “Philosophische grondslag”. Beliau juga sekaligus membandingkan Pancasila memiliki keunggulan dibandingkan dengan berbagai ideologi besar lainnya di dunia seperti liberalisme dan sosialisme-komunisme.
Dalam pembukaan UUD 1945 yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, rumusan Pancasila tercantum pada alinea IV yaitu; (1) Ketuhanan yang Maha Esa, (2) kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) persatuan Indonesia, (4) kerakyatatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan (5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 dan Inpres No. 12 tanggal 13 April 1968 menegaskan bahwa pengucapan, penulisan, dan rumusan Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia yang sah dan benar adalah sebagaimana yang tercantum Pembukaan UUD 1945.
Sebagai sebuah ideologi negara, berbagai pemberontakan mengancam eksistensi Pancasila. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan yang menginginkan agar Indonesia berdasarkan syariat Islam antara (1949-1962). Selanjutnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1948 dan 1965 menginginkan Pancasila diganti oleh ideologi komunis. Tetapi alhamdulillah dengan perjuangan dan perlindungan Allah SWT, Pancasila tetap tegak sebagai ideologi bangsa.
Berakhirnya pemerintah Orde Lama tahun 1967 pascalengsernya Soekarno dan ditumpasnya pemberontakan PKI, pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto berjanji akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Mengapa demikian? karena pemerintah Orde Baru menilai penyelenggaraan negara selama Orde Lama banyak yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Misalnya, pelaksanaan demokrasi liberal tahun 1950-1959, demokrasi terpimpin tahun 1959-1967, MPRS mengangkat Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, pembubaran DPR hasil pemilu tahun 1955 oleh Soekarno, dan diakomodirnya ideologi komunis oleh Soekarno melalui konsep Nasakom (nasionalis, agama, komunis). Suatu hal yang ibaratnya menggabungkan air dan minyak yang tidak akan pernah bisa bersatu. Ideologi nasionalis-agama berlandaskan keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan YME (monotheis) sedangkan komunis adalah ideologi yang anti Tuhan (atheis).
Dalam menginternalisasikan, mensosialisasikan, dan mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pemerintah Orde Baru menjabarkannya ke dalam beberapa hal. Antara lain; Pertama, penjabaran Pancasila ke dalam 45 butir Pancasila. Kedua, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), ketiga kurikulum Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di lingkungan Pendidikan (sekolah dan Perguruan Tinggi), dan keempat Gerakan Hidup Berpancasila (GHBP). Tujuan dari berbagai hal tersebut adalah agar bangsa Indonesia benar-benar mampu memahami, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-sehari. Jika hal itu bisa dilaksanakan, maka bangsa Indonesia akan menjelma manusia-manusia yang religius, humanis, fluralis dan mencintai kebhinekaan, mengedepankan musyawarah mufakat, dan dapat berlaku adil.
45 Butir Pancasila
45 butir Pancasila merupakan penjabaran dari Pancasila. Secara lengkap 45 butir Pancasila adalah sebagai berikut:
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa
(1)   Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(2)   Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
(3)   Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(4)   Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(5)   Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
(6)   Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
(7)   Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

2.      Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
(1)      Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
(2)      Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
(3)      Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
(4)      Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
(5)      Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
(6)      Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
(7)      Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
(8)      Berani membela kebenaran dan keadilan.
(9)      Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
(10)  Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.



3.      Persatuan Indonesia
(1)      Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
(2)      Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
(3)      Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
(4)      Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
(5)      Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
(6)      Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
(7)      Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

4.      Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
(1)        Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
(2)        Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
(3)        Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
(4)        Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
(5)        Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
(6)        Dengan i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
(7)        Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
(8)        Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
(9)        Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
(10)    Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.
5.      Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
(1)     Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
(2)     Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
(3)     Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
(4)     Menghormati hak orang lain.
(5)     Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
(6)     Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain
(7)     Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
(8)     Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
(9)     Suka bekerja keras.
(10) Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
(11) Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

45 butir Pancasila tersebut menjadi hapalan wajib dan diberikan kepada siswa pada saat ulangan. Sayangnya, penakanan pemberian materi butir-butir Pancasila tersebut hanya bersifat hapalan (kognitif), tidak terlalu menyentuh hati (afektif) dan kurang dalam pengamalannya (psikomotor). Guru dengan ceramah berapi-api menyampaikan tentang pentingnya dan hebatnya Pancasila. siswa hanya duduk, dengar, dan diam saja. Oleh karena itu, bisa saja dalam sebuah ulangan menjawab sebuah pertanyaan yang memang secara normatif sesuai nilai-nilai Pancasila, tetapi kurang mamahami, menghayati, dan mengamalkannya.

P-4
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) pada dasarnya merupakan hal yang sangat baik dari konteks tujuan. Tujuan dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara.
Dasar hukum P-4 adalah Tap MPR No. II/MPR/1978. P-4 bertujuan untuk membentuk rakyat Indonesia menjadi pribadi yang mampu mengetahui, memahami, dan mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. materi yang disampaikan antara lain; Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Garis-garis Besar Halauan Negara (GBHN), kebijakan pembangunan nasional, keberhasilan pemerintahan Orde Baru, bahaya laten komunisme, dan sebagainya.
Penataran P-4 diberikan pada setiap jenjang pendidikan baik pendidikan formal (SD, SMP, SMA, PT) maupun pendidikan kedinasan, misalnya Diklat Prajabatan. Tetapi dalam pelaksanaannya P-4 dijadikan oleh penguasa Orde Baru sebagai propaganda dan indoktrinasi agar agar setiap warga negara taat kepada penguasa atau pemerintah. Opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
Pelaksanaan Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telah dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan adanya himbauan pemerintah pada tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
P-4 bisa dikatakan gagal membentuk pribadi yang Pancasilais karena dalam konteks praktis, pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara serta kebijakan pemerintah justru banyak yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Misalnya pemberangusan terhadap kehidupan demokrasi, pembatasan aktivitas politik bagi masyarakat, pelanggaran HAM, cap subversif bagi orang yang menentang pemerintah dan menjadikan mereka sebagai tahanan dan narapidana politik.
Selain P-4, untuk mensosialisasikan Pancasila kepada masyarakat, pemerintah Orde Baru juga menggulirkan Gerakan Hidup Berpancasila (GHBP) tetapi gerakan itu ternyata hanya menjadi retorika dan slogan saja. Kenyataannya, pelaksanaan hidup berbangsa dan bernegara banyak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Hal ini disebabkan karena kurangnya keteladanan pemimpin dan rendahnya pemahaman dan penghayatan terhadap Pancasila. Contoh sederhana, masyarakat membuang sampah seenaknya, tidak memiliki rasa bersalah atau rasa malu, melanggar rambu-rambu lalulintas, dan sebagainya.
Runtuhnya pemerintah Orde Baru dan digantikan oleh Orde Reformasi berimbas kepada perubahan dan kebijakan politik bangsa dan negara Indonesia termasuk. Salah satunya adalah penghapusan P-4. Alasannya, rakyat Indonesia pada saat merasa trauma dengan P-4. Melihat bahwa P-4 hanya menjadi alat “cuci otak” penguasa kepada rakyatnya sehingga alergi bahkan menolak terhadap P-4. Saat ini pun baik pemerintah tidak terlalu tegas atau serius dalam mengkampanyekan pentingnya Pancasila sebagai ideologi negara dalam setiap kebijakan pemerintah khususnya tentang revitalisasi Pendidikan Pancasila. Mungkin takut disebut mengembalikan karakter Orde Baru.
Masyarakat pun tampaknya tidak terlalu tertarik mendiskusikan tentang esensi, substansi, dan manfaat  Pancasila dalam kehidupan bangsa dan negara. Bahkan saat ini pola kehidupan masyarakat sudah banyak keluar dari jiwa dan nilai Pancasila. Krisis nilai Pancasila saat hampir terjadi pada setiap lapisan masyarakat. Mulai dari masyarakat kelas rendah, kelas menengah, dan kelas atas. Dari mulai jajaran pemimpin sampai kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Bangsa Indonesia yang dulu dikenal sebagai bangsa yang santun, ramah, toleran, suka bergotong, dan mengutamakan musyawarah mufakat dalam mengambil keputusan, mengalami perubahan terutama pasca bergulirnya Orde Reformasi. Pengertian reformasi yang tujuan awalnya menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diartikan secara salah kaprah. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) diartikan secara kebablasan. Mengemukakan pendapat atau tuntutan di muka umum disertai aksi anarkis, merusak fasilitas, memaksakan kehendak. Kehidupan politik kita diwarnai dengan politik uang (money politic), tidak beretika, politik adu domba, fitnah, dan pembunuhan karakter (character assasination). Korupsi yang semakin parah. Bukan hanya terjadi di lingkungan pemerintah saja, tetapi juga terjadi di lingkungan swasta, dan masyarakat secara umum.
Pelanggaran hukum menjadi pemandangan sehari-hari. Ada adagium yang menyatakan bahwa hukum dibuat untuk dilanggar. Indonesia termasuk yang sangat rajin membuat peraturan perundang-undangan tetapi implementasinya sangat  lemah. Supremasi hukum belum benar-benar ditegakkan. Hukum ibarat pisau, tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Hukum hanya berlaku bagi kalangan lemah sementara kalangan berduit dapat “membeli” hukum dan mengaturnya sesuai dengan selera.
Penegakkan hukum banyak diwarnai oleh pratek korupsi, suap, dan mafia hukum. Rendahnya kesejahteraan aparat hukum dituding menjadi penyebab korupsi dan suap dalam penegakkan hukum. Mungkin di satu sisi benar. Kesejahteraan aparat hukum perlu ditingkatkan untuk mengurangi godaan suap dan korupsi. Tetapi itu bukan satu-satunya jalan. Perbaikan sistem dan utamanya perbaikan mental dan moral aparat perlu terus dilakukan karena berapapun gaji yang diberikan, jika imannya lemah dan mentalnya payah, maka akan mudah terkena godaan korupsi dan suap. Selain itu, penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) terhadap aparat hukum harus ditegakkan.
Budaya kekerasan menjadi pemandangan sehari-hari. Pelajar dan mahasiswa senang tawuran. Sesama masyarakat, bahkan sesama aparat negara pun suka menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan. Toleransi antarumat beragama pun memudar di tengah banyaknya konflik yang berlatar belakang agama.
Kesenjangan antara orang kaya dengan orang miskin semakin menganga. Hal ini beresiko menyebabkan konflik horizontal, frustasi sosial, dan menyuburkan tindakan kriminalitas. Solidaritas sosial kadang-kadang bersifat simbolik. Ramai-ramai berbicara pentingnya membantu sesama ketika terjadi bencana alam. Setelah itu, kepedulian sosial luntur lagi. Padahal, kepedulian sosial perlu dibudayakan, bukan hanya temporer atau simbolik saja. Misalnya, mari kita perhatikan lingkungan sekitar tempat tinggal kita. Apakah ada tetangga atau saudara kita yang hidup kekurangan. Kita bisa membantunya sesuai dengan kemampuan kita.
Jika kita perhatikan nasib Pancasila saat ini sangat ironis. Pancasila sudah banyak ditinggalkan atau bahkan dilupakan. Pancasila saat ini menjadi topik yang tidak terlalu menarik untuk didiskusikan. Padahal, Pancasila-lah yang menjiwai terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila-lah yang menjadi ideologi negara ini. Pancasila-lah yang menginspirasi para pendiri negara ini untuk senantiasa membangun bangsa dan negara ini. Dan Pancasila-lah yang menjadi sumber energi persatuan dan kesatuan bangsa.
Eksistensi Pancasila saat ini tak lebih hanya bersifat simbolik saja. Naskah Pancasila hanya tertempel di ruang kantor, ruang kelas, hanya dibacakan pada saat upacara bendera hari Senin atau upacara hari-hari besar nasional. Yang memprihatinkan. Ada anak bangsa yang ketika diminta menyebutkan sila-sila dalam Pancasila saja tidak bisa menyebutkannya dengan baik atau bahkan sama sekali tidak tahu. Memang, Pancasila bukan untuk dihafal, tetapi ketika terbatah-batah menyebutkan sila-sila Pancasila atau sama sekali lupa hal itu bisa menjadi indikator sejuhmana kepedulian warga negara terhadap Pancasila. Selain Pancasila, lagu kebangsaan “Indonesia Raya” pun sudah banyak yang lupa. Generasi muda kita lebih banyak yang hafal lagu-lagu pop dibandingkan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.
Revitalisasi
Berdasarkan kepada hal tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila perlu direvitalisasi. Pendidikan Pancasila harus diberikan secara khusus di sekolah tetapi porsinya perlu lebih banyak praktek dibandingkan dengan teori karena pengetahuan Pancasila yang baik tidak akan banyak berguna tanpa pengamalan di lapangan.
Pendidikan Pancasila perlu diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran. Jika ditelaah, pendidikan Pancasila relevan dengan setiap mata pelajaran. Selain itu, nilai-nilai Pancasila juga diintegrasikan ke dalam kegiatan ekstrakurikuler, pembiasaan, dan program-program lainnya seperti program pendidikan karakter yang saat ini digalakkan oleh pemerintah (Kementerian Pendidikan Nasional). Selain itu, P-4 juga perlu dihidupkan kembali tetapi bukan menjadi ajang indoktrinasi dan propaganda. P-4 menjadi sarana untuk menyosialisasikan dan menyadarkan kepada warga negara tentang pentingnya memahami dan melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta hidup di tengah derasnya globalisasi dan modernisasi dengan berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Revitalisasi Pancasila memang bukan satu-satunya obar mujarab dalam “mengobati” penyakit sosial bangsa ini. Peran pendidikan agama juga diperlukan sebagai fondasi keimanan dan moral individu. Pendidikan agama dimulai dari keluarga sebagai kelompok masyarakat terkecil. Setelah itu dilakukan di sekolah dan di masyarakat. Pendidikan Pancasila jika kita kaji sejalan dengan nilai-nilai agama, tidak saling bertentangan.
Ada sekelompok orang yang menginginkan agar Indonesia berdasarkan atas Syarat Islam dan menilai Pancasila adalah ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Pandangan itu tampaknya perlu diluruskan. Meskipun Pancasila tidak bisa disejajarkan dengan ajaran agama tetapi substansinya adalah pengamalan nilai-nilai agama. Agama Islam adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada manusia melalui Nabi dan Rasul-Nya, sedangkan Pancasila adalah hasil pemikiran para pendiri bangsa khususna Soekarno sebagai nilai-nilai yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Dalam konteks sebagai hamba Allah, kita harus meyakini terhadap kebenaran ajaran Islam karena agama yang paling baik di mata Allah adalah agama Islam, tetapi dalam konteks sebagai warga negara Indonesia, kita pun harus meyakini bahwa Pancasila adalah nilai-nilai luhur yang menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara, sumber pemersatu bangsa, serta menjadi landasaan idiil pembangunan nasional.
Penghidupan kembali Pendidikan Pancasila dan P-4 jangan dinilai sebagai upaya untuk membangkitkan kembali paradigma Orde Baru karena menurut penulis Pancasila tidak bisa dikait-kaitkan dengan rezim atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar, ideologi, dan falsafah bangsa yang sudah sepakati oleh para pendiri bangsa ini dan dinilai sebagai ideologi terbaik bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila dan relevan dilakukan pada setiap rezim. Pancasila merupakan “ideologi tengah” yang berada diantara ideologi liberal yang sekuler dan sosialis-komunis yang atheis (anti Tuhan). Pemerintah perlu melakukan kampanye secara masif tentang pentingnya Pancasila bagi bangsa Indonesia melalui berbagai media.
Berkaitan dengan kondisi bangsa saat ini, ada pertanyaan yang menggelitik. Mengapa negara kita yang berdasarkan Pancasila tetapi kondisinya kok seperti ini? bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila sementara negara lain yang tidak berideologi Pancasila kok maju? Penulis pernah membaca tulisan KH Salahuddin Wahid di sebuah koran nasional. Di tulisan itu, Beliau mencontohkan India dan Cina yang tidak berideologi Pancasila justru “melaksanakan” Pancasila. Lebih lanjut Beliau mengatakan bahwa secara substantif, India dan Cina menjalankan sila-sila Pancasila. Kecuali Cina yang tidak menjalankan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa karena meraka negara atheis. Sementara di Indonesia, Pancasila secara instrumental Pancasila dijadikan sebagai ideologi tetapi secara operasional dan substanstif Pancasila tidak dilaksanakan. Buktinya, banyak sekali hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Perbedaan antara Indonesia dengan Cina dalam pengalaman Pancasila secara substantif, jika Indonesia hanya melaksanakan sila pertama saja, sementara sila kedua sampai dengan kelima tidak dilaksanakan secara konsekuen. Sedangkan Cina terbalik, tidak melaksanakan sila pertama tetapi melaksanakan sila kedua sampai dengan kelima.
Kegiatan kegamaan secara ritual di Indonesia begitu hingar bingar. Kegiatan dzikir dan do’a bersama diselenggarakan di berbagai tempat tetapi berbagai penyakit sosial juga bertambah banyak, korupsi semakin menjadi-jadi, dan pelanggaran hukum dan etika menjadi hal lumrah terjadi. Hal ini menandakan menandakan bahwa kegiatan agama hanya bersifat ritual-formalitas tetapi belum menyentuh kepada hati (qolbu) dan implementasinya dalam kehidupan sehari.
Seharusnya kegiatan kegamaan (sila pertama) mampu membentuk manusia Indonesia adil dan beradab (sila kedua), menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa (sila ketiga), mengutamakan musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan (sila keempat), dan suka membantu orang lain (sila kelima) tetapi sila pertama tersebut belum bisa menjiwai pelaksanaan sila kedua sampai dengan kelima. Hal tersebut perlu diperbaiki oleh segenap komponen bangsa agar pelaksanaan sila-sila Pancasila berjalan sejalan, seiring, dan saling menjiwai.
Semoga revitalisasi Pendidikan Pancasila bisa menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semoga Pancasila tidak dilupakan oleh anak-anak bangsa. Semoga Pancasila bukan hanya menjadi hiasan-hiasan dinding dimana nilai filosofis dan ideologisnya sudah  tidak dihayati lagi. Tetapi semoga pancasila tetap eksis sepanjang Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri. Semoga !!!

Penulis, Pegawai LPMP Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar