Rabu, 28 September 2011


PENDIDIKAN KARAKTER BAGI ORANG DEWASA


Wacana tentang pendidikan karakter mengemuka di tengah keprihatinan kita terhadap krisis karakter bangsa yang kian menggejala di berbagai lapisan masyarakat. Para pejabat banyak yang  terlibat korupsi, masyarakat, mahasiswa, dan pelajar banyak yang terlibat tawuran, anak-anak muda kita banyak yang terlibat seks bebasm penggunaan narkotika, obat-obat terlarang, aborsi, dan sebagainya. Budaya instan, materialisme, dan  hedonisme kian menjadi “ideologi” bangsa kita. Lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi sarana pembentukan mental dan karakter peserta didik juga terkena virus krisis karakter. Sebut saja berbagai kasus kecurangan pada saat Ujian Nasional (UN), mencontek karya ilmiah orang lain (plagiarisme), pemalsuan dan jual beli ijazah, dan sebagainya.
Dilandasi berbagai hal tersebut di atas, maka pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) mulai tahun 2010 meminta sekolah-sekolah mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kurikulum sekolah. Para guru diminta untuk bekerja lebih keras dalam membina dan membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang berkarakter. Berkarakter di sini, maksudnya bukan hanya memiliki budi pekerti yang baik, tetapi juga memiliki semangat kerja keras, pantang menyerah, dan memiliki mental berprestasi.
Pendidikan karakter bukan hanya berkutat memperkenalkan sejumlah sikap dan perilaku yang baik kepada peserta didik, tetapi juga bagaimana membiasakan para peserta didik untuk melakukannya bukan hanya di sekolah tetapi juga di lingkungan rumah dan masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan bukan karakter tidak disampaikan dalam bentuk ceramah saja, tetapi harus ada prakteknya. Dan yang paling utama adalah harus ada sosok atau figur orang dewasa yang mampu menjadi contoh teladan.
Kalau kita mau objektif menilai, berbagai krisis karakter bangsa saat ini justru lebih banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa. Coba kita perhatikan siapa yang melakukan korupsi, siapa yang suka membung sampah sembarangan, siapa yang suka merokok di tempat-tempat yang memang dilarang untuk merokok, siapa yang suka melanggar rambu-rambu lalu lintas, siapa yang suka berkata-kata kasar dan kotor, siapa yang terlibat skandal seks, dan siapa yang yang suka melakukan berbagai perilaku menyimpang lainnya. Jawabannya adalah orang dewasa. Orang dewasa-lah yang memberikan contoh kepada orang muda sehingga mereka melakukan perilaku menyimpang. Jadi, di sini terjadi efek imitasi atau meniru dari orang muda terhadap orang dewasa.
Kemdiknas begitu bersemangat menggaungkan pendidikan karakter di sekolah, tetapi tak seiring sejalan dengan yang terjadi di lapangan. Para pejabat silih berganti diperiksa dan diadili di meja hijau karena kasus korupsi, kasus-kasus tawuran, kasus bom bunuh diri, dan kasus kekerasan yang berbau SARA menjadi pemberitaan media setiap hari. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan kita. Hal ini kontraproduktif di tengah upaya untuk memperbaiki karakter bangsa ini.
Pemerintah  terkesan hanya fokus membangun karakter didik, tetapi kurang fokus membangun atau memperbaiki karakter bangsa secara umum. Hal ini mungkin dilandasi oleh asumsi bahwa generasi muda adalah calon penerus bangsa. Para pemimpin juga kurang memberikan keteladanan kepada masyarakat. Kita faham bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Di sini sering terjadi kesenjangan. Di satu sisi, sekolah berusaha dengan sekuat tenaga mendidik para peserta didik, tetapi di sisi lain, mereka kurang mendapatkan pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Justru kedua lingkungan tersebut mengerosi nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah. Dengan kata lain, tidak ada kerjasama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kita tentu faham bahwa keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Kedua orang tuanya adalah guru pertama mereka. Lingkungan masyarakat pun merupakan “sekolah alam” bagi mereka. Satu langkah mereka keluar dari gerbang sekolah, di situlah terjadi konflik nilai dengan yang diajarkan di sekolah. Hal ini menjadi persoalan serius bagi kita di tengah karakter masyarakat yang di satu sisi cenderung permisif dan di sisi lain juga cenderung intoleransi terhadap perbedaan.
Orang dewasa memiliki peranan penting dalam rangka membangun karakter anak-anak dan remaja. Dari orang dewasa-lah, mereka memperoleh pengalaman yang mungkin akan menjadi patokan atau acuan dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga apapun yang dilakukan oleh orang dewasa baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk akan dicontoh oleh mereka. Sehingga orang dewasa harus mawas diri, menjaga sikap dan perilakunya di hadapan anak-anak dan remaja. Dengan demikian, pendidikan karakter bukan hanya perlu ditekankan kepada orang muda (anak-anak dan remaja) tetapi juga untuk orang dewasa.
KUHPerdata mendefinsikan orang dewasa sebagai orang sudah berusia 21 tahun atau sudah menikah. Model pendidikan karakter bagi orang dewasa tentu tidak seperti model untuk anak usia sekolah. Penulis berpendapat bahwa model pendidikan karakter bagi orang dewasa tidak melalui pendekatan indoktrinatif, ceramah, dan hal-hal lain yang lebih bersifat teoritis, tetapi lebih fokus kepada pembiasaan dan keteladanan. Dan yang paling utama adalah perlu adanya kesadaran dari orang dewasa untuk bersikap dan berbuat sesuai dengan norma dan etika yang berlaku di masyarakat.
Pada dasarnya orang dewasa tidak terlalu senang diceramahi, didikte, atau dikritik karena merasa sudah bisa memilah, memilih, dan memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan. Orang dewasa di satu waktu mungkin saja dapat “dididik” oleh orang lain agar memiliki karakter yang baik,  tetapi yang paling utama adalah dia harus mampu “mendidik” dirinya sendiri untuk berkarakter baik. Tanpa itu, pendidikan karakter bagi orang dewasa tidak akan optimal. Dalam konteks praksis, setiap orang dewasa perlu memulai dari dirinya sendiri untuk menaati yang berlaku di masyarakat sehingga setiap orang muda dapat mencontohnya.
Para orang muda tentunya berharap kepada setiap orang dewasa untuk memberikan contoh yang baik. Para orang dewasa tidak bisa berpangku tangan membiarkan krisis karakter semakin kronis mendera bangsa ini. Tugas mendidik karakter bukan hanya tugas guru sebagai bagian dari orang dewasa, tetapi orang dewasa secara umum juga perlu menjadi guru dan mengimplementasikan pendidikan karakter.
Dalam konteks pendidikan formal, Perguruan Tinggi (PT) baik di level sarjana maupun pascasarjana dapat berperan dalam memberikan pendidikan karakter bagi orang dewasa,  meskipun tentunya pola pendidikan yang digunakan adalah pola andragogi (pendidikan bagi orang dewasa). Misalnya, adanya larangan merokok di tempat-tempat tertentu di sekitar kampus, menggunakan pakaian ke kampus yang sesuai dengan norma dan etika, membiasakan datang datang tepat waktu, saling menghormati pendapat ketika diskusi di dalam kelas, menekankan pentingnya kejujuran akademis dan  orisinalitas dalam membuat karya tulis ilmiah dan penelitian, dan sebagainya. Pendidikan karakter bagi orang dewasa diharapkan mampu menunjang pendidikan karakter peserta didik. Bangsa yang berkarakter berawal dari individu-individu yang berkarakter. Semoga....!!!

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar