Kamis, 27 Oktober 2011


SUMPAH PEMUDA DALAM SEMANGAT SEA GAMES
Oleh:
IDRIS APANDI


Dalam hitungan hari, perhelatan pesta olah raga negara-negara ASEAN yang disingkat Sea Games berlangsung di Indonesia. Rencanannya akan berlangsung dari tanggal 11 sampai dengan 22 Nopember 2011 di Jakarta dan Palembang. Kita tentunya bangga Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah, tetapi di sisi lain kita khawatir pelaksanaannya tidak berjalan sukses. Sebagaimana diketahui bahwa persiapan Sea Games diganggu dengan kasus suap Wisma Atlet yang melibatkan Sesmenpora, beberapa anggota DPR, dan beberapa orang pengusaha.
Dibalik kasus suap yang mewarnai persiapan pelaksanaan Sea Games tersebut, seluruh bangsa Indonesia berharap bahwa Sea Games berjalan sukses karena disamping berkaitan dengan kebanggaan sebagai sebuah bangsa, juga berkaitan dengan harkat dan martabat bangsa. Kesuksesan kita sebagai tuan rumah penyelenggaraan Sea Games, tentunya akan bertambah jika Indonesia bisa menjadi sebagai juara umum. Dari sisi waktu, pelaksanaan, Sea Games dilaksanakan di angka serba 11, yang bisa dikatakan sebagai angka yang cantik, yaitu tanggal 11, bulan 11, tahun 2011, dan diikuti oleh 11 negara.
Kita tentu tidak mau malu ketika negara-negara peserta mengeluhkan rendahnya kualitas penyelenggaraan dan pelayanan Sea Games. Banyak pihak mulai ketar-ketir pelaksanaan Sea Games tidak berjalan dengan sukses karena berdasarkan perkembangan terakhir, ada beberapa venue pertandingan olah raga belum siap atau belum selesai dikerjakan padahal pelaksanaan Sea Games. Keterlambatan pengucuran dana disinyalir menjadi penghambat rampungnya penyelesaian berbagai venue pertandingan sehingga presiden harus mengeluarkan instruksi Presiden agar pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan Sea Games tidak melalui tender. Menegpora dan Panitia Sea Games mencoba untuk optimis, terus menggenjot pembangunan sarana dan prasarana Sea Games. Namun, pembangunan yang tergesa-gesa juga dikhawatirkan pengerjaannya asal-asalan. Hanya mengejar target tapi kurang memperhatikan kualitas.
Penyelenggaraan Sea Games tahun ini terasa istimewa karena sebelum digelarnya event tersebut pada bulan Nopember, pada bulan Oktober kita memperingati Hari Sumpah Pemuda. Semangat Sumpah Pemuda tersebut kita harapkan menjadi pelecut semangat bagi para atlet untuk mempersembahkan yang terbaik, mengukir prestasi untuk kebanggaan bangsa dan negara.
Jika kita mengaju kepada sejarah lahirnya Sumpah Pemuda merupakan bagian penting dari episode pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai daerah berkumpul dan menyatukan visi untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia. Pada momen itu pula pertama kali diperdengarkannya lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh WR Supratman. Pada saat itu, para pemuda mau melepaskan ego kedaerahan dan mengedepankan semangat kebangsaan. Mereka menyadari bahwa perjuangan yang bersifat kedaerahan terbukti gagal karena disamping lemah, juga mudah dipecah belah. Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia mencapai titik kulminasinya dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta.
Pesan dan semangat Sumpah Pemuda sangat relevan utnuk digelorakan saat ini khususnya dalam rangka memberikan dukungan kepada para atlet Sea Games. 250 juta rakyat Indonesia sudah pasti mendukung dan mendo’akan kontingen Indonesia bisa menjadi juara umum. Di tengah pacekliknya prestasi olah raga nasional, bangsa Indonesia mengharapkan kontingen Indonesia menjadi juara umum meskipun pasti tidak mudah. Sea Games tahun 1999 di Brunei Darussalam, menjadi awal mula terpuruknya prestasi atlet nasional. Setelah 1997, prestasi olahraga Indonesia sangat memprihatinkan, pada Sea Games di Brunei Darussalam Indonesia menempati posisi ke-3, selanjutnya dalam 4 (empat) kali Sea Games berikutnya, prestasi atlet nasional tidak ada peningkatan Sea Game 2001 posisi ke-3, tahun 2003 posisi ke-3, tahun 2005 poisisi ke 5, tahun 2007 posisi ke-4, tahun 2009 posisi ke-3.
Peluang untuk menjadi juara umum tetap ada meskipun berat. Pada persiapan Sea Games,  para  atlet dihadapkan pada keterbatasan khususnya keterbatasan sarana yang kurang dan dana yang datang terlambat. Bahkan atlet harus mengeluarkan uang pribadi untuk membeli paralatan latihan. Hal ini tentunya sangat ironis. Di satu sisi mereka diharapkan berlatih secara optilmal dan mengukir prestasi, tetapi di sisi lain, kebutuhannya kurang difasilitasi oleh pemerintah.
 Kita patut sangat menghargai kerelaan para atlet tersebut berlatih dalam keterbatasan dan mau mengeluarkan uang sendiri untuk membeli peralatan untuk latihan. Hal tersebut bisa kita lihat sebagai bentuk pengorbanan untuk kepentingan bangsa dan negara, dan sebagai simbol nasionalisme dan patriotisme mereka. Semoga kerja keras mereka berbuah manis mendapatkan medali emas.

Dan juga alangkah sangat ironis, ketika para atlet latihan keras, pengadaan infrastruktur untuk Sea Games justru menjadi sarana korupsi segelintir orang sehingga kita sebagai bangsa malu, Sea Gamesnya belum dilaksanakan, tapi korupsinya sudah terjadi duluan. Pengadaan sarana dan prasarana bukannya dijadikan sarana untuk membuktikan bahwa Indonesia dapat membuat fasilitas Sea Games yang memuaskan, berstandar internasional, tapi ternyata dijadikan sarana untuk rebutan proyek.
Sebagai tuan rumah, kita mengharapkan lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang sebagai tanda atlet-atlet menjuarai cabang-cabang olah raga dan menngumpulkan pundi-pundi emas. Para atlet yang notabene pada umumnya adalah pemuda diharapkan dapat memaknai lagu kebangsaan Indonesia Raya sehingga menjadi energi yang luar biasa berjuang sampai titik darah penghabisan.

Dulu kita bangga memiliki atlet yang bisa mengharumkan nama bangsa. Misalnya pada cabang olah raga bulu tangkis. Prestasi yang dicapai bukan hanya di level Sea Games, tetapi Asian Games, bahkan Olimpiade. Kini, kita krisis prestasi olah raga. Pada perhelatan Piala AFF beberapa waktu yang lalu, kita berharap banyak kepada Timnas untuk berprestasi tetapi gagal di partai final, dikalahkan oleh Malaysia. Kemudian pada penyisihan Piala Dunia 2014, peluang Timnas bisa di katakan tertutup karena kalah oleh Iran, Bahrain, dan Qatar. Sekarang, masyarakat berharap banyak seluruh atlet Sea Games untuk dapat berprestasi.
Sekali lagi, di tengah persiapan Sea Games yang morat-marit ini, semoga pesan dan semangat Sumpah Pemuda dapat menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia untuk menyukseskan Sea Games, baik sukses penyelenggaraan maupun sukses prestasi. Semoga...!!!

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Pemerhati Masalah Sosial.

PERAN PEMUDA DI TENGAH KRISIS KEPEMIMPINAN
Oleh:
IDRIS APANDI

“Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru! Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia.” Kalimat itu diucapkan Soekarno, sang Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia sebagai gambaran pentingnya kekuatan dan peran pemuda dalam pembangunan mengisi kemerdekaan. Jika berkaca kepada sejarah dunia, kiprah pemuda telah banyak merubah wajah dunia dan mampu membangun atau memperbaiki peradaban.
Sejarah perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia memang tidak lepas dari peran pemuda. Peran pemuda diawali ketika  tahun 1908, Dr. Soetomo dan kawan-kawannya mendirikan organisasi Budi Utomo. Tanggal 28 Oktober 1928, melalui Kongres Pemuda II di Jakarta, para pemuda dari berbagai daerah seperti Jong Java, Jong Islamiten Bond, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Ambon, dan kelompok pemuda lainnya berkumpul menyatukan visi memperjuangkan kemerdekaan dengan mengikrarkan “Sumpah Pemuda”, yaitu berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu, Indonesia. Walaupun berbeda-beda suku bangsa, adat, dan budaya, tapi mereka mampu melepaskan ego masing-masing, mau bersatu demi Indonesia merdeka. Hal ini dilandasi oleh pengalaman bahwa perjuangan yang bersifat kedaerahan gagal dalam mengusir penjajah karena kekuatan yang kecil dan mudah dipecah belah. Perjuangan kemerdekaan Indonesia mencapai titik kulminasinya pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan diproklamirkannya kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) oleh Soekarno-Hatta.
Disamping dua nama proklamator di atas, kita tentu mengenal banyak tokoh pejuang kemerdekaan, seperti Sutan Sjahrir, Muhammad Yamin, Sjafrudin Prawiranegara, Muhammad Toha, Oto Iskandar Dinata, dan lain-lain. Di usia muda mereka sudah gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.Yang menjadi modal utama mereka bukanlah senjata, tetapi idealisme dan cita-cita agar Indonesia merdeka. Mereka berjuang tanpa pamrih, tak mengharapkan imbalan, tak ingin dipuji, dan tak ingin nama mereka dibesar-besarkan. Tetapi karena jasa-jasanya tersebut, nama mereka di tulis dalam tinta emas sejarah perjuangan bangsa.
Para founding father tersebut telah menitipkan negeri ini kepada kita khususnya para pemuda untuk melanjutkan cita-cita mereka mengisi kemerdekaan dengan pembangunan dalam berbagai bidang. Setelah 66 tahun kemerdekaan negeri ini, kita tentu dapat melihat ada  pembangunan yang dilakukan. Walaupun demikian, kita pun pun tak menutup mata masih banyak kekurangan dalam berbagai hal. Kemakmuran rakyat yang merupakan amanat konstitusi belum bisa terwujud. Kue pembangunan belum bisa dirasakan oleh semua warga masyarakat. Dan korupsi pun semakin merajalela.
Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah banyak ditinggalkan. Banyak kalangan menilai bahwa kebijakan pemerintah Indonesia sekarang sudah mengacu kepada faham neo-liberalisme dimana berlaku persaingan bebas, tidak berupaya memperkuat ekonomi kerakyatan sebagai fondasi ekonomi nasional. Hukum yang berlaku dalam pasar persaingan babas adalah yang memiliki banyak modal, itulah yang akan menjadi penguasa, sedangkan yang kurang memiliki modal akan tersisih dari persaingan. Dengan kata lain, yang kuatlah yang akan menang. Pemerintah mengimpor beras, garam, bawang merah, dan  kentang sementara para petani merana karena hasil taninya sulit bersaing dengan produk impor. Keberadaan pasar tradisional semakin terdesak oleh pasar modern.
Kesenjangan antara kaum kaya dan miskin semakin lebar. Berdasarkan hasil penelitian terbaru diketahui fakta yang cukup mencengangkan. Dalam kurun waktu 1,5 tahun, sejak Januari 2010 hingga Juni 2011, kenaikan kekayaan orang Indonesia mencapai US$420 miliar atau sekitar Rp3.738 triliun.  Dengan kenaikan itu, kekayaan total orang Indonesia di pertengahan 2011 mencapai US$1,8 triliun atau Rp16.000 triliun. Pertumbuhan kekayaan itu menjadikan Indonesia duduk pada urutan ke-14 negara kontributor tertinggi bagi pertumbuhan kekayaan global. Fakta itu jelas mencengangkan. Bayangkan, pertumbuhan kekayaan orang Indonesia itu tertinggi di Asia Tenggara. Indonesia berada di atas Singapura, yang mencatat kenaikan kekayaan US$307 miliar (Media Indonesia, 20/10/2011). Sementara di sisi lain, sekitar 40 juta rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Inilah gambaran tidak meratanya distribusi kesejahteraan. Yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin miskin.
Mengenai data konkrit jumlah penduduk miskin sering terjadi perdebatan antara versi Badan Pusat Statistik (BPS) dan versi Bank Dunia (World Bank). Hal ini terjadi karena perbedaan kriteria. BPS menyatakan bahwa orang miskin adalah yang berpenghasilan Rp 200 ribu ke bawah, sementara yang berpenghasilan di atasnya tidak termasuk ketagori orang miskin. Sedangkan kriteria Bank Dunia, yang disebut orang miskin jika berpenghasilan di bawah 2 (dua)  dollar US per hari. Kita sebenarnya tidak mau terjebak kepada perdebatan tersebut. Yang jelas, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak orang semakin terbebani dengan kenaikan harga-harga sembako, pendidikan dan kesehatan yang semakin tidak terjangkau, dan sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan. Dampaknya, banyak orang yang mengalami gangguan jiwa, stres, mudah tersulut emosi, dan melakukan tindakan kriminal.
Kesejahteraan sebuah negeri memang tidak lepas dari peran pemimpin. Melalui Pemilu atau Pemulikada kita memilih pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Tetapi yang terjadi adalah banyak pemimpin yang mengingkari mandat rakyat. Bukannya mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, justru mereka aji mumpung, menyalahgunakan jabatan dan wewenang yang dimilikinya untuk memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya dengan melakukan korupsi.
Di masa reformasi, peran pemuda tak terbantahkan. Pemuda khususnya kalangan mahasiswa berhasil menjatuhkan rezim otoriter Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto tahun 1998. Setelah itu, kita melihat para pemuda banyak berkiprah di dunia politik, aktif baik di eksekutif maupun di legislatif. Para pemimpin muda tersebut kita harapkan dapat menjadi lokomotif perubahan. Tetapi kita harus kecewa manakala pemimpin muda banyak juga yang terseret ke pusaran korupsi. Idealisme yang dulu mereka gelorakan lambat laun menurun bahkan padam. Idealisme mereka luluh oleh gegap gempita pragmatisme dan  praktek politik kotor yang diwarnai oleh politik uang (money politic) dan politik dagang sapi.
Saat ini kaum pemuda mengalami krisis kepemimpinan, para pemimpin saat ini tidak mampu mencerminkan keteladanan. Mereka banyak yang gontok-gontokkan terlibat perebutan  kekuasaan. Di satu sisi meminta rakyat hidup sederhana tetapi di sisi lain mereka hidup bermewah-mewahan dan bergelimang fasilitas yang berasal dari uang rakyat.
Diakui atau tidak, label negatif juga melekat pada sebagian pemuda. Pemuda yang saat ini banyak yang lebih senang tawuran daripada belajar, bermental copy-paste, bermental instan, tak mau susah-susah dalam menggapai sebuah cita-cita, banyak terlibat penyalahgunaan narkoba, dan seks bebas. Pemuda kita lebih senang nongkrong di mall daripada di membaca di perpustakaan meskipun mungkin aktivitas membaca bisa dilakukan dimana saja termasuk dengan memanfaatkan fasilitas wi-fi internet di cafe-cafe. Mereka lebih secang membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kesenangan daripada mendiskusikan kondisi bangsa dan negara. Mungkin mereka apatis karena negara ini kondisinya sudah sedemikian memperihatinkan. Menyelesaikan mnasalah di negeri ini ibarat mengurai benang kusut, yang tidak tahu harus mulai dari mana. Berbagai upaya juga kadang menemui jalan buntu karena ketidakseriusan pemerintah, lemahnya peran serta masyarakat, dan tidak tegaknya supremasi hukum.
Nasionalisme dan patriotisme pemuda saat banyak dipertanyakan. Dulu, ketika pemuda menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya atau lagu-lagu perjuangan, semangat mereka bergelora, bahkan ada yang sampai meneteskan air mata. Tetapi sekarang, lagu Indonesia Raya, hanya sekedar dinyanyikan, kurang dihayati makna yang terkandung di dalamnya sehingga kurang menyentuh. Bahkan ada yang menyanyikannya sambil bermain-main. Ukuran nasionalisme memang tidak hanya dapat diukur dengan sejauhmana keseriusan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, tetapi setidaknya bisa menjadi salah satu ciri dari rasa nasionalisme seseorang.
Begitu pun penghormatan terhadap bendera Merah Putih. Tidak lagi diperlakukan sebagai sebuah lambang negara yang sakral. Kadang, bendera yang terpasang di halaman kantor atau rumah dibiarkan terkena hujan dan panas sampai lapuk. Cara melipatnya pun sembarangan, tidak disertai dengan penghormatan. Berbeda dengan para pejuang kemerdekaan atau veteran pejuang memperlakukan sang Merah Putih dengan penuh penghormatan. Dalam sejarah, kita tentu pernah membaca bagaimana Ibu Fatmawati Soekarno menjahit bendera merah putih dan para pemuda menyimpan bendera tersebut untuk dikibarkan pada saat proklamasi kemerdekaan RI. Begitupun peristiwa di Hotel Yamato Surabaya tahun 1945 yang begitu heroik.  Dengan bertaruh nyawa para pejuang naik ke atap hotel kemudian merobek warna biru bendera Belanda sehingga menjadi warna merah putih.
Disamping label negatif yang dilekatkan kepada sebagian pemuda, kita patut bangga. Masih banyak pemuda yang berprestasi di berbagai bidang seperti olimpiade Fisika, Matematika, Komputer, olah raga, seni, dan budaya. Kita pun perlu mengapresiasi para pemuda yang menjadi pelopor terhadap berbagai kegiatan positif baik di kampus maupun di lingkungan masyarakatnya. Banyak diantara mereka yang menjadi sukarelawan dan pekerja sosial sehingga kiprah mereka benar-benar dirasakan oleh masyarakat.
Ketika para pemuda saat ini tengah mengalami krisis keteladanan pemimpin, pemuda sendiri-lah yang harus membangun dirinya sebagai calon pemimpin bangsa. Mereka harus meretas jalannya sendiri untuk meneruskan tongkat estafet pembangunan. Mereka harus berusaha memelihara idealismenya. Memang tidaklah mudah untuk mempertahankan idealisme di tengah budaya pragmatis yang semakin menggejala. Ketika sudah terjun ke lapangan, banyak sekali konflik kepentingan, kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Tetapi, pemuda perlu berupaya sekuat tenaga untuk untuk tidak tergerus pragmatisme. Peran organisasi pemuda juga perlu lebih diperkuat dalam mencetak pemuda menjadi insan-insan pembangunan yang memiliki idealisme dan karakter. Peribahasa mengatakan “air laut boleh asin, tapi ikan tidak ikut asin.” Mampukah? Waktulah yang akan menjawabnya. Wallahu a’lam.

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Pemerhati Masalah Sosial

Senin, 24 Oktober 2011


HAJI DALAM PERSPEKTIF BUDAYA

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang  yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta Alam.”
(QS Ali-Imran : 97)

Iring-iringan mobil tampak mengantarkan kloter calon jemaah haji ke suatu tempat yang telah ditentukan. Supaya mudah dikenal, pada kaca bagian depan dan belakang mobil ditempel kertas yang bertuliskan rombongan pengantar ibadah haji. Pemandangan seperti akan sering kita lihat menjelang masuknya musim haji dan akan semakin banyak jika sudah mendekati bulan dzuhijjah.
Sebagaimana kita ketahui menunaikan ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Allah mewajibkan kepada semua umat Islam yang mampu untuk menunaikannnya. Setiap umat Islam tentu mengharapkan suatu saat dapat menginjakkan kakinya di Baitullah karena itulah taraf ibadah paling tinggi dari ibadah-ibadah lainnya karena ibadah tersebut memerlukan persiapan lahir dan batin. Persiapan lahir berupa bekal, biaya, dan fisik yang kuat sementara persiapan batin berupa niat yang kuat, keimanan yang kokoh, dan kepasrahan terhadap semua ketentuan Allah SWT.
Ibadah haji disamping merupakan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah yang penuh dengan berbagai keutamaan dibandingkan ibadah yang dilakukan di luar Mekkah-madinah, juga merupakan bentuk pengalaman sipiritual yang sangat berkesan, tidak mungkin terlupakan bagi yang telah menunaikannya. Karena keutamaannya, orang yang pernah menunaikan ibadah haji pun, merinndukan suatu saat dapat menunaikannya kembali. Setiap jemaah haji tentunya berharap menjadi haji mabrur.
Menunaikan ibadah haji sebenarnya bukan hanya berkaitan dengan masalah biaya, tetapi juga berkaitan dengan taufik-hidayah Allah, dan nasib. Banyak yang secara materi sudah mampu tetapi hatinya belum tergerak menunaikan ibadah haji, tetapi ada kalanya ada orang yang secara materi kekurangan tetapi dapat menunaikan ibadah haji karena sudah “dipanggil” pergi Baitullah oleh Allah SWT. Orang yang sudah sampai ke Baitullah pun, tidak dapat menyelesaikan rangkaian rukun haji karena keburu meninggal. Selain itu, ada juga yang sudah pamitan dari rumah, ternyata tidak dapat berangkat ke Mekkah karena terlantar (atau diterlantarkan) oleh perusahaan pemberangkatan jemaah haji.
Indonesia termasuk salah satu negara negara yang setiap tahunnya mengirim jemaah haji paling banyak ke Saudi Arabia. Jumlahnya mencapai ratusan ribu orang. Bahkan kuota jemaah haji setiap tahun selalu terbatas sehingga orang harus sabar menanti bertahun-tahun untuk mendapatkan giliran menunaikan ibadah haji. Banyaknya warga yang ngantri ingin menunaikan ibadah haji selian berasal dari orang yang sama sekali belum menunaikannya, juga berasal dari orang yang ingin menunaikan ibadah haji kembali meskipun wajibnya hanya satu kali saja. Banyaknya orang yang ingin menunaikan ibadah haji juga menjadi indikator bahwa banyak rakyat Indonesia yang hidup sejahtera dibalik banyak pula rakyat yang hidup kekurangan.
Budaya
Pelaksanaan ibadah haji disamping bisa dikaji dari konteks religi, juga dapat dikaji dari konteks budaya. Jika kita perhatikan, setiap orang yang berniat menunaikan ibadah haji, maka jauh-jauh hari sudah menabung. Bagi petani, mereka rela menjual sawah dan ladang untuk bisa menunaikan ibadah haji. Ketika mereka sudah dipastikan mendapatkan kuota, mereka pun intens melakukan bimbingan (manasik) ibadah haji sebagai persiapan untuk melakukan berbagai ritual ibadah haji. Menjelang keberangkatan, mereka pun melakukan syukuran (walimatussafar). Mereka mengundang tetangga dan sahabat untuk menghadiri syukuran. Kegiatan disamping diisi dengan do’a juga diisi dengan tausyiah dari seorang mubaligh.
Jika kita perhatikan, pada saat orang-orang menghadiri undangan, ada tradisi menyerahkan amplop sebagai bentuk “kebaikan” untuk “bekal” orang yang akan pergi haji. Padahal, logikanya tidak semata-mata orang akan pergi haji jika tidak memiliki bekal yang cukup baik untuk dirinya ataupun keluarga yang ditinggalkannya. Biasanya, amplop-amplop tersebut dicatat oleh orang yang pergi haji tersebut. Ketika pulang dari ibadah haji, orang-orang yang memberikan amplop tersebut diberikan cinderamata atau “oleh-oleh” haji walaupun membelinya dari di Indonesia. Mereka pun telah mempersiapkan oleh-oleh untuk yang  berkunjung ke rumah. Ada semacam beban psikologis ketika pulang ibadah haji tidak memberikan cinderamata kepada tetangga, walaupun hanya sebuah tasbih.
Ketika pergi dari rumah menuju tempat penampungan (embarkasi), mereka diantar oleh keluarga, tetangga, dan sahabatnya. Ada kalanya jemaah haji harus menyiapkan akomodasi dan transportasi bagi pengantar. Jumlahnya bisa bermobil-mobil. Dan juga, biasanya para pengantar, disamping mengantar jemaah haji juga sekalian jalan-jalan dan berwisata. Pemandangan iring-iringan pengantar jemaah haji mungkin hanya terjadi di Indonesia, sedangkan di negara-negara lain, ibadah haji dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja. Biasanya, orang satu kampung tahu tentang keberangkatan seseorang untuk beribadah haji.
Ketika mereka sampai di Mekkah-Madinah, mereka mereka melakukan rangkaian rukun ibadah haji seperti ihram (memakai dua lembar kain putih), thawaf (mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali), sa’i (lari-lari kecil sebanyak tujuh kali antara safa dan marwa), wukuf (berdiam diri dan berdo’a di padang arafah pada tanggal sembilan dzulhijjah), melontar jumrah, tahallul (menggunting rambut setelah melakukan sa’i), mabit (bermalam di Mina dan Muzdalifah). Selama menunaikan ibadah haji, para jemaah haji diwajibkan memanfaatkan waktunya untuk senantiasa beribadah kepada Allah SWT karena ibadah haji merupakan kesempatan yang sangat berharga dan istimewa untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.
Pada saat pulang ke tanah air, para jemaah haji siap-siap dijemput oleh keluarga yang sudah cukup lama menunggu. Mereka saling berpelukan disertai tangis bahagia karena dapat kembali ke tanah air dalam keadaan selamat karena tak sedikit jamaah haji yang pulang nama, meninggal dan dikebumikan di Saudi Arabia. Setelah itu, pada umumnya mereka biasanya dipanggil “Pak Haji” dan “Bu Hajah”. Tak ketinggalan, huruf “H” atau “Hj” juga dicantumkan di awal namanya. Tapi ada juga sebagian kecil orang yang tidak mau dipanggil “Haji” atau “Hajah” atau mencantuman “gelar” kehajiannya karena menilai haji bukan sebuah gelar, tapi terlihat dari peningkatan kualitas keimanan, ketakaqwaan, dan akhlak setelah menunaikan ibadah haji. Atau dengan kata lain, menjadi haji mabrur (diterima Allah).
Di kampung-kampung yang masih cenderung feodal, seorang haji mendapatkan posisi status sosial yang lebih tinggi dari warga yang belum menunaikan ibadah haji. Mereka dijadikan pemimpin dan sosok panutan. Sayangnya, tak semua orang yang telah menunaikan ibadah haji mampu menampilkan pribadi terpuji yang diharapkan sehingga suka muncul istilah “haji...haji...tapi...”. Banyak yang sudah pergi haji tetapi masih sombong, riya, ingin dipuji orang, pelit, kurang memiliki kepedulian sosial, pelit untuk beramal, tidak mampu menjaga perkataan, sikap, dan perbuatannya sehingga justru dilecehkan oleh orang lain. itulah gambaran haji yang mardud (ditolak Allah). Sekarang tinggal kembali kepada setiap jemaah haji, apakah dia menunaikan ibadah haji dilandasi niat ikhlas untuk lebih bertaqarrub kepada Allah, atau hanya sebatas mengejar gengsi atau status sosial. Dan jawabannya akan terlihat dari perkataan, sikap, dan perilaku pasca menunaikan ibadah haji.
Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial.

Selasa, 04 Oktober 2011


POLITISI DAN KORUPSI


Korupsi terjadi hampir di setiap kalangan masyarakat, tak terkecuali di kalangan politisi. Politisi adalah orang yang bergerak atau berkecimpung di dunia politik. Politik sejatinya dapat diartikan sebagai ikhtiar mengelola negara untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Politik adalah lahan pengabdian untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Menjadi politisi adalah suatu pekerjaan yang sangat mulia. Para politisi menduduki jabatan-jabatan tertentu di lembaga politik seperti legislatif dan eksekutif. Politisi bisa muncul dari partai politik atau dari perseorangan.
Melihat fenomena beberapa tahun terakhir memang sangat memprihatinkan. Banyak politisi yang harus duduk di meja hijau dan dijeblosan ke penjara karena terlibat kasus korupsi. Bukan hanya politisi di tingkat pusat, politisi di tingkat daerah pun banyak yang terjerat korupsi. Lahan basah yang menjadi objek korupsi para politisi adalah APBD dan APBN. Bahkan ada yang nyambi menjadi calo anggaran.
Kasus-kasus korupsi yang paling update, misalnya kasus suap Sesmenpora, suap di Kemenakertrans, kasus surat Palsu MK yang disamping melibatkan politisi juga melibatkan kalangan birokrasi dan aparat penegak hukum. Saat ini pun muncul tuntutan agar Badan Anggaran (banggar) DPR dibubarkan karena disinyalir hanya menjadi ajang korupsi dan calo anggaran.  Beberapa pimpinan banggar DPR beberapa waktu yang lalu diperiksa sebagai saksi oleh KPK. Buntutnya, banggar pun ngambek mengancam menghentikan pembahasan APBN 2012. Selain itu, hubungan antara banggar DPR dan KPK pun menjadi kurang harmonis. Kita juga tentu masih ingat, beberapa waktu yang lalu dua orang pimpinan KPK, yaitu Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto pun pernah diusir oleh Komisi III DPR pada saat menghadiri rapat. Hal tersebut membuktikan bahwa hubungan antara KPK dan DPR kurang harmonis. Sudah cukup banyak anggota DPR yang dijebloskan oleh penjara oleh KPK sementara di satu sisi, para pimpinan KPK tersebut dipilih oleh DPR, sehingga ada semacam anggapan bahwa KPK justru menyerang lembaga yang dulu memilihnya.
Survei Kemitraan tahun 2010 memperlihatkan bahwa lembaga legislatif menempati urutan nomor satu sebagai lembaga terkorup dibandingkan lembaga yudikatif dan eksekutif.  Hasil survei tersebut menyebutkan korupsi legislatif sebesar 78%, eksekutif 32% dan Yudikatif 70%. Hasil survei tersebut dapat menjadi indikator bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga politik atau politisi sudah sangat rendah. Dampaknya, mungkin saja pada saat pemilu atau pemilukada, masyarakat sudah apatis dan memilih menjadi golput karena merasa dikhianati oleh para politisi yang mereka pilih.
Para politisi tersebut dipilih dan diberi amanah oleh masyarakat dengan harapan mampu memberikan perubahan dan mewujudkan kesejahteraan, tetapi kenyataannya berbanding terbalik. Para politisi tersebut justru menjadikan lembaga legislatif dan eksekutif sebagai sarana untuk korupsi dan memperkaya diri sementara rakyat yang memilihnya dilupakan, tetap miskin. Ketika kita bertanya kepada seorang politisi, mengapa mencalonkan diri menjadi caleg, Kepala Daerah, atau Presiden sekalipun, pasti jawabannya ideal, yaitu ingin mengabdi untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Mereka pun berjanji akan melakukan ini dan itu untuk memajukan daerah. Tetapi hal tersebut ternyata hanya menjadi bumbu kampanye, lip service tanpa upaya yang sungguh-sungguh utnuk merealisasikannya. Setelah menjadi pemimpin, justru kekayaan mereka semakin bertambah, sementara rakyat banyak yang hidup kesusahan. Masyarakat pun terpaksa harus kecewa dengan pilihannya tersebut.
Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi politisi, dia harus memiliki landasan moral yang kuat, menjunjung tinggi integritas dan kejujuran karena realitas dunia politik saat ini dikenal sebagai dunia yang kejam, penuh dengan intrik, kepalsuan, politik uang, dan kebohongan. Dalam politik juga berlaku hukum rimba, siapa yang kuat, dia yang akan menang. Bahkan Penyanyi Iwan Fals dalam salah satu lagunya menganalogikan dunia politik seperti dunia para binatang. Pragmatisme di kalangan pemilih pun semakin memperparah rendahnya kualitas kehidupan politik di Indonesia. Realitas seperti itu seharusnya tidak perlu terjadi andaikan praktek politik dilandasi oleh moral, integritas, dan kejujuran.
Jika kita perhatikan, usia politisi yang terlibat kasus korupsi cenderung semakin muda. Misalnya kasus korupsi yang menimpa mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin yang berusia sekitar 30 tahunan yang juga turut menyeret beberapa nama anggota DPR yang berasal dari partai Demokrat yang usianya pun masih muda. Apakah ini merupakan sinyal bahwa terjadi “kaderisasi” korupsi dari politisi senior kepada politisi junior? Jawabannya bisa “ya” atau juga bisa “tidak” tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Yang jelas, para politisi yang masih baru seumur jagung akan melihat gerak-gerik dan perilaku para politisi senior. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan kita dimana ketika di satu sisi pemerintah gencar memberantas korupsi, tetapi pelaku korupsi semakin banyak dan usianya semakin muda.
Maraknya korupsi yang dilakukan oleh politisi seolah-olah mengidentikkan dunia politik dengan korupsi. Stigma yang muncul adalah bahwa setiap politisi pasti (pernah) korupsi. Para pemimpin saat ini memang banyak yang dihujat oleh rakyatnya karena terjerat korupsi. Saat ini sulit sekali mencari pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya. Walaupun demikian, diantara banyaknya politisi yang korup, penulis melihat masih ada politisi yang bersih dan bisa menjadi panutan. Joko Widodo, Walikota Solo, Jawa Tengah adalah salah satu politisi yang menurut penulis perlu mendapatkan kredit point. Beliau begitu dicintai rakyatnya karena dinilai sebagai sosok pemimpin yang bersih, merakyat, berpihak kepada kepentingan rakyat, mampu melindungi pasar tradisional sebagai urat nadi perekonomian rakyat dari serbuan pasar modern dengan melarang berdirinya mall di kota Solo. Meskipun tidak sepaham dengan Bibit waluyo, Gubernur Jawa Tengah dalam konsep pengembangan ekonomi, tetapi Joko Widodo punya prinsip dan mendapat dukungan masyarakat Solo.
Selain Joko Widodo, sosok politisi (pemimpin) yang bisa dijadikan panutan adalah Adam Dambea, Walikota Gorontalo. Beliau sungguh-sungguh memberantas korupsi di kota Gorontalo. Beliau pun terjun langsung ke lapangan, berinteraksi dengan masyarakat, tanggap terhadap setiap keluhan masyarakat, dan menjadi sosok terdepan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Beliau terkenal pemimpin yang tegas, tak segan-segan menindak stafnya yang tidak melaksanakan tugas dengan baik. Beliau menjadi sosok pemimpin yang disegani oleh bawahan dan dicintai oleh rakyat karena satunya perkataan dan perbuatan.
Penulis melihat bahwa korupsi yang terjadi di kalangan politisi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena rendahnya moralitas dan integritas sehingga menyebabkan mereka tergiur untuk korupsi. Ketika pertama kali masuk ke dunia politik, seorang politisi mungkin masih memiliki idealisme, tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan sistem yang kotor, maka idealismenya tersebut lambat laun terus menurun bahkan hilang.
Kedua, mahalnya biaya politik. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ketika seseorang mencalonkan diri menjadi caleg atau Kepala Daerah, biaya yang dibutuhkan sangat besar. Dana tersebut disamping berasal dari dirinya sendiri, juga berasal dari “sumbangan” pengusaha sehingga ketika dia terpilih, maka langka yang pertama dilakukan adalah mengembalikan modalnya dan harus memberikan bakpas budi kepada pihak-pihak yang telah menyumbang dan menjadi tim suksesnya. Peribahasa Inggris mengatakan “no lunch free” alias tak ada makan siang gratis. Sumbangan yang diberikan dari pihak tertentu kepada seorang politisi tentunya disertai dengan motif tertentu, sangat sulit lepas dari kepentingan terselubung penyumbang.
Ketiga, gagalnya kaderisasi dan pendidikan politik di partai politik. Realita menunjukan bahwa ketika seseorang ingin menjadi ketua parpol, maka dia harus memiliki “gizi” yang banyak, sehingga politik uang, politik transaksional pun terjadi ketika pemilihan ketua parpol. Orang yang tidak berdarah-darah meniti karir politik dari bawah mendadak bisa menjadi elit partai karena memiliki uang. Salah satu fungsi parpol adalah menjadi sarana pendidikan politik, membentuk orang-orang muda untuk menjadi politisi yang idealis,bermoral, dan militan, tetapi ternyata hanya melahirkan politisi karbitan dan pragmatis, hanya menjadikan parpol sebagai kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan. Hal ini tidak lepas dari praktek di internal parpol sendiri yang penuh dengan instrik dan politik uang.
Penulis menilai bahwa parpol adalah pihak yang  paling bertanggung jawab terhadap korupsi yang dilakukan oleh politisi karena parpol telah gagal menjalankan fungsinya. Dalam sebuah negara demokrasi, keberadaan parpol adalah sebuah keniscayaan sebagai agen untuk melahirkan pemimpin. Keikutsertaan parpol dalam pemilu adalah sebuah ikhtiar konstitusional untuk membangun sebuah tatanan negara dan pemerintahan yang bisa mewujudkan negara bangsa yang makmur dan sejahtera. Oleh karena itu, keberadaan parpol dibutuhkan dalam sebuah negara demokratis. Partai politik pun kerap dituding sebagai bunker yang melindungi koruptor sehingga komitmen parpol sebagai lembaga yang antikorupsi pun semakin diragukan.
Walaupun demikian, kita tidak bisa menyalahkan terhadap masyarakat yang semakin apatis terhadap partai politik. Setiap menjelang pemilu, banyak partai politik baru berdiri dan menawarkan perubahan, tetapi hasilnya sama saja. Rakyat selalu dibohongi dan dibuai dengan janji-janji manis. Pada awal bergulirnya reformasi tahun 1997, partai-partai baru dengan penuh percaya diri mengklaim sebagai partai yang antikorupsi. Rakyat pun menyimpan harapan terhadap partai-partai baru tersebut. Tetapi realitanya ketika sudah berkuasa, justru menjadi sarang koruptor. Seorang pimpinan parpol yang dulunya seorang aktivis dan ketua organisasi mahasiswa, saat ini justru terseret ke dalam pusaran kasus korupsi.
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sudah rendah tersebut, partai politik secara institusi dan politisi secara individu harus introspeksi diri, memperbaiki diri, membersihkan dirinya dari para kader yang korup. Integritas dan kejujuran merupakan hal yang mutlak harus dimiliki oleh kader-kader parpol. Jika tidak, maka keberadaan parpol semakin tidak dipercaya dan semakin tidak dibutuhkan oleh masyarakat.

Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Sosial.

PENDIDIKAN KARAKTER BAGI ORANG DEWASA


Wacana tentang pendidikan karakter mengemuka di tengah keprihatinan kita terhadap krisis karakter bangsa yang kian menggejala di berbagai lapisan masyarakat. Para pejabat banyak yang  terlibat korupsi, masyarakat, mahasiswa, dan pelajar banyak yang terlibat tawuran, anak-anak muda kita banyak yang terlibat seks bebasm penggunaan narkotika, obat-obat terlarang, aborsi, dan sebagainya. Budaya instan, materialisme, dan  hedonisme kian menjadi “ideologi” bangsa kita. Lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi sarana pembentukan mental dan karakter peserta didik juga terkena virus krisis karakter. Sebut saja berbagai kasus kecurangan pada saat Ujian Nasional (UN), mencontek karya ilmiah orang lain (plagiarisme), pemalsuan dan jual beli ijazah, dan sebagainya.
Dilandasi berbagai hal tersebut di atas, maka pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) mulai tahun 2010 meminta sekolah-sekolah mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kurikulum sekolah. Para guru diminta untuk bekerja lebih keras dalam membina dan membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang berkarakter. Berkarakter di sini, maksudnya bukan hanya memiliki budi pekerti yang baik, tetapi juga memiliki semangat kerja keras, pantang menyerah, dan memiliki mental berprestasi.
Pendidikan karakter bukan hanya berkutat memperkenalkan sejumlah sikap dan perilaku yang baik kepada peserta didik, tetapi juga bagaimana membiasakan para peserta didik untuk melakukannya bukan hanya di sekolah tetapi juga di lingkungan rumah dan masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan bukan karakter tidak disampaikan dalam bentuk ceramah saja, tetapi harus ada prakteknya. Dan yang paling utama adalah harus ada sosok atau figur orang dewasa yang mampu menjadi contoh teladan.
Kalau kita mau objektif menilai, berbagai krisis karakter bangsa saat ini justru lebih banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa. Coba kita perhatikan siapa yang melakukan korupsi, siapa yang suka membung sampah sembarangan, siapa yang suka merokok di tempat-tempat yang memang dilarang untuk merokok, siapa yang suka melanggar rambu-rambu lalu lintas, siapa yang suka berkata-kata kasar dan kotor, siapa yang terlibat skandal seks, dan siapa yang yang suka melakukan berbagai perilaku menyimpang lainnya. Jawabannya adalah orang dewasa. Orang dewasa-lah yang memberikan contoh kepada orang muda sehingga mereka melakukan perilaku menyimpang. Jadi, di sini terjadi efek imitasi atau meniru dari orang muda terhadap orang dewasa.
Kemdiknas begitu bersemangat menggaungkan pendidikan karakter di sekolah, tetapi tak seiring sejalan dengan yang terjadi di lapangan. Para pejabat silih berganti diperiksa dan diadili di meja hijau karena kasus korupsi, kasus-kasus tawuran, kasus bom bunuh diri, dan kasus kekerasan yang berbau SARA menjadi pemberitaan media setiap hari. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan kita. Hal ini kontraproduktif di tengah upaya untuk memperbaiki karakter bangsa ini.
Pemerintah  terkesan hanya fokus membangun karakter didik, tetapi kurang fokus membangun atau memperbaiki karakter bangsa secara umum. Hal ini mungkin dilandasi oleh asumsi bahwa generasi muda adalah calon penerus bangsa. Para pemimpin juga kurang memberikan keteladanan kepada masyarakat. Kita faham bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Di sini sering terjadi kesenjangan. Di satu sisi, sekolah berusaha dengan sekuat tenaga mendidik para peserta didik, tetapi di sisi lain, mereka kurang mendapatkan pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Justru kedua lingkungan tersebut mengerosi nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah. Dengan kata lain, tidak ada kerjasama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kita tentu faham bahwa keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Kedua orang tuanya adalah guru pertama mereka. Lingkungan masyarakat pun merupakan “sekolah alam” bagi mereka. Satu langkah mereka keluar dari gerbang sekolah, di situlah terjadi konflik nilai dengan yang diajarkan di sekolah. Hal ini menjadi persoalan serius bagi kita di tengah karakter masyarakat yang di satu sisi cenderung permisif dan di sisi lain juga cenderung intoleransi terhadap perbedaan.
Orang dewasa memiliki peranan penting dalam rangka membangun karakter anak-anak dan remaja. Dari orang dewasa-lah, mereka memperoleh pengalaman yang mungkin akan menjadi patokan atau acuan dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga apapun yang dilakukan oleh orang dewasa baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk akan dicontoh oleh mereka. Sehingga orang dewasa harus mawas diri, menjaga sikap dan perilakunya di hadapan anak-anak dan remaja. Dengan demikian, pendidikan karakter bukan hanya perlu ditekankan kepada orang muda (anak-anak dan remaja) tetapi juga untuk orang dewasa.
KUHPerdata mendefinsikan orang dewasa sebagai orang sudah berusia 21 tahun atau sudah menikah. Model pendidikan karakter bagi orang dewasa tentu tidak seperti model untuk anak usia sekolah. Penulis berpendapat bahwa model pendidikan karakter bagi orang dewasa tidak melalui pendekatan indoktrinatif, ceramah, dan hal-hal lain yang lebih bersifat teoritis, tetapi lebih fokus kepada pembiasaan dan keteladanan. Dan yang paling utama adalah perlu adanya kesadaran dari orang dewasa untuk bersikap dan berbuat sesuai dengan norma dan etika yang berlaku di masyarakat.
Pada dasarnya orang dewasa tidak terlalu senang diceramahi, didikte, atau dikritik karena merasa sudah bisa memilah, memilih, dan memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan. Orang dewasa di satu waktu mungkin saja dapat “dididik” oleh orang lain agar memiliki karakter yang baik,  tetapi yang paling utama adalah dia harus mampu “mendidik” dirinya sendiri untuk berkarakter baik. Tanpa itu, pendidikan karakter bagi orang dewasa tidak akan optimal. Dalam konteks praksis, setiap orang dewasa perlu memulai dari dirinya sendiri untuk menaati yang berlaku di masyarakat sehingga setiap orang muda dapat mencontohnya.
Para orang muda tentunya berharap kepada setiap orang dewasa untuk memberikan contoh yang baik. Para orang dewasa tidak bisa berpangku tangan membiarkan krisis karakter semakin kronis mendera bangsa ini. Tugas mendidik karakter bukan hanya tugas guru sebagai bagian dari orang dewasa, tetapi orang dewasa secara umum juga perlu menjadi guru dan mengimplementasikan pendidikan karakter.
Dalam konteks pendidikan formal, Perguruan Tinggi (PT) baik di level sarjana maupun pascasarjana dapat berperan dalam memberikan pendidikan karakter bagi orang dewasa,  meskipun tentunya pola pendidikan yang digunakan adalah pola andragogi (pendidikan bagi orang dewasa). Misalnya, adanya larangan merokok di tempat-tempat tertentu di sekitar kampus, menggunakan pakaian ke kampus yang sesuai dengan norma dan etika, membiasakan datang datang tepat waktu, saling menghormati pendapat ketika diskusi di dalam kelas, menekankan pentingnya kejujuran akademis dan  orisinalitas dalam membuat karya tulis ilmiah dan penelitian, dan sebagainya. Pendidikan karakter bagi orang dewasa diharapkan mampu menunjang pendidikan karakter peserta didik. Bangsa yang berkarakter berawal dari individu-individu yang berkarakter. Semoga....!!!

Penulis, Guru SMP Madani KBB, Widyaiswara LPMP Jawa Barat.