Minggu, 11 September 2011

KTSP DAN PENGUATAN OTONOMI SEKOLAH


Tahun pelajaran 2006/2007 Departemen Pendidikan Nasional melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) meluncurkan kurikulum 2006 yang lebih dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). 
KTSP yang merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan/sekolah. Departemen Pendidikan Nasional mengharapkan paling lambat tahun 2009/2010, tiap sekolah telah melaksanakan KTSP.
Payung hukum KTSP di samping UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, BSNP juga berpijak kepada Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan Peraturan Mendiknas No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Dengan mengacu kepada panduan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang dibuat oleh BNSP, sekolah diberi keleluasaan merancang, mengembangkan, dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi, dan potensi keunggulan lokal yang bisa dimunculkan oleh sekolah. Sekolah bisa mengembangkan standar yang lebih tinggi dari standar isi dan standar kompetensi lulusan.
Prinsip pengembangan KTSP adalah (1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya; (2) Beragam dan terpadu; (3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan; (5) Menyeluruh dan berkesinambungan; (6) Belajar sepanjang hayat; (7) Dan seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, KTSP sangat relevan dengan konsep desentralisasi pendidikan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) yang mencakup otonomi sekolah di dalamnya. Pemerintah daerah dapat lebih leluasa berimprovisasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Pun, sekolah bersama komite sekolah diberi otonomi menyusun kurikulum sendiri sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
KTSP diberlakukan secara bertahap dalam waktu paling lama tiga tahun dengan tahapan sebagai berikut; jenjang SD, MI, dan SDLP, tahun kesatu, kelas 1 dan 4. Tahun kedua, kelas 1, 2, 4, dan 5. Tahun ketiga, kelas 1 s.d. kelas 6. Jenjang SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, SMPLB, dan SMALB tahun kesatu, kelas 1, tahun kedua, kelas 2, dan tahun ketiga, kelas 3.
Pemerintah menyadari bahwa salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum di masa lalu adalah adanya penyeragaman kurikulum dari Sabang sampai Merauke, tidak melihat kepada situasi riil di lapangan, dan kurang menghargai potensi keunggulan lokal. Sekolah di kota sama dengan sekolah di daerah perdesaan. Sekolah di daerah pertanian sama dengan sekolah yang daerah pesisir pantai, sekolah di daerah industri sama dengan di wilayah pariwisata. Dengan demikian, kurikulum tersebut menjadi kurang operasional, sehingga tidak memberikan kompetensi yang cukup bagi peserta didik untuk mengembangkan diri dan daerahnya. Akibatnya para lulusan kalah bersaing di dunia kerja dan berimplikasi terhadap peningkatan angka pengangguran. Berdasarkan kepada hal tersebut, pemerintah berinisiatif meluncurkan KTS.
Sekolah bersama dengan komite sekolah dapat bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah. Sebagai sesuatu yang baru, sekolah mungkin mengalami kesulitan dalam penyusunan KTSP. Oleh karena itu, jika diperlukan, sekolah dapat berkonsultasi baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertikal, sekolah dapat berkonsultasi dengan Dinas Pendidikan Daerah Kab./Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional.
Sedangkan secara horizontal, sekolah dapat bermitra denganstakeholder pendidikan dalam merumuskan KTSP. Misalnya, dunia industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan, organisasi profesi, dan sebagainya agar kurikulum yang dibuat oleh sekolah benar-benar sesuai dengan kebutuhan di lapangan.***


Penulis, pegawai Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat, guru Kewarganegaraan SMP Madani Kab. Bandung.
(Tulisan ini dimuat di HU Pikiran Rakyat, tanggal 28 Agustus 2006).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar