Minggu, 11 September 2011

UJIAN NASIONAL, UJIAN KEJUJURAN

Ujian Nasional Jujur. Itulah tulisan yang terpampang pada poster sosialisasi UN Tahun Pelajaran 2009/2010. Poster tersebut mengingatkan bahwa UN perlu dilakukan dengan yang jujur sehingga prestasi yang dicapai pun adalah prestasi yang murni atau yang didapatkan dengan cara yang jujur. Pemerintah menilai bahwa himbauan tersebut perlu disampaikan mengingat pelaksanaan UN dari tahun ke tahun selalu diwarnai dengan kecurangan.
UN sejatinya bertujuan untuk menilai pencapai kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. UN dilakukan secara berkeadilan dan akuntabel. Berbagai kecurangan yang terjadi pada UN, menjadikan pencapaian kompetensi lulusan menjadi pencapaian kompetensi yang semu, sehingga akuntabilitas hasil UN pun dipertanyakan. Karena ragu dengan akuntabilitas hasil UN, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tidak mau menjadikan hasil Ujian sebagai pertimbangan menerima atau menolak lulusan. Mereka memilih untuk menyelenggarakan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan mengabaikan hasil UN.
Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk; pemetaan mutu program dan/ atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Untuk mengantisipasi berbagai kecurangan, sebenarnya pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah membuat Prosedur Operasional Standar (POS) UN. Kemudian membentuk Tim Pemantau Independen (TPI) yang disebar ke tiap sekolah untuk memantau pelaksanaan UN. Selain itu, BSNP pun melibatkan aparat kepolisian untuk mengawasi UN mulai dari tahap pencetakan soal, pendistribusian soal, sampai tahap pelaksanaan UN di sekolah.
Pengawasan sebenarnya sudah dilakukan pada berbagai lini. Tetapi apalah daya, berbagai kecurangan masih saja terjadi. Pihak sekolah ternyata masih bisa mengakali untuk curang di tengah ketatnya pengawasan tersebut. Berbagai kecurangan yang dilakukan oleh sekolah dilakukan secara sadar sekaligus “terpaksa”. Pihak sekolah sebenarnya tahu bahwa mencurangi UN adalah perbuatan yang melangar hukum, moralitas, dan etika.  Tetapi, mereka “terpaksa” melakukannya karena ingin “menolong” agar para siswanya lulus UN. Hal ini juga bertujuan untuk “menyelematkan“ muka sekolah karena sebagian masyarakat kita sudah terlanjur berpandangan bahwa ketika anak masuk sekolah, pasti lulus dan mendapat ijazah. Oleh karena itu, ketika ada siswa yang tidak lulus, hal tersebut dianggap sebagai kegagalan guru atau sekolah dalam mendidik anak. Pendidikan masih berorientasi kepada ijazah dan gelar, belum berorientasi pada kompetensi.
Hal ini semakin bertambah kompleks ketika sudah terjadi politisasi UN, dimana Pemerintah Daerah (Pemda) pun berkepentingan dengan hasil UN. Hasil UN menjadi salah satu indikator dalam pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sehingga UN yang awalnya hanya untuk tujuan akademik, bergeser menjadi masalah politik karena para pengelola pendidikan di daerah tidak mau dikatakan gagal membina pendidikan, dan lebih jauh lagi Bupati, Walikota, dan Gubernur pun mau agar pencapaian kelulusan UN setiap tahun meningkat sehingga ada adagium “sing bisa, kudu bisa, bisakeun, sabisa-bisa”. Dengan kata lain, berbagai cara dilakukan untuk mencapai tingkat kelulusan setinggi-tingginya walaupun dengan cara curang.
Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh, dalam running text berita di sebuah media TV menyatakan bahwa kelulusan UN 100% di sebuah sekolah janggal. Pernyataan tersebut, mungkin ada benarnya karena dalam sebuah ujian pasti ada yang lulus, dan ada yang tidak lulus. Tetapi, sebenarnya juga tidak tertutup kemungkinan jika dalam ujian, pesertanya semua lulus dengan catatan, kelulusan tersebut benar-benar murni.
UN sebenarnya bukan satu-satunya syarat lulus dari satuan pendidikan, tetapi hanya menjadi salah satu syarat saja. Dalam Pasal 72 ayat 1 PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan dasar dan menengah setelah; a) menyelesaikan seluruh program pembelajaran; b) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; c) lulus ujian sekolah/madrasah, untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dan d) lulus ujian nasional.
Gambaran di lapangan menunjukkan seolah-olah hasil UN sebagai satu-satunya syarat kelulusan karena siswa yang tidak lulus UN otomatis tidak lulus dari sekolah. Hal ini disebabkan karena masyarakat belum benar-benar memahami mekanisme kelulusan siswa. Selian itu, hasil UN tidak bisa “diakali” lagi oleh sekolah sedangkan tiga syarat yang lain masih bisa “diakali” dengan menggunakan “kebijaksanaan” sekolah. Oleh karena itu, sangat jarang sekolah yang berani menidakluluskan seorang siswa walapun dia lulus UN sementara tiga yang lain tidak memenuhi syarat karena dianggap hanya akan menjadi masalah atau boomerang bagi sekolah karena pihak sekolah pun sebenarnya menyadari belum bisa melakukan mekanisme penilaian dan evaluasi yang benar-benar objektif terhadap siswa.
Pada UN tahun ini, selain melaksanakan UN utama, pemerintah juga melaksanakan UN ulangan. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan sekali lagi bagi siswa yang tidak lulus UN utama sehingga mereka merasa puas. Jika tidak lulus, maka siswa dapat mengikuti Ujian Paket B atau C.
UN Online
Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah untuk menyelenggarakan hasil UN yang benar-benar objektif dan bebas dari kecurangan adalah dengan melaksanakan UN Online. Pada berita diharian ini (12/3) disampaikan bahwa teknis UN Online adalah Seluruh soal ujian dan pengisian jawaban berbasis komputer dan dilaksanakan secara online dengan menggunakan metode Computerized Adaptive Testing (CAT). Begitu juga kunci jawabannya. Siswa langsung berhadapan dengan satu unit laptop dan soal akan keluar satu per satu dari server Puspendik. Jumlah soal yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing siswa. Sekolah yang menjadi Pilot Project uji cooba UN online antara lain SMAN 2 dan SMAN 4 Bandung.
Pemerintah boleh-boleh saja membuat inovasi baru dalam penilaian pendidikan tapi harus benar-benar dipersiapkan dengan matang agar tidak menadi masalah baru karena penulis berpendapat bahwa bagaimanapun teknis pelaksanaan UN yang paling penting adalah menjunjung tinggi nilai kejujuran. Jadi, Prestasi Yes, Jujur Harus !!!.
Penulis, Pegawai Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat
(Tulisan ini dimuat di HU Galamedia, 19 Maret 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar