Minggu, 11 September 2011

DRAMA UJIAN NASIONAL

Jika kita perhatikan, UN dengan segala pro dan kontra menjelang pelaksanaannya ibarat sebuah drama yang menguras waktu, tenaga, emosi, dan air mata. Bagaimana tidak semua pihak mulai dari pemerintah, guru, siswa, orang tua, aparat kepolisian, dan berbagai pihak terkait lainnya memusatkan energi, waktu, dan pikirannya menghadapi rutinitas tahunan yang menghabiskan dana ratusan milar tersebut.
Menjelang UN pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional dan Badan Standar Pendidikan (BSNP) menyiapkan anggaran, regulasi, dan sosialisasi pelaksanaan UN, pihak sekolah pun menyiapkan diri dengan menyelenggarakan pemantapan. Masih dirasa kurang dengan kegiatan pemantapan, para orang tua siswa memasukkan anaknya ke lembaga bimbingan belajar. Mereka di drill mengerjakan latihan soal-soal UN tahun sebelumnya agar mereka terbiasa pada saat hari-H UN nanti. Selain itu, untuk memberikan kekuatan mental kepada para siswa, sekolah melaksanakan do’a bersama atau istogotsah, bakti sosial, meminta do’a, meminta siswa untuk sholat tahajjud, sholat dhuha, bahkan melakukan perbuatan irasional dengan meminum air keramat untuk membuat mental mereka siap menghadapi UN.
Detik-detik menjelang UN, pemerintah sibuk dengan pencetakan dan pendistribusian soal, sekolah menyiapkan berbagai sarana untuk pelaksanaan UN, aparat kepolisian pun tak kalah sibuk mengawal pembuatan dan pendistribusian naskah soal UN. Kemudian naskah soal-soal UN itu ditunggui, dijaga siang dan malam baik oleh aparat pemerintah maupun aparat kepolisian untuk mengantisipasi kebocoran soal.
Pada saat hari-H pelaksanaan UN, dibawah pengawasan para pengawas, Tim Pemantau Independen (TPI) dan aparat kepolisan, para siswa mengerjakan soal-soal UN. Ada yang percaya diri dan ada pula yang kurang percaya diri karena persiapannya kurang optimal. Isu kebocoran soal UN mulai merebak, SMS kunci jawaban soal beredar dari HP ke HP. Para siswa ada percaya dan ada tidak menghiraukan SMS tersebut karena takut tertipu atau terjebak. Jual beli soal dan kunci jawaban pun sempat mencuat pada UN tahun sebelumnya. Khusus mengenai TPI, pemerintah menggandeng Perguruaan Tinggi (PT) untuk memantau UN. Walaupun pengawasan sudah ketat, tetapi kebocoran dan kecurangan tetap terjadi. “Tim Sukses” yang telah disiapkan sekolah terus bergerilya dan mencari celah untuk “membantu” siswanya agar lulus UN. Hiruk pikuk UN juga diramaikan oleh kunjungan atau sidak para pejabat mulai dari pejabat pemerintah pusat (menteri), pemerintah (Gubernur, Bupati/Walikota), dan anggota DPRD/DPR.
Setelah selesai UN, sejenak pihak sekolah dapat “melupakan” UN karena berkonsentrasi menghadapi Ujian Sekolah (US). Lembar Jawaban Komputer (LJK) pun diperiksa oleh Kemendiknas. Pada tahap ini, drama UN sejenak terhenti. Drama UN kembali berlanjut dan mencapai klimaks ketika kelulusan UN diumumkan. Ekspresi kebahagiaan terlihat dari siswa yang lulus, dan ekspresi kesedihan terpancar dari siswa yang lulus UN.
Bagi yang lulus, diibaratkan mereka telah keluar dari lobang sedangkan bagi siswa yang tidak lulus, ketidaklulusannya dalam UN ibarat petir di siang bolong. Mental mereka sangat terpukul. Hal itu terlihat pada pengumuman UN SMA/MA/SMK beberapa waktu yang lalu. Berbagai ekspresi terpancar dari siswa yang tidak lulus UN. Ada yang menangis, histeris, pingsan, emosional, menyalahkan Kepala Sekolah, menantang guru berkelahi, sampai merusak sekolah. Perusakan sekolah yang terjadi di beberapa daerah sangat kita sayangkan. Kita tentu sangat prihatin dengan kelakuan para pelajar tersebut seakan mereka tidak diajarkan budi pekerti dan sopan santun. Mereka kalap tak ubahnya preman merusak almamater mereka sendiri yang susah payah dibangun dengan biaya yang tidak sedikit. Rasa cinta mereka terhadap almamater seketika terhapus gara-gara tidak lulus UN.
Perusakan sekolah oleh siswa yang tidak lulus UN disamping karena luapan emosi siswa, juga karena kurangnya antisipasi pihak sekolah. Mereka tidak berkoordinasi dengan pihak kepolisian atan kurangnya pendekatan dengan para siswa yang tidak lulus. Penulis punya teman seorang guru di sebuah SMA. Di sekolahnya ada 12 orang siswa yang tidak lulus. Untuk mengantisipasi gejolak atau masalah yang timbul, satu hari sebelum hari-H pengumuman kelulusan, pihak sekolah menugaskan beberapa orang guru untuk berkunjung ke rumah siswa-siswa yang tidak lulus tersebut. Mereka memberikan informasi secara persuasif kepada masing-masing orang tua siswa bahwa anaknya tidak lulus sambil menyerahkan Surat Keterangan Kelulusannya kepada orang tua. Mereka diminta untuk tidak datang pada saat pengumuman kelulusan di sekolah karena hasilnya sudah diketahui. Ternyata pendekatan tersebut ampuh untuk mengantisipasi gejolak atau masalah yang ditimbulkan oleh siswa yang tidak lulus.
Ketika ada sisa yang tidak lulus, sebenarnya bukan hanya siswa atau orang tua siswa yang sedih, pihak sekolah pun bersedih karena ada anak didiknya yang tidak lulus. Selain itu, pekerjaan sekolah juga jadi bertambah karena disamping menyiapkan berbagai administrasi bagi siswa yang lulus seperti pengumpulan nilai dan penulisan ijazah, juga harus menyiapkan untuk mendaftarkan siswa yang tidak lulus UN mengikuti UN ulangan.
Tingkat kelulusan UN SMA/MA Tahun 2010 secara nasional mengalami penurunan sebesar 4 persen bila dibanding dengan tahun 2009, yakni dari 93,74 perse menjadi 89,88 persen. Siswa banyak tidak lulus pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan Nasional menyampaikan bahwa ketidaklulusan siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia disebabkan karena siswa menganggap enteng sehingga mereka kurang optimal mempersiapkan diri. Selain itu, sarana dan prasarana sekolah diakuinya juga masih banyak yang belum memadai. UN tahun 2010 juga diwarnai dengan adanya 267 sekolah yang 100% siswa tidak lulus. Ini tentu sangat mengherankan. Masa, dalam satu sekolah tidak ada satu orang siswa pun yang lulus? Oleh karena itu, untuk menindaklanjuti masalah ini, Mendiknas membentuk tim investigasi untuk mencari data dan informasi mengenai perihal masalah tersebut.
Pelaksanaan UN dari tahun ke tahun selalu meninggalkan masalah. Mulai dari masalah teknis penyelenggaraan dan substansi UN itu sendiri yang mendapatan tentangan dari beberapa pihak termasuk pakar pendidikan, kecurangan, kebocoran, sampai menyikapi hasil UN khususnya bagi siswa yang tidak lulus. Jika mekanisme pelaksanaan UN tidak diperbaiki (atau bagi sebagian pihak UN dihapuskan saja karena hanya memboroskan anggaran negara dan dianggap mengorbankan siswa), UN hanya menjadi drama dimana pemerintah (Kemendiknas/BSNP/Pemda) menjadi sutradara dan penulis skenario, Kepala Sekolah, Guru, dan para siswa menjadi aktor-aktornya. Siap-siap saja kita melihat lagi suasana gundah, senang, haru, dan keprihatinan di tahun yang akan datang.

Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Sosial.
(Tulisan ini dimuat di HU Galamedia, tanggal 8 Mei 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar