Minggu, 11 September 2011

EDS/M DAN PENGUATAN MBS

Sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP), sejak tahun 2010 Kemdiknas meluncurkan program Evaluasi Diri Sekolah/Madrasah (EDS/M). Program ini diharapkan dapat menjadi bagian dari langkah konkrit pemerintah dalam penjaminan mutu pendidikan yang bermuara kepada meningkatnya mutu pendidikan nasional. Jika kita lihat hirarki dan historisnya, SPMP ini merupakan langkah untuk mewujudkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Pendidikan merupakan salah satu dari tiga indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) suatu negara selain kesehatan dan daya beli (ekonomi). Berdasarkan data United Nations Development Programme (UNDP), Badan PBB yang menangani masalah pembangunan, IPM Indonesia tahun 2010 berada diurutan 111 jauh berada di bawah Malaysia yang berada di urutan 57. Dalam data UNDP disebutkan bahwa dari 11 negara Asia Tenggara, Indonesia hanya Indonesia hanya unggul dari Vietnam peringkat (113), Myanmar (132), Timor Leste (120), dan Laos (122). Sementara Singapura menduduki peringkat tertinggi. (Republika, 11 Desember 2010).
Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia pada umumnya disebabkan rendahnya kualitas guru, rendahnya kualitas sarana dan prasarana, rendahnya anggaran, dan rendahnya kualitas lulusan baik output maupun outcomenya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pemerintah sudah menetapkan 8 (delapan) standar nasional yang harus dipenuhi yaitu; (1) Standar Isi, (2) Standar Kelulusan, (3) Standar Proses, (4) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, (5) Standar Sarana dan Prasarana, (6) Standar Pengelolaan, (7) Standar Pembiayaan, dan (8) Standar Penilaian. Disamping menetapkan SNP, Kemdiknas juga telah menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Permendiknas Nomor 15 Tahun 2010. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar selanjutnya disebut SPM pendidikan adalah tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan dasar melalui jalur pendidikan formal yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. SNP dan SPM merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dengan SPMP.

EDS/M
Evaluasi Diri  Sekolah/Sekolah (EDS/M) adalah proses Evaluasi Diri Sekolah atau Madrasah yang bersifat internal yang melibatkan pemangku kepentingan untuk melihat kinerja sekolah berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang hasilnya dipakai sebagai dasar penyusunan Rencana Kerja Sekolah (RKS) dan sebagai masukan bagi perencanaan investasi pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota.
Penulis melihat bahwa EDS/M ini sangat baik bagi sekolah. EDS/M memosisikan sekolah sebagai pelaku utama penjaminan mutu pendidikan karena sekolah yang paling tahu kondisinya masing-masing. Dengan kata lain, EDS/M dapat dijadikan sebagai sarana bagi sekolah untuk melakukan introspeksi diri sejauh mana kinerja sekolah jika dikaitkan dengan SPM dan SNP serta membuat langkah-langkah pengembangannya melalui RKS.
Selama ini kebijakan peningkatan mutu pendidikan bersifat top-down, dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau sekolah sekolah sehingga ada kalanya kurang sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Program-program atau bantuan-bantuan yang diberikan pun kadang kala salah sasaran. Misalnya, ada sekolah yang terus menerus mendapatkan bantuan tetapi di sisi lain ada sekolah yang sudah mau ambruk, berkali-kali mengajukan permohonan bantuan tapi belum juga ditindaklanjuti atau direalisasikan. Ada kalanya juga, ketika sekolah ingin mendapatkan bantuan, harus pintar melobi pejabat yang berwenang atau orang yang memegang proyeknya. Dengan adanya EDS/M, maka kebijakan peningkatan mutu pendidikan dibangun secara bottom-up, berdasarkan data dan fakta yang sebenarnya. Berbagai usulan atau rekomendasi dibuat oleh sekolah untuk selanjutnya dihimpun oleh Pemerintah Daerah melalui Monitoring Sekolah oleh Pemerintah Daerah (MSPD) dimana Pengawas Sekolah sebagai ujung tombak Dinas Pendidikan harus melakukan agregasi dari MSPD yang dibuat untuk kemudian dilaporkan ke Pemerintah Daerah. Selanjutnya, Pemerintah daerah pun menindaklanjutinya dengan Evaluasi Diri Kabupaten/Kota (EDK).

EDS dan Akreditasi
Sebagai sebuah program baru, banyak sekolah yang mempertanyakan apa apa perbedaan antara akreditasi dengan EDS/M. Masih ada sekolah yang ketika mengisi instrumen EDS, mereka memperlakukannya seperti mengisi instrumen Akreditasi Sekolah. Padahal filosofinya berbeda. Jika EDS adalah penilaian yang dilakukan secara internal oleh sekolah berkaitan dengan ketercapaian SNP dan SPM untuk kemudian menentukan tahap pengembangannya (1/2/3/4) dan membuat rekomendasinya sedangkan akreditasi adalah penilaian yang dilakukan oleh pihak eksternal dalam hal ini oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M) untuk kemudian ditentukan peringkat sekolahnya.
Dalam melakukan EDS/M, sekolah dituntut untuk mengisi istrumen EDS apa adanya sesuai dengan kondisi nyata, tidak mengada-ada, dan tidak memanipulasi karena jika mereka melakukannya justru mereka sendiri yang rugi karena telah membohongi diri sendiri sehingga kelemahan-kelemahan yang ada disekolah tidak bisa ditingkatkan atau diperbaiki. Sekolah tidak perlu malu, tidak perlu khawatir akan mendapatkan sanksi dan pemerintah, atau bahkan khawatir akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat jika banyak standar yang tahap pengembangannya masih rendah. Justru hal itu menjadi pekerjaan rumah Tim Pengembang Sekolah (TPS) untuk meningkatkannya dan menyampaikannya kepada pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan.
EDS/M adalah evaluasi internal yang hasilnya untuk kepentingan sekolah itu sendiri perbaikan kinerjanya dari kedelapan SNP. EDS/M adalah memotret diri atau melakukan check-up sekolah. Salah satu kuncinya adalah kejujuran, menilai apa adanya karena dengan mengetahui kelemahan dan kekurangannya akan bisa dilakukan perbaikan yang diperlukan. Dengan demikian pelaksanaan EDS/M di sekolah dan kegiatan tindak lanjutnya juga akan mempunyai efek positif bagi sekolah dalam kegiatan evaluasi eksternal lainnya seperti akreditasi.
Sudah menjadi rahasia umum, jika dalam pelaksanaan akreditasi sekolah cenderung mengada-ada dalam memberikan informasi, data, fakta kepada tim penilai karena kaitannya dengan gengsi sekolah. Untuk mendapatkan predikat yang bagus, sekolah melakukan apa saja termasuk memanipulasi data sehingga yang tampak pada saat akreditasi banyak yang semu, serba dadakan, yang penting semuanya terkesan baik di mata Tim Asesor Akreditasi. Dengan demikian, dalam akreditasi ada semacam kepura-puraan dari sekolah atau “politik mercu suar”. Terlihat terang benderang keluar, tetapi gelap di dalamnya.
Jika kita tarik benang merahnya, sebenarnya akreditasi dan EDS/M adalah dua hal yang dilakukan dalam rangka Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) untuk memenuhi SNP dan SPM. Keduanya saling melengkapi. Bedanya, jika EDS/M dilakukan oleh internal sekolah, sedangkan akreditasi dilakukan oleh pihak eksternal. Logikanya, jika EDS/M-nya dilaksanakan dengan baik, tahap pengembangannya ditentukan dengan tepat, dan rekomendasi-rekomendasinya benar-benar dilaksanakan melalui program konkrit, maka ketika pelaksanaan akreditasi, sekolah tidak akan kerepotan, dan pasti predikat sekolahnya pun akan ikut baik. Sekolah tidak perlu mempersiapkan secara mendadak hal-hal yang harus disiapkan untuk akreditasi sekolah karena sudah tertata dengan baik melalui EDS/M. Dengan kata lain, EDS/M membantu sekolah memersiapkan diri menghadapi akreditasi.
Sekolah selama ini memosisikan akreditasi sebagai hal yang sakral dan menjadi beban karena diakui atau tidak tertib administrasi dan tertib program belum menjadi budaya atau kebutuhan sekolah. Peningkatan mutu sekolah pun berjalan apa adanya, arahnya kurang jelas untuk mencapai visi dan misi sekolah. Dengan adanya EDS/M, paradigma tersebut sedikit demi sedikit diubah, dimana sekolah secara bertahap melakukan evaluasi internal dan memandang evaluasi eksternal bukan hal yang menyeramkan karena sudah terbiasa mengevaluasi dirinya sendiri. Jadi, intinya EDS/M dan akreditasi sekolah tidak perlu dipertentangkan karena dua-duanya saling melengkapi dalam SPMP untuk mencapai SNP dan SPM. EDS/M sangat bermanfaat bagi sekolah meskipun di lapangan penulis masih menemukan sekolah yang menganggap hal ini sebagai beban alias menambah pekerjaan di tengah pekerjaan sekolah yang sudah menumpuk. Hal itu yang menjadi tantangan kita untuk memberikan sosialisasi yang lebih jelas mengenai tujuan dan manfaat EDS/M.

Penguatan MBS
Jika kita perhatikan, EDS/M dapat memperkuat atau menunjang pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang digulirkan sejak tahun 2004. MBS esensinya adalah pemberian wewenang dari pemerintah kepada sekolah untuk mengelola sekolah sesuai dengan potensi dan kemampuan sekolah masing-masing dengan berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara umum, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggung jawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/ keluwesan-keluwesan kepada sekolah, mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, Kepala Sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan-peraturan yang berlaku (Depdiknas, 2006:10). Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan tuntutan sekolah dan serta masyarakat atau stakeholder yang ada dengan tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Esensi dari pelaksanaan MBS tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 51 ayat (1) yang berbunyi: “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.”
MBS dalam prakteknya menggambarkan sifat-sifat otonomi sekolah yang merujuk pada perlunya memperhatikan kondisi dan potensi dalam mengelola sekolah. Dengan mengakomodasikan kebijakan-kebijakan strategis pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah Kabupaten / Kota dalam program pendidikan.
Dalam MBS, semua stakeholder yaitu Kepala Sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan, dan Komite Sekolah terlibat dalam pengelolaan sekolah. Begitupun dalam EDS/M, sekolah membentuk Tim Pengembang Sekolah (TPS) yang berasal dari unsur Kepala Sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan, Komite Sekolah, orang tua, dan Pengawas pembina. TPS dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk mengkaji pelaksanaan masing-masing SNP di sekolah. Jadi, baik MBS maupun EDS/M mencerminkan adanya desentralisasi pengelolaan pendidikan di sekolah. Kebijakan peningkatan mutu pendidikan pun didesain secara bottom-up. Wujud MBS antara lain dengan diberikannya kewenangannya kepada sekolah untuk menyusun kurikulum sendiri (KTSP). Dengan adanya KTSP, sekolah diharapkan memiliki karakteristik dan keunggulan untuk mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan. Jadi, baik MBS maupun EDS/M, sama-sama berorientasi kepada upaya-upaya untuk meningkatkan mutu sekolah. Tentunya hal ini dapat terwujud dengan catatan jika sekolah melaksanakan MBS dan EDS/M secara serius, tidak asal-asalan, dan memiliki komitmen yang tinggi.

Program Sandiwara
Dalam pelaksanaan kegiatan pendampingan EDS/M ke sebuah daerah beberapa waktu yang lalu, Penulis mendengar sebuah pernyataan dari salah seorang peserta bahwa program EDS/M ini jangan hanya menjadi “program sandiwara” dimana sekolah sudah capek-capek membuat laporan EDS/M tetapi tidak jelas program program tindak lanjutnya baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pernyataan tersebut dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama itu adalah bentuk keragu-raguan sekolah terhadap program-program yang selama ini telah digulirkan pemerintah karena mungkin berdasarkan pengalaman berbagai program yang dilakukan pemerintah tidak berkelanjutan, hanya lebih tampak sebagai “proyek” saja daripada sebuah program yang berorientasi kepada peningkatan mutu pendidikan. Apalagi ada istilah, “ganti menteri ganti kebijakan atau ganti menteri ganti kurikulum.” Hal itulah yang tampaknya menjadikan sekolah-sekolah belum begitu yakin dengan program EDS/M.
Kedua, masih adanya miskonsepsi dan mispersepsi dari sekolah bahwa EDS/M ini kaitannya nanti dengan pemberian bantuan kepada sekolah. Padahal EDS/M ini bukan hanya berkaitan dengan masalah pemberian bantuan kepada sekolah meskipun ketika nanti sekolah menyusun rekomendasinya mengajukan usulan bantuan kepada pemerintah. Misalnya usulan pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB), rehab ruang kelas, pembangunan laboratorium, penambahan sarana perpustakaan, penambahan jumlah pendidik dan tenaga kependidikan, dan sebagainya.

Komitmen dan Sinergi
Pelaksanaan program EDS/M perlu komitmen dan sinergi dari semua pihak meliputi Sekolah, Pengawas Pembina (Dinas Pendidikan), dan Pemerintah Daerah/Pusat karena masalah peningkatan mutu pendidikan memerlukan kerjasama semua pihak. Sekolah membuat laporan EDS/M secara jujur, Pengawas melakukan MSPD secara baik untuk kemudian dilaporkan ke Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah pun melakukan Evaluasi Diri Kabupaten/Kota (EDK) juga secara jujur jangan hanya memikirkan gengsi daerah.
Ketika penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS) pada kegiatan pendampingan di sebuah daerah beberapa waktu yang lalu, penulis mendapatkan keluhan dan kebingungan yang relatif sama dari sekolah (SD dan SMP). Kebingungan tersebut adalah dalam menentukan sumber anggaran sekolah karena sebagaimana diketahui bahwa SD dan SMP “hidup” dari dana BOS. Rekomendasi program dalam pelaksanaannya membutuhkan dana sementara anggaran terbatas. Selain itu, anggaran tersebut dalam kenyataannya khawatir tidak bisa direalisasikan karena tidak sesuai atau tidak tecantum dalam aturan yang sudah ditetapkan oleh Pemda atau memang tidak ada dalam anggaran Pemda. Nanti kalau bertentangan, sekolah juga yang akan mendapatkan masalah.
Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memberikan pedoman yang jelas dan memiliki persamaan persepsi mengenai sumber-sumber dana yang bisa digunakan oleh sekolah dalam pelaksanaan program-program rekomendasi EDS. Dan yang paling penting adalah tindak lanjutnya supaya program EDS/M ini benar-benar terasa manfaatnya dan terlihat dampaknya dalam peningkatan mutu pendidikan. Semoga!!!!

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar