Kamis, 29 September 2011


URGENSI PENDIDIKAN LALULINTAS


“Setiap 30 menit satu orang meninggal karena kecelakaan lalulintas di Indonesia dan setiap satu jam ada yang terluka parah karena kecelakaan”
(Dr. Agus Taufik Mulyono, Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada, www.bbcindonesia.com, 16/06/2008)

Jika kita perhatikan suasana jalan raya di kota-kota besar saat ini sungguh sangat semrawut. Kemacetan hampir terjadi di setiap ruas jalan. Dengan alasan buru-buru takut terlambat ke tempat tujuan, para pengendara kendaraan bermotor saling serobot memanfaatkan sekecil apapun ruang yang ada diantara berjubelnya kendaraan. Demi mengejar waktu, para pengendara pun tak segan-segan melanggar rambu-rambu lalulintas. Mereka pun mengabaikan untuk saling menghormati sesama pengguna jalan lainnya.
Polisi walaupun sudah berupaya keras mengatur arus lalulintas, tetapi kemacetan semakin sulit dikendalikan. Kemacetan yang terjadi saat ini disamping disebabkan oleh rendahnya disiplin pengguna jalan raya, juga tidak lepas dari semakin tidak seimbangnya jumlah kendaraan dan panjang jalan. Pertambahan jumlah kendaraan bermotor khususnya kendaraan roda dua di Indonesia  saat ini mencapai 24-30 % dalam satu tahun. Jika regulasi berkaitan dengan pembatasan jumlah kendaraan dan panjang jalan tidak diatur dengan tegas, maka tidak tertutup kemungkinan suatu saat akan terjadi kemacetan total.
Untuk semakin mempertegas dan memperjelas regulasi berkaitan dengan lalulintas, pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan menggantikan Undang-undang Nomor 14 tahun 1992. Sekarang tinggal menunggu keseriusan aparat kepolisan untuk mengatur dan menindak pelanggar lalulintas.
Sebuah ungkapan bijak menyatakan bahwa “jalan raya cerminan peradaban sebuah bangsa”. Dengan merujuk kepada ungkapan tersebut, jika kondisi jalan raya saat ini semrawut dan macet, maka dapat diasumsikan bahwa bangsa kita belum termasuk bangsa yang beradab karena masih senang melanggar peraturan lalulintas tanpa rasa bersalah. Pelanggaran peraturan lalulintas bukan hanya dilakukan oleh pengendara kendaraan bermotor saja, tetapi Pedagang Kaki Lima (PKL) dan pejalan kaki juga ikut melanggar. PKL tidak segan-segan berjualan di badan jalan dan trotoar sehingga semakin menambah macet jalan. Pejalan kaki juga dengan seenaknya menyeberang dimana saja tidak melalui zebra cross atau jembatan penyeberangan. Kendaraan umum menunggu atau menurunkan penumpang bukan di tempat semestinya, dan ugal-ugalan dalam menjalankan kendaraan. 
Ketidakdisiplinan dan kelalaian pengguna jalan tak ayal sering menyebabkan terjadinya kecelakaan lalulintas. Selain itu, kecelakaan juga disebabkan oleh kondisi jalan yang rusak, kondisi kendaraan yang tidak laik jalan, dan berlebihnya muatan kendaraan. Oleh karena itu, aparat kepolisian harus semakin tegas dalam menindak para pelanggar lalulintas karena disamping membahayakan dirinya sendiri juga membahayakan pengguna jalan lainnya. Indonesia menempati urutan pertama di ASEAN dalam hal kecelakaan lalulintas (TV One, 24/02/2010). Data Kementerian  Perhubungan menyebutkan  bahwa untuk kendaraan roda dua saja, persentase kecelakaan mencapai lebih dari 67% karena kecelakaan lebih banyak melibatkan pengendara kendaraan roda dua. Asian Development Bank (ADB) mengeluarkan data yang cukup mencengangkan terkait jumlah kecelakaan lalulintas di Indonesia. Menurut ADB, pada tahun 2007, ada 30.000 orang meninggal dan kerugiannya mencapai 41 triliun (Seputar Indonesia, 21/04/2008).
Pendidikan Lalulintas
Melihat kenyataan banyaknya pelanggaran lalulintas dan tingginya angka kecelakaan di jalan raya, disamping melakukan penegakkan hukum terhadap pelanggar lalulintas, sebagai tindakan preventif, Polri saat ini telah bekerja sama Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) untuk memberikan pendidikan lalulintas pada jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA. Hal ini dilandasi niat untuk memberikan sekaligus membangun pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran siswa terhadap peraturan lalulintas. Kita tidak menutup mata bahwa saat ini banyak siswa yang menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Tidak jarang kita melihat mereka melanggar peraturan lalulintas seperti tidak membawa atau memiliki SIM, STNK, tidak menggunakan helm, kebut-kebutan, ugal-ugalan, melanggar lampu lalulintas dan rambu-rambu lalulintas lainnya. Atau belum berumur 17 tahun tetapi sudah mengendarai sepeda motor. Dengan dalih sayang kepada anak atau lebih praktis, orang tua juga memfasilitasi anaknya pergi ke sekolah dengan menggunakan sepeda motor walaupun belum cukup umur dan tidak memiliki SIM.
Berdasarkan kepada hal tersebut di atas, maka Pendidikan lalulintas (PLL) menjadi sangat urgen (baca = penting) untuk diberikan di sekolah. Bentuk-bentuk pendidikan lalulintas dapat dilakukan dengan beragam cara. Antara lain, pertama, mengintegrasikannya pada mata pelajaran khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) karena mata pelajaran ini sangat relevan. Antara lain, berkaitan dengan pembahasan masalah hukum dan norma yang berlaku di masyarakat dimana salah satunya adalah ketaatan terhadap peraturan lalulintas sebagai cerminan warga negara yang baik dan bertanggung jawab serta menghargai Hak Asasi Manusia (HAM).  Diintegrasikannya PLL ke dalam mata pelajaran PKn mengingat bahwa kurikulum saat ini sudah padat sehingga tidak perlu menjadi satu mata pelajaran khusus.
Kedua, memperkenalkan rambu-rambu lalulintas, surat-surat kendaraan, kelengkapan diri dan kelengkapan kendaraan. Ketiga, kampanye mengemudi aman (safety driving) melalui pengumuman, famflet, atau brosur. Keempat, melalui kegiatan ekstrakurikuler. Misalnya program Polisi Sahabat Anak, Patroli Keamanan Sekolah (PKS), dan sebagainya. Kelima, mengundang aparat kepolisian atau mengajak siswa berkunjung ke kantor polisi untuk berwawancara atau mengamati proses pembuatan SIM, SNTK,  BPKB, atau surat-surat kendaraan lainnya.
Keenam, mengajak siswa untuk berkunjung ke tempat yang menunjang untuk sosialisasi rambu-rambu lalulintas. Misalnya, berkunjung ke Taman lalulintas. Ketujuh, menugaskan siswa untuk mengamati, meliput, mencatat  pelanggaran lalulintas. Jika dimungkinkan mewawancarai pelanggar lalulintas atau aparat kepolisian yang berada di lokasi kemudian membuat laporan kegiatannya. Selain cara-cara di atas, dimungkinkan menggunakan cara-cara lainnya. Yang penting, substansinya memberikan pengetahuan, pemahaman, dan penyadaran terhadap siswa tentang pentingnya tertib berlalulintas. Dan, tentunya pelaksanaan PLL disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak didik.
Salah satu pihak yang ditengarai suka melakukan pelanggaran terhadap peraturan lalulintas adalah genk motor. Kita tentu sangat prihatin dengan banyaknya pelajar yang menjadi anggota genk motor. Keberadaan genk motor telah banyak meresahkan masyarakat. Beberapa waktu yang lalu, seorang polisi dibacok oleh kawanan genk motor, kemudian di Tasikmalaya, genk motor menjarah sebuah toko pakaian. Dan ternyata, anggota genk motor tersebut adalah perempuan. Anggota genk motor tersebut rata-rata berasal dari keluarga yang broken home dengan latar belakang sosial ekonomi menengah ke atas.
Dengan adanya Pendidikan Lalulintas, maka diharapkan akan melahirkan masyarakat yang sadar dan tertib berlalulintas. Dengan demikian, lalulintas pun akan berjalan tertib, aman, dan nyaman serta terjaminnya hak-hak sesama pengguna jalan raya. Jika hal tersebut terwujud, maka tingkat kecelakaan di jalan raya pun akan menurun. Selian itu, tugas kepolisian dalam mengatur lalulintas pun akan semakin ringan. Mari kita tampilkan wajah bangsa ini sebagai bangsa yang tertib dan beradab dengan tertib berlalulintas di jalan raya.

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat

SEKOLAH BEBAS ROKOK, MUNGKINKAH?




Beberapa tahun silam pemerintah mencanangkan program “Sekolah Bebas Rokok dan Narkoba”. Program ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang bersih, sehat, berdisiplin, dan menyelamatkan generasi bangsa dari bahaya rokok dan narkoba. Pada awal program ini digulirkan, banyak sekolah yang mengampanyekannya dimana salah satu bentuknya adalah memasang spanduk bertuliskan “Sekolah Bebas Rokok dan Narkoba”. Sekarang program ini nyaris tak terdengar. Salah satu penyakit bangsa ini adalah kalau membuat program bersemangat di awal dan seiring perjalanan waktu biasanya semakin melempem. Kalau meminjam peribahasa sunda “rubuh-rubuh gedang”(baca = hanya bersifat temporer, tidak bertahan lama).

Siapapun (termasuk para perokok dan pengguna narkoba) pasti setuju bahwa program sekolah bebas rokok dan narkoba merupakan program yang sangat bagus dan perlu didukung oleh semua pihak, tapi dalam kenyataannya program tersebut hanya bagus di dalam konsep saja sementara dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Pada tulisan ini, penulis hanya akan memfokuskan pada masalah rokok saja karena penulis menilai bahwa para pendidik dan tenaga kependidikan (mayoritas kaum laki-laki), bahkan siswa pun masih banyak yang suka merokok di lingkungan sekolah. Sementara penggunaan narkoba dapat dikatakan jumlahnya relatif jauh di bawah jumlah perokok di sekolah. Hal ini disebabkan karena rokok bukan termasuk barang terlarang sementara narkoba termasuk barang terlarang dan penggunanya dapat dijerat oleh hukum.

Hasil survei The Tobacco Atlas 2005 menyebutkan bahwa jumlah perokok di Indonesia mencapai 60 juta orang dan jumlahnya diperkirakan akan semakin meningkat seiring bertambahnya para perokok baru. Usia perokok pun semakin muda. Dulu usia 18 tahun baru merokok, sekarang usia 10-12 tahun sudah coba-coba merokok. Walaupun terkesan hanya formalitas dan normatif saja, dalam bungkus rokok biasanya tercantum pesan “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin” dan “hanya untuk usia 18 tahun ke atas”. Pada kenyataannya, pesan-pesan tersebut hanya dibaca saja tidak banyak menggugah hati para pecandu atau yang coba-coba untuk merokok untuk berhenti atau menjauhi rokok. Rambu-rambu atau stiker dilarang merokok di tempat-tempat umum pun tidak berdaya menghadapi “egoisme” para perokok.

Pemerintah sebenarnya sudah membuat aturan hukum tentang larang merokok di tempat umum. Misalnya dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 tahun 2005 pasal 49 ayat (1) huruf v menyebutkan bahwa; “merokok di tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah), dan/atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Identitas Kependudukan lainnya, dan/atau pengumuman di media masa”. Aturan tersebut hanya menjadi macan kertas saja ketika banyak orang masih melanggarnya dan pemerintah tidak serius dalam menegakkan aturan hukum.
Semua pasti setuju bahwa merokok adalah kebiasaan yang kurang baik dan pemborosan. Madharatnya jauh lebih banyak daripada manfaatnya. Dr. H. Dadang Hawari mengatakan bahwa dalam rokok terdapat ribuan zat yang membahayakan tubuh dan yang paling banyak adalah nikotin. Nikotin adalah amfetamin yang dapat menyebabkan kecanduan. Oleh karena itu, orang yang sudah kecanduan rokok biasanya susah untuk berhenti. Ada mitos bahwa merokok adalah simbol kejantanan laki-laki. Banyak siswa yang terseret menjadi perokok sebagai bentuk solidaritas terhadap teman-temannya yang perokok dan untuk menjaga harga dirinya di depan teman-temannya. Ditemani secangkir kopi, rokok merupakan pasangan ideal ketika ngantuk, melamun, bekerja, nonton, atau ngobrol.


Jumlah penduduk Indonesia yang 250 juta lebih menjadi pasar yang potensial untuk industri rokok. Industri rokok pun menjadi salah satu penyumbang devisa negara terbesar negeri ini. Tampaknya menjadi hal yang tidak mungkin meminta pemerintah menutup pabrik rokok. Karena disamping penyumbang devisa negara, juga industri rokok banyak menyerap tenaga kerja. Meminta agar perokok berhenti tentu bukan suatu hal yang mudah. Upaya yang dapat dilakukan saat ini mungkin, mengurangi jumlah rokok yang dihisap, dan menekan jumlah perokok baru. Pelajar dan mahasiswa adalah subjek yang paling berpeluang menjadi para perokok baru.

Perlu Komitmen dan Keteladanan
Untuk mewujudkan sekolah yang bebas rokok, perlu komitmen dan keteladanan dari semua warga sekolah. Guru, walaupun dia seorang perokok upayakan agar dia tidak mengajar sambil merokok karena hal tersebut disamping dapat mengganggu siswa, juga mengurangi wibawa guru di hadapan siswa. Di ruang kantor pun, tidak semua guru adalah perokok, ada guru-guru yang bukan perokok. Asap rokok yang mengepul biasanya mengganggu orang lain sebagai perokok pasif. Bahkan salah satu hasil penelitian menyebutkan bahwa perokok pasif berisiko menderita penyakit pernafasan lebih tinggi dibandingkan perokok aktif.

Adalah hal yang kontraproduktif ketika guru meminta siswa untuk tidak merokok sementara dia sendiri adalah seorang perokok. Belum lagi kondisi di rumah dan lingkungan pergaulan siswa. Anak biasanya melihat orang tuanya merokok penasaran ingin mencoba rokok. Kebiasaan di masyarakat pun sangat menunjang dalam bertambahnya jumlah perokok. Misalnya dalam acara-acara syukuran, tahlilan, biasanya pemangku hajat memberikan rokok kepada undangan yang notabene masih anak-anak.

Idealnya sekolah harus bebas rokok, tapi tampaknya harapan tersebut hanya sebuah utopis belaka. Ketika suasana tersebut belum dapat terwujud perlu dikembangkan sikap toleransi, saling menghargai, dan kesungguhan dari semua warga sekolah. Bagi yang sulit menghilangkan kebiasaan merokok, ketika sudah tidak tahan ingin merokok, cari tempat dimana kepulan asap rokok tidak mengganggu orang-orang di sekitarnya dan tidak melakukannya di hadapan siswa karena dapat menurunkan wibawa guru. Pada hakikatnya, kebiasaan merokok di tempat umum (termasuk sekolah) bukan hanya pelanggaran terhadap hukum tetapi juga melanggar etika.

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat 

Rabu, 28 September 2011


PENDIDIKAN KARAKTER BAGI ORANG DEWASA


Wacana tentang pendidikan karakter mengemuka di tengah keprihatinan kita terhadap krisis karakter bangsa yang kian menggejala di berbagai lapisan masyarakat. Para pejabat banyak yang  terlibat korupsi, masyarakat, mahasiswa, dan pelajar banyak yang terlibat tawuran, anak-anak muda kita banyak yang terlibat seks bebasm penggunaan narkotika, obat-obat terlarang, aborsi, dan sebagainya. Budaya instan, materialisme, dan  hedonisme kian menjadi “ideologi” bangsa kita. Lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi sarana pembentukan mental dan karakter peserta didik juga terkena virus krisis karakter. Sebut saja berbagai kasus kecurangan pada saat Ujian Nasional (UN), mencontek karya ilmiah orang lain (plagiarisme), pemalsuan dan jual beli ijazah, dan sebagainya.
Dilandasi berbagai hal tersebut di atas, maka pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) mulai tahun 2010 meminta sekolah-sekolah mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kurikulum sekolah. Para guru diminta untuk bekerja lebih keras dalam membina dan membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang berkarakter. Berkarakter di sini, maksudnya bukan hanya memiliki budi pekerti yang baik, tetapi juga memiliki semangat kerja keras, pantang menyerah, dan memiliki mental berprestasi.
Pendidikan karakter bukan hanya berkutat memperkenalkan sejumlah sikap dan perilaku yang baik kepada peserta didik, tetapi juga bagaimana membiasakan para peserta didik untuk melakukannya bukan hanya di sekolah tetapi juga di lingkungan rumah dan masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan bukan karakter tidak disampaikan dalam bentuk ceramah saja, tetapi harus ada prakteknya. Dan yang paling utama adalah harus ada sosok atau figur orang dewasa yang mampu menjadi contoh teladan.
Kalau kita mau objektif menilai, berbagai krisis karakter bangsa saat ini justru lebih banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa. Coba kita perhatikan siapa yang melakukan korupsi, siapa yang suka membung sampah sembarangan, siapa yang suka merokok di tempat-tempat yang memang dilarang untuk merokok, siapa yang suka melanggar rambu-rambu lalu lintas, siapa yang suka berkata-kata kasar dan kotor, siapa yang terlibat skandal seks, dan siapa yang yang suka melakukan berbagai perilaku menyimpang lainnya. Jawabannya adalah orang dewasa. Orang dewasa-lah yang memberikan contoh kepada orang muda sehingga mereka melakukan perilaku menyimpang. Jadi, di sini terjadi efek imitasi atau meniru dari orang muda terhadap orang dewasa.
Kemdiknas begitu bersemangat menggaungkan pendidikan karakter di sekolah, tetapi tak seiring sejalan dengan yang terjadi di lapangan. Para pejabat silih berganti diperiksa dan diadili di meja hijau karena kasus korupsi, kasus-kasus tawuran, kasus bom bunuh diri, dan kasus kekerasan yang berbau SARA menjadi pemberitaan media setiap hari. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan kita. Hal ini kontraproduktif di tengah upaya untuk memperbaiki karakter bangsa ini.
Pemerintah  terkesan hanya fokus membangun karakter didik, tetapi kurang fokus membangun atau memperbaiki karakter bangsa secara umum. Hal ini mungkin dilandasi oleh asumsi bahwa generasi muda adalah calon penerus bangsa. Para pemimpin juga kurang memberikan keteladanan kepada masyarakat. Kita faham bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Di sini sering terjadi kesenjangan. Di satu sisi, sekolah berusaha dengan sekuat tenaga mendidik para peserta didik, tetapi di sisi lain, mereka kurang mendapatkan pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Justru kedua lingkungan tersebut mengerosi nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah. Dengan kata lain, tidak ada kerjasama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kita tentu faham bahwa keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Kedua orang tuanya adalah guru pertama mereka. Lingkungan masyarakat pun merupakan “sekolah alam” bagi mereka. Satu langkah mereka keluar dari gerbang sekolah, di situlah terjadi konflik nilai dengan yang diajarkan di sekolah. Hal ini menjadi persoalan serius bagi kita di tengah karakter masyarakat yang di satu sisi cenderung permisif dan di sisi lain juga cenderung intoleransi terhadap perbedaan.
Orang dewasa memiliki peranan penting dalam rangka membangun karakter anak-anak dan remaja. Dari orang dewasa-lah, mereka memperoleh pengalaman yang mungkin akan menjadi patokan atau acuan dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga apapun yang dilakukan oleh orang dewasa baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk akan dicontoh oleh mereka. Sehingga orang dewasa harus mawas diri, menjaga sikap dan perilakunya di hadapan anak-anak dan remaja. Dengan demikian, pendidikan karakter bukan hanya perlu ditekankan kepada orang muda (anak-anak dan remaja) tetapi juga untuk orang dewasa.
KUHPerdata mendefinsikan orang dewasa sebagai orang sudah berusia 21 tahun atau sudah menikah. Model pendidikan karakter bagi orang dewasa tentu tidak seperti model untuk anak usia sekolah. Penulis berpendapat bahwa model pendidikan karakter bagi orang dewasa tidak melalui pendekatan indoktrinatif, ceramah, dan hal-hal lain yang lebih bersifat teoritis, tetapi lebih fokus kepada pembiasaan dan keteladanan. Dan yang paling utama adalah perlu adanya kesadaran dari orang dewasa untuk bersikap dan berbuat sesuai dengan norma dan etika yang berlaku di masyarakat.
Pada dasarnya orang dewasa tidak terlalu senang diceramahi, didikte, atau dikritik karena merasa sudah bisa memilah, memilih, dan memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan. Orang dewasa di satu waktu mungkin saja dapat “dididik” oleh orang lain agar memiliki karakter yang baik,  tetapi yang paling utama adalah dia harus mampu “mendidik” dirinya sendiri untuk berkarakter baik. Tanpa itu, pendidikan karakter bagi orang dewasa tidak akan optimal. Dalam konteks praksis, setiap orang dewasa perlu memulai dari dirinya sendiri untuk menaati yang berlaku di masyarakat sehingga setiap orang muda dapat mencontohnya.
Para orang muda tentunya berharap kepada setiap orang dewasa untuk memberikan contoh yang baik. Para orang dewasa tidak bisa berpangku tangan membiarkan krisis karakter semakin kronis mendera bangsa ini. Tugas mendidik karakter bukan hanya tugas guru sebagai bagian dari orang dewasa, tetapi orang dewasa secara umum juga perlu menjadi guru dan mengimplementasikan pendidikan karakter.
Dalam konteks pendidikan formal, Perguruan Tinggi (PT) baik di level sarjana maupun pascasarjana dapat berperan dalam memberikan pendidikan karakter bagi orang dewasa,  meskipun tentunya pola pendidikan yang digunakan adalah pola andragogi (pendidikan bagi orang dewasa). Misalnya, adanya larangan merokok di tempat-tempat tertentu di sekitar kampus, menggunakan pakaian ke kampus yang sesuai dengan norma dan etika, membiasakan datang datang tepat waktu, saling menghormati pendapat ketika diskusi di dalam kelas, menekankan pentingnya kejujuran akademis dan  orisinalitas dalam membuat karya tulis ilmiah dan penelitian, dan sebagainya. Pendidikan karakter bagi orang dewasa diharapkan mampu menunjang pendidikan karakter peserta didik. Bangsa yang berkarakter berawal dari individu-individu yang berkarakter. Semoga....!!!

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat.

Minggu, 11 September 2011

PEMILU DAN BISNIS POLITIK


Bagi bangsa Indonesia, tahun 2009 adalah tahun pemilu. Tanggal 9 April 2009 akan diselenggarakan pemilu legislatif dimana rakyat akan memilih para anggota DPR, DPRD, dan DPD. Sementara tanggal 8 Juli 2009 akan diselenggarakan pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Hingar bingar pemilu legislatif telah berelangsung sejak bulan Juli 2008 silam. Masa kampanye pemilu legislatif saat ini adalah masa kampanye paling panjang sepanjang sejarah pemilu di Indonesia dimana kampanye berlangsung selama sembilan bulan, yaitu dari bulan Juli 2008 sampai dengan Maret 2009.
Dalam menghadapi pemilu legislatif, pada umumnya partai politik dan caleg jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri. Bagi partai yang memiliki anggaran terbatas, mereka tidak terlalu jorjoran berkampanye. Mereka mengatur dan mengukur kekuatan jangan sampai kehabisan tenaga di tengah jalan. Tetapi bagi partai yang berkantong tebal, sejak awal mereka sudah all out atau jorjoran berkampanye di berbagai media. Dana miliaran rupiah yang dikeluarkan tidak menjadi masalah karena mereka disokong dengan dana yang kuat. Yang penting bagi mereka adalah partai mereka dikenal masyarakat dan popularitasnya pun terdongkrak.
Dalam menghadapi pemilu, semua cara dilakukan oleh partai dan caleg untuk meraih simpati masyarakat mulai dari cara yang persuasif sampai dengan cara-cara yang berbau materi. Mereka menyadari bahwa sebagian masyarakat Indonesia belum menjadi pemilih yang dewasa dan kritis dimana mereka memilih atas dasar idealisme, tetapi banyak juga yang memilih karena diiming-imingi pemberian tertentu. Mereka pun harus berhadapan dengan kondisi objektif terjadinya krisis kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Hal itu terjadi karena rakyat merasa dibohongi oleh janji-janji manis pada pemilu di masa lalu. Ketika sudah duduk di kursi kekuasaan, para wakil rakyat lebih mementingkan kepentingan kelompok dan partainya daripada kepentingan rakyat, sementara kehidupan rakyat pun terabaikan. Akibatnya, rakyat banyak yang memilih menjadi golput. Jumlah golput pada pemilu 2009 diperkirakan mencapai 40%.
Masa kampanye yang panjang menyebabkan partai-partai dan caleg-caleg harus memiliki dana yang besar untuk biaya kampanye sehingga banyak diantara mereka yang kelimpungan mencari dana kampanye. Aturan sumbangan dana pemilu semakin ketat. Setiap penyumbang harus memiliki NPWP dan setiap partai politik harus melaporkan dana kampanye mereka. Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak disamping memberikan angin segar terhadap caleg di nomor bawah dan semakin mengokohkan hakikat demokrasi, juga membawa konsekuensi semakin ketatnya persaingan bukan hanya dengan caleg dari partai lain juga dengan sesama caleg dari partainya sendiri sehingga melahirkan potensi semakin maraknya politik uang (money politic).
Seorang caleg dibebani harus membuat berbagai atribut kampanye, beriklan di media, membuat tim sukses di daerah pemilihan masing-masing, mengunjungi konstituen, belum lagi proposal-proposal permohonan bantuan yang masuk pada mereka. Memang, itulah konsekuensi yang harus dipikul oleh seorang caleg. Ketika seseorang memutuskan menjadi caleg, berarti dia siap dengan segala konsekuensinya termasuk harus mempersiapkan dana kampanye yang besar. Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengatakan bahwa pemilu di Indonesia adalah pemilu paling panjang, paling rumit, melelahkan, dan melahirkan ekonomi biaya tinggi.
Dari perspektif bisnis, pemilu menjadi peluang bisnis yang potensial. Dari bisnis pemilu, sejumlah pengusaha meraih keuntungan besar. Coba kita perhatikan bagaimana hingar bingarnya usaha pembuatan berbagai atribut kampanye seperti kaos, bendera, jaket, rompi, pin, stiker, dan baligo, dan sebagainya. Sentra pembuatan kaos dan atribut politik di wilayah Jalan Surapati Bandung banyak kebanjiran order. Di wilayah lain pun banyak usaha-usaha serupa bermunculan mencoba meraih peruntungan dari pemilu.
Lembaga konsultan politik pun ikut meraup keuntungan. Banyak lembaga survei yang disamping melakukan survei secara independen, juga ada yang dikontrak menjadi konsultan untuk kepentingan partai atau capres tertentu. Disamping lembaga survei yang telah eksis sejak pemilu sebelumnya, saat ini pun muncul berbagai lembaga survei baru. Lembaga survei pernah menjadi masalah tersendiri ketika mereka melaporkan hasil yang berbeda-beda sehingga memunculkan ketidakpasatian informasi dan beresiko membingungkan masyarakat. Oleh karena itu, KPU membuat aturan bahwa setiap lembaga survei yang melakukan survei pemilu harus mendaftarkan diri ke KPU.
Masa kampanye yang saat ini sedang berlangsung akan mencapai puncaknya pada bulan Maret 2009. Partai-partai dan para calegnya akan melakukan kampanye terbuka. Pada saat kampanye terbuka tentu dibutuhkan massa untuk menghadiri kampanye tersebut. Oleh karena itu, muncullah bisnis baru, yaitu bisnis rekruitmen dan mobilisasi massa kampanye. Dengan bayaran sejumlah uang, transportasi, dan konsumsi, sejumlah biro jasa massa kampanye siap untuk mengerahkan massanya menghadiri kampanye pihak-pihak yang mengontraknya. Biasanya, yang menjadi massa bayaran tersebut adalah orang-orang miskin dan anak-anak jalanan yang sebenarnya tidak mengerti dan terlalu peduli dengan pemilu itu sendiri, tetapi yang penting mereka mendapatkan imbalan untuk menyambung hidup mereka.
Pemilu disamping sebagai ajang untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin, juga menjelma menjadi bisnis politik dengan omzet yang luar biasa besar. Oleh karena itu, sebagian masyarakat yang apatis terhadap pemilu meragukan pemilu akan melahirkan wakil-wakil rakyat dan pemimpin yang amanah dan peduli terhadap rakyat karena secara ekonomi, ketika mereka terpilih, mereka tentu harus mengembalikan dana besar telah mereka keluarkan. Para caleg itu bukan orang bodoh yang mau mengeluarkan uang untuk kepentingan umum, tentu ada target yang ingin mereka capai. Pengabdian, rela berkorban dan pro kepentingan rakyat hanyalah kata-kata utopis yang menjadi bumbu-bumbu kampanye untuk meraih simpati rakyat. Penulis yakin bahwa saat ini rakyat sudah cerdas, tidak mau dibodohi lagi. Mereka bosan menjadi bulan-bulanan politik para petualang politik yang ingin duduk di singgasana kekuasaan.
Walaupun pemilu memunculkan sejumlah apatisme di kalangan masyararakat, di tengah krisis global yang melanda dunia saat ini, penyelenggaraan pemilu dapat menjadi penyelamat bagi dunia usaha khususnya bagi pengusaha atribut pemilu karena mereka dapat terus berproduksi dan menghindari PHK yang saat ini telah terjadi di banyak perusahaan.


Penulis, Pemerhati Sosial, Pegawai Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.
(Tulisan ini dimuat di HU Pelita, tanggal 6 Maret 2009)

NASIONALISME DI TENGAH PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CINA


Perdagangan bebas Asean-Cina / Asean-Cina Free Trade Agreement (ACFTA) yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2010 banyak menuai penentangan dari kalangan industri dan buruh. Berlakunya ACFTA dikhawatirkan akan merusak perekonomian dalam negeri dan PHK besar-besaran terhadap buruh. Melimpahnya produk-produk Cina ke Indonesia dikhawatirkan akan merusak pasar dalam negeri karena harganya lebih murah mengalahkan produk lokal yang harganya lebih mahal. Akibat kalahnya produk lokal oleh produk Cina, maka potensi PHK pun tidak bisa dielakkan. Jika PHK massal terjadi, maka angka pengangguran akan semakin tinggi. Itulah asumsi yang dimunculkan oleh sejumlah ekonom dalam pendapatnya pada diskusi-diskusi dan sejumlah media.
Kegagapan kalangan industri menghadapi ACFTA sebagai bukti bahwa mereka tidak mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya jauh-jauh hari sebelum ACFTA diberlakukan. Padahal ACFTA telah ditandatangani sejak tahun 2002. Berarti ada waktu yang  relatif cukup untuk mempersiapkan diri. Sejumlah kalangan menilai Pemerintah tidak serius dalam mengantisipasi ACFTA. Hal ini dapat dilihat dari relatif kurangnya supporting pemerintah dalam pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai jantung perekonomian nasional.
Jauh-jauh hari sebelum ACFTA diberlakukan, kita sudah terbiasa atau akrab dengan produk-produk Cina seperti alat-alat elektronik, otomotif, alat-alat rumah tangga, kosmetik, buah-buahan, makanan, minuman, permen, dan mainan anak-anak. Bahkan, produk-produk tekstil Cina pun ramai-ramai membanjiri Indonesia sehingga keberadannya mengancam produk tekstil lokal.
Masyarakat juga tampaknya justru senang membeli atau menggunakan produk Cina karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan dengan produk lokal. Masyarakat tidak terlalu peduli dengan kualitas dan resiko dari barang buatan Cina tersebut, yang penting harganya murah dan terjangkau. Beberapa waktu yang lalu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengumumkan bahwa beberapa produk makanan, minuman, dan kosmetik asal Cina mengandung bahan-bahan berbahaya seperti melamin, formalin, dan zat-zat berbahaya lainnya. Oleh karena itu, masyarakat dihimbau untuk tidak meggunakan produk tersebut. Sejenak masyarakat berhenti mengonsumsi dan menggunakan barang-barang tersebut, tetapi kemudian menggunakan kembali produk Cina karena tergiur harganya yang murah meriah.
Murahnya harga berbagai produk Cina juga mampu menyaingi produk-produk yang sudah mapan. Misalnya, kemunculan HP-HP Cina mampu menyaingi produsen-produsen HP yang sudah mapan seperti Nokia, Sony Ericsson, Samsung, Motorola, dan LG. Dalam produk sepeda motor pun, mereka mencoba menyaingi pabrikan Jepang seperti Honda, Yamaha, Suzuki, dan Kawasaki.
Cina telah menjelma menjadi raksasa ekonomi Asia bahkan dunia. Kebangkitan ekonomi Cina juga diprediksikan mampu menyaingi Jepang dan Amerika Serikat. Keberhasilan ekonomi Cina didapatkan bukan dalam waktu sesaat, tetapi mereka terus bekerja keras untuk terus produktif dan inovatif menghasilkan barang-barang. Orang-orang Cina memang dikenal memiliki mental dagang yang luar biasa. Mereka tersebar di hampir seluruh belahan dunia dengan profesi yang hampir sama yaitu berdagang. Bahkan jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka pun, orang-orang Cina telah banyak datang ke Indonesia. Saat ini, orang-orang Cina banyak yang memiliki usaha besar bahkan menjadi konglomerat di Indonesia.
Globalisasi
Menurut penulis, ACFTA adalah konsekuensi dari globalisasi dalam bidang ekonomi. Sebagian kalangan menilai bahwa ACFTA adalah bentuk neoliberalisasi ekonomi. Globalisasi tak dapat dibendung. Globalisasi telah merubah pola pikir dan pola hidup masyarakat. Globalisasi juga telah merubah budaya masyarakat. Media informasi dan komunikasi memberikan kontribusi yang besar dalam menyebarkan hegemoni globalisasi. Dampak dari globaliasi, bukan hanya informasi yang dengan mudah didistribusikan dari satu sumber ke sumber yang lain, tetapi barang-barang pun sudah merambah dari satu negara ke negara yang lain melalui kegiatan eksport-import atau melalui jalan ilegal berupa penyelundupan.
Nasionalisme
ACFTA telah terlanjur diberlakukan. Dibalik penentangan yang saat ini banyak terjadi, hal yang perlu diperhatikan adalah penguatan ekonomi nasional jangan sampai kalah bersaing dengan produk-produk Cina. Selain itu, dalam konteks kebangsaan, kita harus menanamkan rasa cinta terhadap produk dalam negeri dalam artian menggunakan dan mengonsumsi produk dalam negeri.
Kampanye cinta produk dalam negeri juga perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas produk karena masyarakat tidak bisa dipaksa untuk mengonsumsi atau menggunakan produk dalam negeri jika kualitasnya rendah. Masyarakat pun tidak dapat dilarang menggunakan produk Cina jika kualitasnya bagus dan harganya lebih murah dibandingkan dengan produk Cina. Oleh karena itu, peningkatan daya saing produk menjadi hal yang mutak harus dilakukan oeh para pengusaha. Biasanya, kualitas barang yang bagus berbandung lurus dengan harga yang mahal. Jika barang mahal, maka masyarakat pun berpikir ulang untuk membeli. Oleh karena itu, pemerintah pun perlu membuat regulasi yang mendukung terhadap peningkatan kualitas produk lokal. Misalnya dengan memberikan keringanan pajak bagi industri dan membantu pengusaha dalam menekan mahalnya biaya produksi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pilihan masyarakat untuk menggunakan produk luar negeri disamping karena harga murah seperti produk-produk Cina, juga adanya kepercayaan terhadap kualitas terhadap produk-produk branded dari luar negeri walaupun harganya mahal. Bahkan, bagi kalangan berduit mereka belanja atau berobat pun ke luar negeri. Hal tersebut menjadi bukti bahwa sebagian masyarakat lebih percaya terhadap kualitas barang dan pelayanan di luar negeri.
Mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla, pernah mengatakan bahwa dengan banyaknya orang Indonesia yang berobat ke luar negeri, uang yang harusnya menjadi devisa negeri sendiri justru menjadi devisa negara lain. Hal tersebut merupakan kerugian bagi negara kita. Di tengah kerasnya persaingan pada perdagangan bebas saat ini, nampaknya menggelorakan rasa nasionalisme, walaupun bukan jalan yang paling mujarab tetapi minimal menjadi penyemangat bagi bangsa kita bahwa kita harus memiliki jati diri, cinta dan bangga terhadap produk negeri sendiri. Anak-anak bangsa harus berkarya dan terus berkarya menghasilkan yang terbaik bagi kejayaan dan kebesaran bangsa Indonesia.

Penulis, Praktisi Pendidikan, Pegawai LPMP Jawa Barat

MENINGKATKAN SOFT SKILL SISWA MENJELANG UN


Ujian Nasional (UN) Tahun Pelajaran 2010/2011 tinggal menghitung hari, setiap sekolah jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri seperti melakukan kegiatan pemantapan kepada siswa. Dan mendekati pelaksanaan UN, persiapan semakin ditingkatkan baik persiapan administratif maupun uji coba (Try Out) UN. Bahkan tidak cukup di sekolah, banyak orang tua pun memasukkan anak-anaknya ke lembaga-lembaga bimbingan belajar agar anak-anak mereka benar-benar siap menghadapi UN.
Walaupun sekolah telah banyak melakukan persiapan menjelang UN, tidak dapat dipungkiri biasanya tensi ketegangan meningkat. Satu hal yang sama-sama dikhawatirkan yaitu takut ada siswa yang tidak lulus UN. Hal tersebut adalah perasaan yang wajar dan dapat dialami oleh siapapun. Seorang tersangka yang diperiksa dan terpidana yang akan menjalani persidangan dihinggapi was-was. Seorang mahasiswa yang mengikuti sidang tugas akhir juga dapat mengalami ketegangan khawatir dibantai oleh penguji. Begitu pun siswa, menjelang UN dihinggapi perasaan was-was takut tidak lulus UN. Oleh karena itu, di sini soft skill atau kecerdasan emosional seseorang akan sangat berperan.
Ketika guru sibuk mengasah hard skill siswa dengan memberikan kumpulan latihan-latihan  mata pelajaran UN, hal yang tidak kalah pentingnya adalah melatih soft skill-nya. Hard skill berkaitan penguasaan ilmu pegetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis yang berhubungan dengan ilmunya. Sedangkan soft skill adalah keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (interpersonal skill) dan keterampilan mengatur dirinya sendiri (intrapersonal skill) yang mampu mengembangkan unjuk kerja maksimal (Dennis E. Coates). Soft skill disebut juga sebagai keterampilan lunak berupa sifat-sifat atau karakter positif yang terinternalisasi dalam siri seseorang.
Soft skill erat kaitannya dengan kecerdasan emosional. Dani Ronnie M. (2006:96) mengatakan bahwa  kecerdasan emosional, secara sederhanya dapat dikatakan sebagai kepekaan mengenali dan mengelola perasaan sendiri (self awareness) dan orang lain (empathy). Soft skill menjadi faktor kunci terhadap kesuksesan seseorang. Sebuah penelitian mengatakan bahwa kesuksesan seseorang 80% ditentukan oleh soft skill (kecerdasan emosional) sedangkan kemampuan intelektual hanya 20% saja. Dengan demikian, berkaitan dengan persiapan UN, maka peningkatan soft skill siswa menjadi hal yang sangat penting. UN tidak hanya berkaitan dengan bagaimana siswa menjawab sejumlah pertanyaan pada Lembar Jawaban Komputer (LJK), tetapi juga berkaitan dengan kesiapan mental (soft skil) siswa menghadapi UN.
Sejumlah soft skill yang perlu ditanamkan kepada siswa antara lain; pertama, ulet dan sungguh-sungguh. Hasil yang baik akan ditentukan oleh sejauhmana keuletan seseorang dalam melakukannya. Jika dia melakukannya asal-asalan atau asal jadi, maka hasilnya juga pasti tidak akan optimal. Oleh karena itu, sifat ulet dan sungguh-sungguh sangat penting ditanamkan kepada siswa. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam melakukan suatu pekerjaan, seseorang kadang-kadang dihadapkan pada tantangan dan hambatan baik dari dalam diri maupun dari luar. Hambatan dari dalam diri misalnya rasa malas dan kurang motivasi, sedangkan hambatan dari luar misalnya lingkungan yang kurang mendukung dan kendala teknis lainnya.
Kedua, kerja keras dan menghargai waktu. Sebuah kesuksesan butuh kerja keras. Tidak ada keberhasilan yang dicapai dengan berpangku tangan. Sukses tidak datang dengan sendirinya. Sukses butuh cucuran keringat dan pengorbanan. Orang yang suka bekerja keras akan sangat menghargai waktu. Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan waktu, sebaliknya akan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya demi menghasilkan karya terbaiknya karena sebagaimana pepatah bijak, waktu ibarat pedang, jika tidak dimanfaatkan dengan baik, maka kita yang terperdaya oleh waktu. Sukses adalah hasil yang dicapai oleh orang-orang yang bekerja keras dan menghargai waktu.
Ketiga, inisiatif dan kreatif. Seseorang yang ingin sukses tidak terlalu bergantung kepada arahan pihak lain. Dia akan memiliki inisiatif dan kreativitas. Dia merasakan sukses sebagai suatu kebutuhan bukan paksaan dari pihak lain. Begitupun siswa yang ingin sukses menghadapi UN, dia akan memiliki inisiatif dan kreativitas untuk mau belajar baik sendiri-sendiri maupun secara berkelompok. Hal ini yang tampaknya belum muncul di kalangan siswa karena pada umumnya siswa mau belajar jika dipaksa-paksa atau diawasi oleh guru.
Keempat, kerjasama. Disamping sebagai individu, manusia juga adalah makhluk sosial yang memerlukan bantuan orang lain ketika menghadapi kesulitan. Oleh karena itu, manusia tidak bisa egois, harus mau hidup bermasyarakat, dan membangun solidaritas dengan sesamanya. Berkaitan dengan pelaksanaan UN, siswa mungkin saja menghadapi kesulitan ketika belajar sendiri, oleh karena itu dia perlu untuk meminta bantuan guru atau teman-temannya untuk menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya. Sifat kerjasama akan menanamkan kepada siswa untuk mau saling membantu karena kesuksesan yang hakiki adalah ketika seseorang bisa bermanfaat bagi yang lainnya.
Kelima, tanggung jawab. Dalam persiapan UN, biasanya guru memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari buku-buku latihan soal UN. Buku tersebut selain digunakan untuk pengayaan di sekolah, juga diminta untuk dipelajari siswa di rumah. Oleh karena itu, siswa perlu untuk memiliki rasa tanggungjawab untuk mengerjakan soal-soal latihan tersebut. dan jika menghadapi kesulitan, bisa meminta bantuan guru atau teman-temannya.
Keenam, optimis dan percaya diri. Islam mengajarkan kita untuk selalu optimis dalam menghadapi masalah atau mengerjakan suatu tugas. Optimisme menjadi tenaga yang luar biasa bagi seseorang dalam mencapai kesuksesan. Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya. Tidak dapat dipungkiri ketika menghadapi UN, muncul kekhawatiran tidak lulus. Dan ketika ada yang tidak lulus, siswa tidak siap mental sehingga muncul berita di media, ada siswa yang sampai bunuh diri karena malu dan tertekan tidak lulus UN. Sebuah pepatah arab mengatakan “wan jadda wajadda” yang artinya barang siapa bersungguh-sungguh maka dia akan mencapai apa yang dia inginkan, dan Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya mengingatkan tentang pentingnya niat karena segala pekerjaan tergantung kepada niatnya.
Ketujuh, jujur. Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan UN selalu diwarnai oleh penyimpangan. Antara lain tersebarnya kunci jawaban di kalangan siswa walaupun kadang-kadang kunci jawaban palsu. Oleh karena itu, sifat jujur sangat penting untuk ditekankan kepada siswa. Jangan sampai untuk mengejar kelulusan, dia mengorbankan kejujuran. Prestasi yang dicapai dengan mengorbankan kejujuran tentunya akan tidak akan bermakna dan membanggakan, justru akan membohongi diri sendiri.
Kedelapan, tawakkal. Ketika semua usaha atau persiapan UN sudah dilaksanakan, maka kita tinggal berdo’a dan bertawakkal kepada Allah. Kita sebagai manusia hanya bertugas untuk mengoptimalkan ikhtiar, hasilnya kita serahkan kepada Allah. Semua usaha yang dilakukan akhirnya bermuara kepada takdir dan ridha Allah. Hanya kita harus yakin bahwa Allah akan memberikan yang terbaik kepada kita, dan Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum tersebut tidak mau mengubah nasibnya.
Itulah delapan soft skill siswa yang perlu ditingkatkan menjelang UN. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada para pendidik dan kepada siswa untuk memberikan hasil terbaik bagi kita. Amiin.

Penulis, Guru SMP Madani KBB, Pegawai LPMP Jawa Barat.
(Tulisan ini dimuat di HU Tribun Jabar, tanggal 29 Maret 2011)

POLISI YANG TEGAS DAN HUMANIS

SALAH satu komitmen yang disampaikan oleh Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri pada saat mengikuti fit and proper test di DPR sebelum diangkat menjadi Kapolri adalah, mewujudkan polisi yang tegas dan humanis. 

Walaupun bukan sesuatu hal yang baru karena hal tersebut juga telah digagas oleh Kapolri sebelumnya, Jenderal (Purn.) Soetanto, komitmen tersebut perlu untuk mendapatkan apresiasi karena Kapolri baru ingin semakin mengokohkan posisi polisi sebagai sosok polisi sipil. Maksudnya, polisi harus menyelesaikan setiap permasalahan sosial kemasyarakatan secara tegas tanpa pandang bulu dengan tetap mengedepankan cara-cara sipil dan menghargai hak-hak asasi manusia, tidak melalui cara-cara kekerasan.

Lahirnya Undang-undang No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi momentum yang bersejarah pemisahan polisi dari TNI, sekaligus mengubah karakter polisi dari karakter militer menjadi karakter sipil. Sesuai dengan undang-undang, tugas polisi yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 

Bukanlah sesuatu yang mudah untuk dapat mewujudkan tugas-tugas tersebut dengan sebaik-baiknya. Dibutuhkan komitmen dan tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakannya. Dan hal yang tidak kalah pentingnya adalah penambahan jumlah aparat kepolisian sesuai dengan rasio jumlah penduduk dan peningkatan kesejahteraan anggota Polri.

Saat ini kepolisian dihadapkan kepada sejumlah masalah yang semakin berat dan menantang untuk diatasi, antara lain; terorisme, pengedaran dan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, pembajakan hak cipta, pembalakan liar (illegal logging), pencurian ikan (illegal fishing), perjudian, premanisme, berbagai kasus kriminal yang belum terungkap, dan sebagainya. Menyangkut pengamanan perhelatan politik, ada tugas besar yang menanti di depan mata, yaitu pengamanan sejumlah pilkada menjelang akhir 2008 dan pengamanan pemilu legislatif dan Pilpres 2009. Dalam melaksanakan tugas tersebut, polisi harus dapat bersikap netral dan profesional.

Patut diakui bahwa peran polisi dalam melaksanakan tugasnya belum optimal. Hal tersebut disebabkan oleh masih belum idealnya jumlah polisi dengan rasio penduduk yang harus dilindungi. Rasio polisi dan penduduk yang ideal sesuai standar PBB adalah 1:400. Dari data Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) pada 1995 sampai 2000, rasio polisi dan masyarakat adalah 1:1.000. Sedangkan pada 2000-2005 rasio tersebut membaik, yakni 1:700. Artinya satu orang polisi melayani 700 orang.

Dari sisi kesejahteraan pun, gaji polisi Indonesia, termasuk yang paling rendah di Asia. Untuk menutup rendahnya gaji yang diterima, tidak jarang ada oknum polisi yang mencari penghasilan di luar gaji dengan cara-cara yang melawan hukum antara lain; melakukan pungli, korupsi, menerima suap, menjadi beking tindak kejahatan, menjadi pengawal pribadi, bahkan menjadi pengedar narkoba. Di balik semua kekurangannya, masyarakat perlu mengapresiasi dan menghargai kerja keras polisi selama ini. Di tengah panas terik matahari dan derasnya hujan mereka teguh mengatur dan mengatasi kemacetan di jalan raya. Bekerja tidak mengenal waktu karena sewaktu-waktu mereka harus selalu siap melaksanakan tugas. Pekerjaan polisi adalah pekerjaan penuh risiko, dari mulai godaan suap, "uang damai" sampai ancaman kekerasan terhadap keselamatan diri dan keluarga mereka. 

Citra polisi

Setelah memisahkan diri dari TNI, polisi terus melakukan pembenahan dan memperbaiki citranya yang berangsur-angsur mulai membaik. Bentuknya antara lain perbaikan sistem dan manajemen di tubuh kepolisian, peningkatan kualitas SDM, penambahan alat-alat penunjang operasional kepolisian, peningkatan kesejahteraan anggota Polri, dan penegakan reward and punishment terhadap anggota Polri.

Di balik semua pembenahan tersebut, kita pun tidak dapat menutup mata bahwa sebagian masyarakat masih melihat polisi sebagai sosok yang angker, arogan, kurang bersahabat, kaku, dan menyeramkan sehingga masyarakat enggan berhubungan dengan polisi. Ketika bertemu dengan polisi, justru merasa kurang nyaman, takut ditilang walaupun surat-surat kendaraan lengkap karena ada oknum polisi yang suka menjebak dan mencari-cari kesalahan pengendara, takut melapor jika menjadi korban kecelakaan atau tindak kejahatan karena takut menjadi objek pemerasan polisi.

Berbagai kesan dan catatan negatif dari sebagian masyarakat terhadap polisi harus disikapi secara bijak karena dalam melaksanakan tugasnya, polisi bersentuhan dengan kepentingan masyarakat. Misalnya dalam pelayanan pembuatan SIM, STNK, SKCK, pengaturan lalu lintas, pelayanan pembayaran pajak kendaraan, dan penanganan laporan dan pengaduan dari masyarakat. Polisi harus menjawab berbagai kesan negatif tersebut dengan semakin meningkatkan kinerjanya agar kepercayaan masyarakat dapat semakin meningkat. Kepolisian pun tidak perlu alergi terhadap kritik dan masukan dari masyarakat dan pihak-pihak yang concern terhadap kinerja polisi.

Kritik dan masukan dari masyarakat sebagai tanda bahwa polisi dicintai dan diperhatikan oleh masyarakat. Berbagai kritik dan masukan tersebut justru dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan pertimbangan bagi polisi untuk mewujudkan sosok polisi yang diharapkan masyarakat. Dalam meningkatkan citranya, polisi pun harus mampu menjadi sahabat masyarakat, antara lain dengan melakukan penegakan dan penyuluhan hukum kepada masyarakat dengan cara yang simpatik dan persuasif. Ibarat sebuah lirik lagu, benci tapi rindu, itulah realitas sikap masyarakat atas kinerja polisi. Polisi dibenci ketika dianggap melakukan kesewenang-wenangan dan menjadi alat penguasa. Dan polisi dirindukan ketika masyarakat membutuhkan pelayanannya.

Masyarakat cukup memiliki peran dalam mewujudkan sosok polisi yang tegas dan humanis. Masyarakat jangan hanya bisa menuntut pelayanan dari polisi, tetapi juga berkewajiban untuk menaati hukum untuk meringankan tugas polisi. Ada kalanya perilaku menyimpang yang dilakukan oleh oknum polisi juga karena tawaran "damai" dari masyarakat yang terjerat pelanggaran hukum. 

Kini, harapan berada di pundak Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri beserta jajarannya untuk mewujudkan komitmen polisi yang tegas dan humanis. Masyarakat siap mendukung dan menanti peningkatan kinerja polisi dalam melayani, melindungi, dan menciptakan rasa aman terhadap masyarakat.



(Penulis, pegawai LPMP Jawa Barat)**
(Tulisan ini dimuat di HU Galamedia, tanggal 23 Oktober 2008)

SOSIALISASI PEMILU BAGI PEMILIH PEMULA

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan sebanyak 171.068.667 orang sebagai pemilih pada pemilu 2009 dan 30% diantaranya adalah pemilih pemula. Pemilih pemula adalah pemilih yang berusia 17 sampai dengan 21 tahun. Dengan demikian, pelajar SMA dan mahasiswa termasuk ke dalam kategori pemilih pemula.
Berkaitan dengan semakin dekatnya pelaksanaan pemilu khususnya pemilu legislatif tanggal 9 April 2009, KPU tengah melaksanakan sosialisasi melalui media massa, bekerja sama dengan pemerintah daerah sampai dengan pemerintah kelurahan dan desa, memasang spanduk dan baliho tentang pemilu, dan sebagainya. Walaupun demikian, sosialisasi tersebut dirasakan belum optimal utamanya terhadap pemilih pemula padahal pemilih pemula adalah segmen pemilih yang cukup menentukan dalam kesuksesan pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Berkaca dari hal tersebut, tampaknya KPU harus memberikan porsi yang lebih dalam memberikan sosialisasi pemilu terhadap pemilih pemula.
Jika diperhatikan, bukan hanya KPU saja yang notabene sebagai penyelenggara pemilu yang melakukan sosialisasi pemilu, tetapi partai politik plus para calon legislatif (caleg) peserta pemilu pun ikut melakukan sosialisasi melalui bendera, baliho, dan spanduk yang dipasang hampir di setiap tempat walaupun yang disosialisasikan terbatas hanya diri mereka sendiri. Disamping untuk kesuksesan pemilu, pemilih pemula dapat dijadikan sebagai lahan bagi parpol dan caleg untuk mendulang suara.
Secara umum, mungkin pemilih pemula telah mengetahui tentang pemilu, tetapi perlu sosialiasi yang lebih mendetail. Misalnya, tentang hari H pemilu, tahapan pelaksanaan pemilu, partai-partai peserta pemilu, cara menandai (mencontreng) pilihan, peran dan fungsi DPR, DPRD, dan DPD, mekanisme penetapan caleg terpilih, dan sebagainya.
Agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan, pelaksanaan sosialisasi pemilu terhadap pemilih pemula perlu dilakukan dengan cara yang cerdas, menarik, kreatif, dan disesuaikan dengan gaya hidup anak muda. Anak muda lebih menyukai informasi bergambar, langsung action, dan to the point daripada disodori aturan-aturan tentang pemilu yang belum tentu dibaca. Bentuknya, misalnya, melalui komik, karikatur, gambar, film, simulasi pemilu, acara hiburan, musik, dan sebagainya.
KFC
Dalam melaksanakan sosialisasi pemilu, KPU telah membuat rencana yang disebut KFC, yaitu Knowledge, Featuring of process, dan Conforming. Knowledge adalah memberikan pengetahuan tentang pemilu. Featuring of process adalah melibatkan mereka dalam proses pemilu, dan Conforming adalah membuat pemilih pemula tidak asing dengan pemilu. Disamping sosialisasi dengan gambar dan alat peraga, KPU bisa datang langsung ke sekolah-sekolah dan kampus-kampus, meminta bantuan guru, dosen, atau organisasi pemantau pemilu.
Pemilih pemula adalah segmen yang potensial dalam meningkatkan angka partisipasi pemilu dan tentunya lahan untuk mendulang suara bagi parpol dan caleg kontestan pemilu. Oleh karena itu, sosialisasi pemilu terhadap pemilih pemula mutlak diperlukan. Jika sosialisasi tidak dilakukan secara optimal dan tepat sasaran, penulis melihat ada beberapa resiko yang akan dihadapi, antara lain; pertama, pemilih pemula hanya akan menjadi sarana eksploitasi partai-partai peserta pemilu. Kedua, hanya dijadikan massa penggembira pada saat kampanye tanpa mengerti esensi dari pemilu itu sendiri.
Ketiga, karena ketidaktahuannya, mereka menjadi pemilih yang tidak rasional ketika memilih. Dan keempat, mereka tidak menggunakan hak pilihnya alias golput. Sejumlah lembaga survei dan analis politik memperkirakan jumlah golput pada pemilu 2009 sekitar 40%. Angka golput diperkirakan akan semakin bertambah jika banyak pemilih pemula yang golput.
Dengan pesatnya perkembangan informasi melalui berbagai media saat ini, sebenarnya banyak pemilih pemula yang telah melek politik bahkan kritis terhadap pemilu. Tetapi tidak sedikit pula yang terlihat cuek bahkan belum menentukan pilihan. Alasannya bermacam-macam. Ada yang masih bingung karena terlalu banyak parpol peserta pemilu. Pemilu 2009 akan diikuti oleh 38 parpol. Ada yang merasa belum tahu visi dan misi parpol, ada yang tidak kenal dengan caleg-calegnya, dan ada yang sama sekali apatis dan tidak percaya dengan parpol dan caleg peserta pemilu karena banyak wakil rakyat yang menghianati amanat rakyat dan terjerat kasus korupsi.
Dibalik segala apatisme terhadap pemilu 2009, tapi kita harus tetap optimis. Pemilu adalah sebuah ikhtiar bagi bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan karena ketika kita tidak menggunakan hak pilih, sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. Dengan kata lain, sama saja dengan tidak menghendaki perubahan dan mempertahankan status quo. Hal tersebut perlu ditanamkan kepada para pelajar dan mahasiswa selaku pemilih pemula agar mereka menggunakan hak pilihnya.
Di lingkungan sekolah, peran guru akan cukup efektif dalam membantu KPU selaku penyenggara pemilu dalam memberikan infomasi tentang pemilu. Dengan demikian, Pemilu bukan hanya menjadi ritual demokrasi lima tahunan semata tetapi sekaligus menjadi sarana pendidikan politik dan demokrasi bagi siswa dalam upaya membentuk warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Penulis, Guru PKn SMP dan MA Madani KBB, Pegawai LPMP Jawa Barat.
(Tulisan ini dimuat di HU Galamedia, tanggal 28 Maret 2009)

RAZIA VIDEO PORNO

Baru-baru ini kita dihebohkan oleh beredarnya video mesum yang dilakukan oleh orang yang mirip artis. Masalah itu menjadi topik pembicaraan hangat mulai dari kalangan pejabat, masyarakat biasa, sampai ke level anak-anak sekolah. Karena kasus ini semua pihak menjadi sibuk. Polisi sibuk menyelidiki penyebar dan telah memanggil tiga orang artis yang wajahnya mirip dengan pelaku adegan mesum di video tersebut. Selain itu, polisi juga merazia dan menggerebek pabrik pengganda VCD/DVD video porno tersebut. Kemeninfokom sibuk memblokir link situs yang disinyalir menyebarkan adegan syur tersebut. Program infotainment dengan gegap gempita dan bombastis membahas masalah itu. KPI sibuk mengingatkan program infotainment yang menayangkan secara vulgar gambar-gambar mesum tersebut. Dilandasi oleh rasa penasaran, masyarakat pun memburu rekaman video porno tersebut dan menjadikannya sebagai bahan gurauan dan gunjingan.
Rekaman video porno mirip artis sudah terlanjur beredar di masyarakat sulit sekali dibendung. Peredarannya bukan hanya di dalam negeri saja, tetapi sudah merambah ke luar negeri. Video mesum tersebut mungkin saat ini sudah tersimpan di HP, laptop dan komputer banyak orang. Kecanggihan teknologi saat ini memungkinkan setiap orang untuk melakukan transaksi data secara digital dan menyimpannya pada berbagai media. Kasus video porno mirip artis mendapat perhatian yang tinggi dari publik karena pelakunya adalah pigur publik.
Bukan hanya Polisi, Kemeninfokom, dan KPI saja yang kebakaran jenggot atas kasus tersebut. Sekolah pun ikut direpotkan. Sejak kasus itu merebak, banyak sekolah yang melakukan razia video porno di HP siswa. HP siswa dikumpulkan dan diperiksa. Kita tentu menghargai upaya yang dilakukan dilakukan oleh pihak sekolah tersebut sebagai bentuk antisipasi semakin merebak dan masifnya peredaran video porno mirip artis. Kita tentu khawatir bahwa adegan syur yang dilakukan oleh artis idola remaja tersebut akan meracuni moral pelajar. Kalo mau jujur, sebenarnya banyak pelajar yang sudah familiar dengan pornografi dan sudah banyak yang jadi korbannya.
Dalam jangka pendek, razio video porno yang dilakukan sekolah mungkin bisa mengendalikan dan sekaligus menjadi shock teraphy untuk mengendalikan peredaran video porno dikalangan siswa, tetapi dalam jangka panjang, penulis melihat langkah ini kurang efektif karena langkah ini. Tiap ada heboh peredaran video porno, baru ramai-ramai dilakukan razia padahal sebenarnya adegan-adegan porno beredar setiap saat. Dengan adanya HP yang memiliki fasilitas bluetooth atau bisa mengakses internet, siswa orang semakin leluasa mengunduh atau mengedarkan video atau gambar video porno.
Razia HP di sekolah di sisi lain juga akan kontraproduktif karena ketika HP siswa di razia dan content pornonya dihapus, maka tidak tertutup kemungkinan siswa dengan mudah akan mengunduh atau mengopy-nya lagi dari sumber yang lain atau telah membackupnya dalam media lain seperti flash disk atau memory card. Dan kalau mau jujur, yang senang mengoleksi content porno dalam HP atau laptop bukan hanya siswa saja, tetapi guru dan masyarakat umum juga suka melakukan hal serupa. Silakan saja lakukan razia serupa kepada HP atau laptop guru atau masyarakat umum, mungkin saja akan ditemukan content pornonya.
Secara psikologis, remaja masih tahap perkembangan mencari jati diri, memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadap sesuatu. Oleh karena itu, larangan bagi siswa untuk mengunduh content porno bukannya mencegahnya dari melakukan hal tersebut, tetapi membuatnya semakin penasaran dan secara sembunyi-sembunyi bergerilnya mencari content ­porno tersebut. Kita tidak bisa menutup mata sejak menjamurnya warnet dan munculnya produk HP murah yang bisa mengakses internet, siswa yang akrab dengan internet termasuk situs-situs porno semakin banyak. Jangankan siswa SMA, siswa SMP bahkan siswa SD pun, sudah tahu dan suka membuka situs porno.
Menkominfo, Tifatul Sembiring mengatakan bahwa Indonesia adalah negara dengan pengakses situs porno terbanyak di dunia. Data pada Depkominfo tahun 2006, jumlah situs porno di dunia sebanyak 4,6 juta. Pemerintah baru mampu memblokir 253.000 situs porno. Berkali-kali diblokir pun, situs porno bermetamorfosis menjadi nama-nama baru yang namanya disamarkan. Bisnis esek-esek adalah bisnis menggiurkan dan menjanjikan keuntungan yang besar. Selanjutnya data Top Ten Reviews tahun 2006 menyatakan bahwa Indonesia berada para urutan ketujuh sebagai negara pengakses internet dengan kata kunci “sex”. Inilah potret nyata bahwa bangsa kita adalah bangsa penikmat pornografi.
­Fondasi Agama
Dibalik berbagai upaya untuk mengantisipasi dan meminimalisasi peredaran content porno di kalangan pelajar, fondasi agama dan nilai keimanan menjadi benteng terakhir dalam melindungi anak didik kita dari bahaya pornografi. Semua pihak harus bersatu padu dalam melakukannya, mulai dari pihak keluarga, sekolah, dan masyarakat. Jika satu pihak saja lalai atau kurang memiliki komitmen yang kuat, maka langkah-langkah yang dilakukan tidak akan berjalan secara optimal. Dan anak-anak kita pun berpotensi menjadi penghamba dan penikmat pornografi. Naudzubillah.

Penulis, Guru PKn SMP Madani, Kec. Cihampelas, KBB
(Tulisan ini dimuat di HU Galamedia, tanggal 25 Juni 2009)

MAFIA HUKUM DAN MAKELAR KASUS

Belakangan, kedua kata tersebut menjadi sangat populer dan menghiasi berbagai pemberitaan media massa cetak dan elektronik mengenai mafia hukum dan makelar kasus. Masyarakat pun kemudian menjadi akrab dengan kedua kata tersebut. Kata mafia hukum mulai akrab di telinga kita sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum untuk memberangus mafia-mafia hukum di lembaga-lembaga penegakan hukum.
Istilah mafia dan makelar semakin populer sejak mantan Kabareskrim Polri, Komisaris Jenderal Susno Duadji mengeluarkan pernyataan bahwa di Mabes Polri terdapat mafia kasus. Masalah ini semakin menyeruak dengan munculnya kasus yang juga sama sampaikan oleh Susno Duadji tentang yaitu kasus Gayus Tambunan, seorang  PNS golongan III/a di Direktorat Jenderal Pajak yang divonis bebas pada kasus penggelapan pajak sebesar 25 milyar. Bebasnya Gayus dari tuntutan pidana, diduga karena ada main mata dengan oknum di mabes Polri, aparat kejaksaan, pengadilan (hakim) dengan pengacaranya Gayus. Buntut dari kasus tersebut, sepuluh atasan Gayus di Direktorat Jenderal Pajak diberhentikan dari jabatannya. Selain itu, dua Jaksa yang menangani kasus Gayus, yaitu Cirus Sinaga dan Poltak Manullang diberhentikan dari jabatannya.
Para pejabat dan pegawai di Direktorat Jenderal pajak pun menjadi kebakaran jenggot karena hartanya banyak disorot. Dirjen Pajak, M. Tjiptardjo, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR beberapa waktu yang lalu menyebutkan bahwa institusi yang saat ini dipimpinnya dan para pegawainya menjadi sasaran hujatan dan sindiran masyarakat. Karena ulah Gayus, citra pegawai pajak menjadi hancur. Bahkan sebagai bentuk protes kasus mafia pajak, ada sebagian masyarakat mengkampanyekan memboikot bayar pajak. Iklan-iklan layanan masyarakat yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak tentang pentingnya membayar pajak menjadi kurang greget karena kasus Gayus. Tindak lanjut dari kasus ini, harta kekayaan pejabat dan pegawai pajak akan diaudit.
Dalam Wikipedia, disebutkan bahwa mafia yang juga dirujuk sebagai La Cosa Nostra (Bahasa Italia: Hal Kami) adalah panggilan kolektif untuk beberapa organisasi rahasia di Sisilia Italia dan Amerika Serikat. Anggota mafia disebut “mafioso”, yang berarti “pria terhormat”.  Sekarang istilah itu melebar hingga dapat merujuk kepada kelompok besar apapun yang melakukan kejahatan secara terorganisir.
Selanjutnya, makelar adalah orang yang bertindak sebagai penghubung antara dua  belah pihak yang berkepentingan. Pada praktiknya lebih banyak pada pihak-pihak yang akan melakukan jual beli. Makelar bertugas menjembatani kepentingan antara pihak penjual dan pembeli. Dalam praktik kerja di lapangan banyak berbagai bentuk cara kerja dari seorang makelar. Dari yang ingin untung sendiri dengan mengorbankan kepentingan salah satu pihak (seperti mark up harga jual barang dari penjual) dan tidak bertanggung jawab atas risiko yang mungkin terjadi, sampai yang profesional dengan benar-benar menjembatani kepentingan pihak-pihak yang dihubungkan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ketika masih kecil, penulis mengenal kata mafia dari film Untouchable yang mengisahkan tentang tentang mafia Amerika Serikat di bawah pimpinan Al Capone. Kemudia film action yang mengisahkan tentang Yakuza, kelompok mafia Jepang. Sedangkan kata makelar, biasanya identik dengan istilah makelar tanah atau makelar barang-barang dagangan.
Jika kita kaitkan dengan dengan konteks saat ini, kedua kata tersebut banyak dikaitkan dengan mafia hukum dan makelar kasus. Keduanya berkonotasi negatif karena merusak tatanan dan supremasi hukum di Indonesia. Dalam beraksi, kebanyakan mereka melakukannya secara berkelompok. Mafia hukum tidak pandang bulu dalam memakan korban. Korbannya dari orang kaya sampai dengan orang miskin. Sebuah keluarga di Indramayu terpaksa harus tinggal di kandang kambing karena rumahnya dijual dan uangnya diberikan kepada seorang oknum anggota polisi dengan janji salah seorang anggota keluarganya akan dibebaskan dari tuntutan pembunuhan. Kenyataannya, terdakwa tetap dihukum.
Kata mafia dan makelar bukan hanya terkait dengan hukum saja, tetapi telah merambah ke semua lini kehidupan. Ada mafia narkoba, di sepak bola kita mengenal mafia wasit, mafia pajak, mafia tanah, mafia TKI, mafia hutan, mafia kayu, mafia minyak, mafia pupuk, mafia ijazah, mafia sertifikat tanah, mafia jabatan, mafia penjualan manusia, dan lain sebagainya. Jadi, kita hidup bersama dengan para mafia, dan negeri ini dikendalikan oleh para mafia. Menyadari hal tersebut, Presiden SBY kemudian memutuskan untuk membentuk Satgas Anti Mafia Hukum pada tanggal 30 Desember 2009. Satgas ini diharapkan dapat memberantas para mafia hukum yang banyak bergentayangan di institusi penegak hukum. Para mafia tersebut telah mencederai penegakkan hukum dan menyakiti perasaan masyarakat banyak. Mereka mendapatkan keuntungan di atas penderitaan masyarakat kecil. Dengan lobi dan uang, mereka telah dapat membeli penegak hukum agar lupa terhadap tugas utamanya untuk menegakkan hukum, kebenaran, dan keadilan.
Pembentukan Satgas Anti Mafia Hukum dapat diartikan sebagai kegagalan satuan pengawasan internal yang ada di setiap institusi penegak hukum atau lembaga lainnya dalam menjalankan tugasnya sehingga harus dibentuk sebuah lembaga ad hoc yang bernama Satgas Anti Mafia Hukum. Kita perlu mengapresiasi terhadap kinerja Satgas ini, dimana, setidaknya Satgas telah melakukan shock teraphy terhadap para mafia hukum dan makelar kasus. Pada sidak ke ruang tahanan Artalyta Suryani alias Ayin di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur, Satgas menemukan ruang tahanan yang mewah. Di lapas, Ayin mendapatkan keistimewaan untuk menempati satu ruangan yang lebih pas disebut kamar hotel bintang lima daripada ruang tahanan karena di dalamnya dilengkapi berbagai fasilitas. Temuan ini sontak membuat kita merasa terkejut dan merasa dikhianati oleh penegak hukum. Buntut dari kasus ini, Sarju Wibowo, Kepala Rutan Pondok Bambu diberhentikan dari jabatannya karena dianggap gagal.
Masyarakat tentu berharap bahwa pemberantasan mafia hukum atau makelar kasus bukan hanya program yang insidental saja, tetapi tetap berlanjut walaupun Satgas Anti Mafia Hukum sudah bubar. Satgas Anti Mafia Hukum sebenarnya hanya pembuka jalan dalam mengatasi carut-marutnya penegakkan hukum di Indonesia. Tugas ini harus dilanjutkan oleh lembaga-lembaga yang tugasnya sudah establish melakukan pengawasan Seperti Direktorat Profesi dan pengamanan (Ditpropam) dan Komisi Kepolisian di tubuh Polri, Jaksa Agung Muda (JAM) Bidang Pengawasan, Komisi Kejaksaan, Hakim Agung Muda bidang Pengawasan, Komisi Yudisial, dan sebagainya.
Patut diakui bahwa pemerintah saat ini tengah gencar-gencarnya melakukan pemberantasan korupsi, pemberantasan mafia hukum, makelar kasus, dan mafia pajak. Tetapi pemerintah juga jangan terlena dengan masalah-masalah tersebut karena di lini kehidupan yang lain juga banyak bergentayangan mafia. Para mafia dapat terus eksis di tengah aparat hukum yang korup dan masyarakat yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Budaya instan yang saat ini menggejala menambah subur lahan bagi para mafia. Keserakahan juga menjadi lahan subur bagi tumbuhnya makelar. Remunerasi yang diberlakukan di Direktorat Jenderal Pajak ternyata belum menghentikan korupsi di lembaga tersebut. Oleh karena itu, perlu pendekatan yang holistik dalam penanganan mafia dan makelar yang telah banyak merugikan kepentingan umum, yaitu bukan hanya perbaikan penghasilan, tetapi juga harus disertai dengan peningkatan pengawasan, dan penegakkan aturan bagi pelanggar.

Penulis, Pemerhati Sosial, Praktisi Pendidikan, Tinggal di Cililin KBB
(Tulisan ini dimuat di HU Galamedia, 14 April 2010)

EDS/M DAN PENGUATAN MBS

Sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP), sejak tahun 2010 Kemdiknas meluncurkan program Evaluasi Diri Sekolah/Madrasah (EDS/M). Program ini diharapkan dapat menjadi bagian dari langkah konkrit pemerintah dalam penjaminan mutu pendidikan yang bermuara kepada meningkatnya mutu pendidikan nasional. Jika kita lihat hirarki dan historisnya, SPMP ini merupakan langkah untuk mewujudkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Pendidikan merupakan salah satu dari tiga indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) suatu negara selain kesehatan dan daya beli (ekonomi). Berdasarkan data United Nations Development Programme (UNDP), Badan PBB yang menangani masalah pembangunan, IPM Indonesia tahun 2010 berada diurutan 111 jauh berada di bawah Malaysia yang berada di urutan 57. Dalam data UNDP disebutkan bahwa dari 11 negara Asia Tenggara, Indonesia hanya Indonesia hanya unggul dari Vietnam peringkat (113), Myanmar (132), Timor Leste (120), dan Laos (122). Sementara Singapura menduduki peringkat tertinggi. (Republika, 11 Desember 2010).
Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia pada umumnya disebabkan rendahnya kualitas guru, rendahnya kualitas sarana dan prasarana, rendahnya anggaran, dan rendahnya kualitas lulusan baik output maupun outcomenya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pemerintah sudah menetapkan 8 (delapan) standar nasional yang harus dipenuhi yaitu; (1) Standar Isi, (2) Standar Kelulusan, (3) Standar Proses, (4) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, (5) Standar Sarana dan Prasarana, (6) Standar Pengelolaan, (7) Standar Pembiayaan, dan (8) Standar Penilaian. Disamping menetapkan SNP, Kemdiknas juga telah menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Permendiknas Nomor 15 Tahun 2010. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar selanjutnya disebut SPM pendidikan adalah tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan dasar melalui jalur pendidikan formal yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. SNP dan SPM merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dengan SPMP.

EDS/M
Evaluasi Diri  Sekolah/Sekolah (EDS/M) adalah proses Evaluasi Diri Sekolah atau Madrasah yang bersifat internal yang melibatkan pemangku kepentingan untuk melihat kinerja sekolah berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang hasilnya dipakai sebagai dasar penyusunan Rencana Kerja Sekolah (RKS) dan sebagai masukan bagi perencanaan investasi pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota.
Penulis melihat bahwa EDS/M ini sangat baik bagi sekolah. EDS/M memosisikan sekolah sebagai pelaku utama penjaminan mutu pendidikan karena sekolah yang paling tahu kondisinya masing-masing. Dengan kata lain, EDS/M dapat dijadikan sebagai sarana bagi sekolah untuk melakukan introspeksi diri sejauh mana kinerja sekolah jika dikaitkan dengan SPM dan SNP serta membuat langkah-langkah pengembangannya melalui RKS.
Selama ini kebijakan peningkatan mutu pendidikan bersifat top-down, dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau sekolah sekolah sehingga ada kalanya kurang sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Program-program atau bantuan-bantuan yang diberikan pun kadang kala salah sasaran. Misalnya, ada sekolah yang terus menerus mendapatkan bantuan tetapi di sisi lain ada sekolah yang sudah mau ambruk, berkali-kali mengajukan permohonan bantuan tapi belum juga ditindaklanjuti atau direalisasikan. Ada kalanya juga, ketika sekolah ingin mendapatkan bantuan, harus pintar melobi pejabat yang berwenang atau orang yang memegang proyeknya. Dengan adanya EDS/M, maka kebijakan peningkatan mutu pendidikan dibangun secara bottom-up, berdasarkan data dan fakta yang sebenarnya. Berbagai usulan atau rekomendasi dibuat oleh sekolah untuk selanjutnya dihimpun oleh Pemerintah Daerah melalui Monitoring Sekolah oleh Pemerintah Daerah (MSPD) dimana Pengawas Sekolah sebagai ujung tombak Dinas Pendidikan harus melakukan agregasi dari MSPD yang dibuat untuk kemudian dilaporkan ke Pemerintah Daerah. Selanjutnya, Pemerintah daerah pun menindaklanjutinya dengan Evaluasi Diri Kabupaten/Kota (EDK).

EDS dan Akreditasi
Sebagai sebuah program baru, banyak sekolah yang mempertanyakan apa apa perbedaan antara akreditasi dengan EDS/M. Masih ada sekolah yang ketika mengisi instrumen EDS, mereka memperlakukannya seperti mengisi instrumen Akreditasi Sekolah. Padahal filosofinya berbeda. Jika EDS adalah penilaian yang dilakukan secara internal oleh sekolah berkaitan dengan ketercapaian SNP dan SPM untuk kemudian menentukan tahap pengembangannya (1/2/3/4) dan membuat rekomendasinya sedangkan akreditasi adalah penilaian yang dilakukan oleh pihak eksternal dalam hal ini oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M) untuk kemudian ditentukan peringkat sekolahnya.
Dalam melakukan EDS/M, sekolah dituntut untuk mengisi istrumen EDS apa adanya sesuai dengan kondisi nyata, tidak mengada-ada, dan tidak memanipulasi karena jika mereka melakukannya justru mereka sendiri yang rugi karena telah membohongi diri sendiri sehingga kelemahan-kelemahan yang ada disekolah tidak bisa ditingkatkan atau diperbaiki. Sekolah tidak perlu malu, tidak perlu khawatir akan mendapatkan sanksi dan pemerintah, atau bahkan khawatir akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat jika banyak standar yang tahap pengembangannya masih rendah. Justru hal itu menjadi pekerjaan rumah Tim Pengembang Sekolah (TPS) untuk meningkatkannya dan menyampaikannya kepada pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan.
EDS/M adalah evaluasi internal yang hasilnya untuk kepentingan sekolah itu sendiri perbaikan kinerjanya dari kedelapan SNP. EDS/M adalah memotret diri atau melakukan check-up sekolah. Salah satu kuncinya adalah kejujuran, menilai apa adanya karena dengan mengetahui kelemahan dan kekurangannya akan bisa dilakukan perbaikan yang diperlukan. Dengan demikian pelaksanaan EDS/M di sekolah dan kegiatan tindak lanjutnya juga akan mempunyai efek positif bagi sekolah dalam kegiatan evaluasi eksternal lainnya seperti akreditasi.
Sudah menjadi rahasia umum, jika dalam pelaksanaan akreditasi sekolah cenderung mengada-ada dalam memberikan informasi, data, fakta kepada tim penilai karena kaitannya dengan gengsi sekolah. Untuk mendapatkan predikat yang bagus, sekolah melakukan apa saja termasuk memanipulasi data sehingga yang tampak pada saat akreditasi banyak yang semu, serba dadakan, yang penting semuanya terkesan baik di mata Tim Asesor Akreditasi. Dengan demikian, dalam akreditasi ada semacam kepura-puraan dari sekolah atau “politik mercu suar”. Terlihat terang benderang keluar, tetapi gelap di dalamnya.
Jika kita tarik benang merahnya, sebenarnya akreditasi dan EDS/M adalah dua hal yang dilakukan dalam rangka Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) untuk memenuhi SNP dan SPM. Keduanya saling melengkapi. Bedanya, jika EDS/M dilakukan oleh internal sekolah, sedangkan akreditasi dilakukan oleh pihak eksternal. Logikanya, jika EDS/M-nya dilaksanakan dengan baik, tahap pengembangannya ditentukan dengan tepat, dan rekomendasi-rekomendasinya benar-benar dilaksanakan melalui program konkrit, maka ketika pelaksanaan akreditasi, sekolah tidak akan kerepotan, dan pasti predikat sekolahnya pun akan ikut baik. Sekolah tidak perlu mempersiapkan secara mendadak hal-hal yang harus disiapkan untuk akreditasi sekolah karena sudah tertata dengan baik melalui EDS/M. Dengan kata lain, EDS/M membantu sekolah memersiapkan diri menghadapi akreditasi.
Sekolah selama ini memosisikan akreditasi sebagai hal yang sakral dan menjadi beban karena diakui atau tidak tertib administrasi dan tertib program belum menjadi budaya atau kebutuhan sekolah. Peningkatan mutu sekolah pun berjalan apa adanya, arahnya kurang jelas untuk mencapai visi dan misi sekolah. Dengan adanya EDS/M, paradigma tersebut sedikit demi sedikit diubah, dimana sekolah secara bertahap melakukan evaluasi internal dan memandang evaluasi eksternal bukan hal yang menyeramkan karena sudah terbiasa mengevaluasi dirinya sendiri. Jadi, intinya EDS/M dan akreditasi sekolah tidak perlu dipertentangkan karena dua-duanya saling melengkapi dalam SPMP untuk mencapai SNP dan SPM. EDS/M sangat bermanfaat bagi sekolah meskipun di lapangan penulis masih menemukan sekolah yang menganggap hal ini sebagai beban alias menambah pekerjaan di tengah pekerjaan sekolah yang sudah menumpuk. Hal itu yang menjadi tantangan kita untuk memberikan sosialisasi yang lebih jelas mengenai tujuan dan manfaat EDS/M.

Penguatan MBS
Jika kita perhatikan, EDS/M dapat memperkuat atau menunjang pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang digulirkan sejak tahun 2004. MBS esensinya adalah pemberian wewenang dari pemerintah kepada sekolah untuk mengelola sekolah sesuai dengan potensi dan kemampuan sekolah masing-masing dengan berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara umum, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggung jawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/ keluwesan-keluwesan kepada sekolah, mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, Kepala Sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan-peraturan yang berlaku (Depdiknas, 2006:10). Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan tuntutan sekolah dan serta masyarakat atau stakeholder yang ada dengan tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Esensi dari pelaksanaan MBS tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 51 ayat (1) yang berbunyi: “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.”
MBS dalam prakteknya menggambarkan sifat-sifat otonomi sekolah yang merujuk pada perlunya memperhatikan kondisi dan potensi dalam mengelola sekolah. Dengan mengakomodasikan kebijakan-kebijakan strategis pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah Kabupaten / Kota dalam program pendidikan.
Dalam MBS, semua stakeholder yaitu Kepala Sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan, dan Komite Sekolah terlibat dalam pengelolaan sekolah. Begitupun dalam EDS/M, sekolah membentuk Tim Pengembang Sekolah (TPS) yang berasal dari unsur Kepala Sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan, Komite Sekolah, orang tua, dan Pengawas pembina. TPS dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk mengkaji pelaksanaan masing-masing SNP di sekolah. Jadi, baik MBS maupun EDS/M mencerminkan adanya desentralisasi pengelolaan pendidikan di sekolah. Kebijakan peningkatan mutu pendidikan pun didesain secara bottom-up. Wujud MBS antara lain dengan diberikannya kewenangannya kepada sekolah untuk menyusun kurikulum sendiri (KTSP). Dengan adanya KTSP, sekolah diharapkan memiliki karakteristik dan keunggulan untuk mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan. Jadi, baik MBS maupun EDS/M, sama-sama berorientasi kepada upaya-upaya untuk meningkatkan mutu sekolah. Tentunya hal ini dapat terwujud dengan catatan jika sekolah melaksanakan MBS dan EDS/M secara serius, tidak asal-asalan, dan memiliki komitmen yang tinggi.

Program Sandiwara
Dalam pelaksanaan kegiatan pendampingan EDS/M ke sebuah daerah beberapa waktu yang lalu, Penulis mendengar sebuah pernyataan dari salah seorang peserta bahwa program EDS/M ini jangan hanya menjadi “program sandiwara” dimana sekolah sudah capek-capek membuat laporan EDS/M tetapi tidak jelas program program tindak lanjutnya baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pernyataan tersebut dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama itu adalah bentuk keragu-raguan sekolah terhadap program-program yang selama ini telah digulirkan pemerintah karena mungkin berdasarkan pengalaman berbagai program yang dilakukan pemerintah tidak berkelanjutan, hanya lebih tampak sebagai “proyek” saja daripada sebuah program yang berorientasi kepada peningkatan mutu pendidikan. Apalagi ada istilah, “ganti menteri ganti kebijakan atau ganti menteri ganti kurikulum.” Hal itulah yang tampaknya menjadikan sekolah-sekolah belum begitu yakin dengan program EDS/M.
Kedua, masih adanya miskonsepsi dan mispersepsi dari sekolah bahwa EDS/M ini kaitannya nanti dengan pemberian bantuan kepada sekolah. Padahal EDS/M ini bukan hanya berkaitan dengan masalah pemberian bantuan kepada sekolah meskipun ketika nanti sekolah menyusun rekomendasinya mengajukan usulan bantuan kepada pemerintah. Misalnya usulan pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB), rehab ruang kelas, pembangunan laboratorium, penambahan sarana perpustakaan, penambahan jumlah pendidik dan tenaga kependidikan, dan sebagainya.

Komitmen dan Sinergi
Pelaksanaan program EDS/M perlu komitmen dan sinergi dari semua pihak meliputi Sekolah, Pengawas Pembina (Dinas Pendidikan), dan Pemerintah Daerah/Pusat karena masalah peningkatan mutu pendidikan memerlukan kerjasama semua pihak. Sekolah membuat laporan EDS/M secara jujur, Pengawas melakukan MSPD secara baik untuk kemudian dilaporkan ke Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah pun melakukan Evaluasi Diri Kabupaten/Kota (EDK) juga secara jujur jangan hanya memikirkan gengsi daerah.
Ketika penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS) pada kegiatan pendampingan di sebuah daerah beberapa waktu yang lalu, penulis mendapatkan keluhan dan kebingungan yang relatif sama dari sekolah (SD dan SMP). Kebingungan tersebut adalah dalam menentukan sumber anggaran sekolah karena sebagaimana diketahui bahwa SD dan SMP “hidup” dari dana BOS. Rekomendasi program dalam pelaksanaannya membutuhkan dana sementara anggaran terbatas. Selain itu, anggaran tersebut dalam kenyataannya khawatir tidak bisa direalisasikan karena tidak sesuai atau tidak tecantum dalam aturan yang sudah ditetapkan oleh Pemda atau memang tidak ada dalam anggaran Pemda. Nanti kalau bertentangan, sekolah juga yang akan mendapatkan masalah.
Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memberikan pedoman yang jelas dan memiliki persamaan persepsi mengenai sumber-sumber dana yang bisa digunakan oleh sekolah dalam pelaksanaan program-program rekomendasi EDS. Dan yang paling penting adalah tindak lanjutnya supaya program EDS/M ini benar-benar terasa manfaatnya dan terlihat dampaknya dalam peningkatan mutu pendidikan. Semoga!!!!

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat