Minggu, 11 September 2011

MENYOAL KURIKULUM PENDIDIKAN ANTIKORUPSI


Jika melihat pada beban kurikulum yang sudah padat, pendidikan antikorupsi jangan dijadikan satu mata pelajaran khusus, tetapi diiintegrasikan pada mata pelajaran PKn, pendidikan agama, muatan lokal, kegiatan pengembangan diri, ataupun mata pelajaran lain yang relevan.
DALAM upaya memberantas korupsi, pemerintah khususnya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) akan memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum pendidikan. Akan tetapi yang masih menjadi perdebatan, apakah pendidikan antikorupsi menjadi mata pelajaran tersendiri atau diintegrasikan pada mata pelajaran yang sudah ada dan relevan.
Salah satu amanat Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi adalah penetapan wilayah bebas korupsi. Salah satu wilayah yang dituntut untuk bebas korupsi adalah lembaga pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi). Oleh karena itu, Depdiknas akan memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum pendidikan. Tujuannya untuk menanamkan semangat antikorupsi terhadap pelajar dan tenaga kependidikan.
Jika kita berbicara tentang esensi sikap dan perilaku antikorupsi, sebenarnya beberapa lalu Depdiknas telah meluncurkan program peningkatan keimanan dan ketakwaan (imtak) dan pendidikan budi pekerti ke sekolah dengan mengintegrasikannya pada mata pelajaran PKn, pendidikan agama, bahasa Indonesia, dan mata pelajaran lain yang relevan. Di samping itu, hal tersebut bukan hanya dilakukan pada kegiatan belajar mengajar (KBM), tetapi dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler, penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif, dan kerja sama dengan orang tua siswa/masyarakat.
Rencana Depdiknas meluncurkan kurikulum pendidikan antikorupsi dalam konteks ini dapat dibaca bahwa program penanaman imtak dan pendidikan budi pekerti di sekolah belum berhasil karena masih maraknya korupsi. Korupsi di samping melanggar norma hukum, melanggar norma agama, juga termasuk perilaku tercela.
Mengenai penanaman sikap antikorupsi kepada siswa, jika kita perhatikan, pada standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan jenjang SD, SMP, dan SMA sebenarnya baik secara implisit maupun secara eksplisit dibahas atau dicantumkan mengenai penanaman sikap antikorupsi. Sekarang tinggal bagaimana guru dapat menjabarkan SK dan KD antikorupsi tersebut dalam kegiatan pembelajaran sehingga mencapai tujuan yang diharapkan.
Kurikulum tersembunyi
Saat ini para pakar pendidikan masih belum sependapat apakah pendidikan antikorupsi dijadikan mata pelajaran khusus atau diintegrasikan pada mata pelajaran yang sudah ada. Penulis berpendapat bahwa, jika melihat kepada beban kurikulum yang sudah padat, pendidikan antikorupsi jangan dijadikan satu mata pelajaran khusus, tetapi diiintegrasikan pada mata pelajaran PKn, pendidikan agama, muatan lokal, kegiatan pengembangan diri, maupun mata pelajaran lain yang relevan. Dengan kata lain, pendidikan antikorupsi dimasukkan ke dalam kurikulum tersembunyi (hidden curriculum).
Penanaman sikap antikorupsi dikalangan pelajar dapat dilakukan dari hal yang sederhana, misalnya tidak menyontek pada waktu ulangan, tidak menyalahgunakan uang SPP, tidak bolos sekolah, tidak menipu ketika jajan di kantin, dan sebagainya.
Pendidikan antikorupsi bukan hanya berkutat mengajarkan siswa pengetahuan tentang seluk-beluk korupsi. Yang paling penting adalah penguatan sikap dan mentalitas antikorupsi karena jika kita perhatikan korupsi paling banyak justru dilakukan oleh kalangan terdidik. Penyebab korupsi, di samping belum tegaknya supremasi hukum, juga karena rendahnya moralitas, mentalitas, dan budaya malu pelaku korupsi. Jangan sampai pendidikan antikorupsi juga bernasib sama dengan program sebelumnya yang bagus pada tataran konsep, tetapi gagal pada tataran implementasi. ***

Penulis guru PKn SMP Madani KBB, pegawai LPMP Jabar, anggota AGP-PGRI Provinsi Jabar.
(Tulisan ini dimuat di HU Pikiran Rakyat, 1 April 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar