Minggu, 11 September 2011

SIKAP ANTIKORUPSI DI KALANGAN PELAJAR


Saat ini, KPK gencar melakukan kampanye antikorupsi dalam bentuk iklan layanan masyarakat melalui media massa, poster, stiker, kuliah antikorupsi di perguruan tinggi, dan sebagainya.
Terobosan baru yang coba dilakukan KPK adalah dengan menerbitkan buku antikorupsi yang rencananya akan diberikan kepada siswa TK sampai SMA. Hal ini tentu perlu mendapatkan apresiasi dan dukungan dari semua pihak, khususnya Departemen Pendidikan Nasional dan kalangan masyarakat pendidikan.
Semua tentu setuju bahwa korupsi telah menjadi penyakit akut bangsa ini dan sulit untuk disembuhkan alias sulit diberantas. Korupsi terjadi hampir di semua lapisan masyarakat, mulai dari kalangan masyarakat biasa sampai kelas aparat dan pejabat. Korupsi dilakukan bukan hanya di lembaga pemerintah, tetapi juga di lembaga swasta. Korupsi terjadi mulai dari hal kecil, seperti pembuatan KTP sampai korupsi APBD, APBN, dan pembuatan undang-undang. Korupsi bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga melanggar hak sosial ekonomi masyarakat.
Di balik semua penyebab korupsi tersebut di atas, penyebab utama korupsi adalah mentalitas, niat, dan kesempatan untuk melakukan korupsi. Mentalitas korupsi biasanya tumbuh ketika seseorang bekerja di lingkungan yang memang sudah kotor dan tidak kuasa untuk memegang prinsip karena besarnya pengaruh lingkungan. Ada istilah, ustaz di sarang perampok. Itulah yang terjadi ketika seseorang yang baik hidup dalam sistem yang kotor dan tidak berdaya memberantas korupsi.
Godaan datang ketika seseorang diberi kepercayaan memegang keuangan atau mengelola projek. Biasanya, pengawasan yang rendah, mekanisme pelaporan yang dapat dimanipulasi, dan adanya kesempatan, menyebabkan niat seseorang untuk korupsi.
Buku antikorupsi
Korupsi sudah selayaknya menjadi musuh bersama. Penanaman antikorupsi memang harus dipupuk sejak dini. Buku antikorupsi dapat menjadi alternatif yang baik dalam kampanye pemberantasan korupsi, khususnya terhadap para siswa di sekolah. Buku antikorupsi dapat menjadi panduan bagi siswa untuk mengetahui segala hal yang berkaitan dengan korupsi, seperti pengertian, penyebab, undang-undang korupsi, proses penanganan korupsi, dampak korupsi, dan sebagainya. Materi yang disajikan dalam buku antikorupsi tersebut tentunya harus disesuaikan dengan usia dan tingkat perkembangan anak didik.
Patut diakui, maraknya praktik korupsi saat ini akibat kegagalan sistem pendidikan kita dalam membentuk kepribadian, moralitas, dan mentalitas peserta didik. Penilaian pendidikan belum dilakukan secara komprehensif, masih fokus kepada ranah kognitif, sementara ranah afektif dan psikomotor belum diperhatikan dengan baik.
Penilaian hasil belajar siswa pun hanya berfokus pada hasil, bukan kepada proses.
Penanaman sikap antikorupsi di kalangan pelajar dapat dimulai dari hal yang sederhana. Misalnya, larangan untuk menyontek ketika ulangan, jujur ketika jajan di kantin, tidak menyalahgunakan uang SPP dari orang tua, mengajarkan hidup sederhana, dan sebagainya.
Munculnya buku antikorupsi dapat menjadi pelengkap dalam memberikan pendidikan budi pekerti, khususnya mental antikorupsi. Sebenarnya pendidikan budi pekerti diberikan dengan mengintegrasikannya dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang diajarkan, kegiatan pengembangan diri, dan kegiatan ekstrakurikuler, tetapi patut diakui hasilnya belum optimal.
Pendidikan budi pekerti dan ditambah adanya buku antikorupsi yang diberikan ke sekolah-sekolah, tidak akan terlalu efektif jika tidak ditunjang oleh pendidikan di keluarga dan masyarakat.
Sikap keluarga yang tidak peduli terhadap perkembangan anaknya dan gaya hidup masyarakat yang semakin materialistis dan hedonis, dapat menumbuhkan mental korupsi terhadap anak.
Oleh karena itu, hendaknya semua pihak bersinergi dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.***

Penulis, guru kewarganegaraan SMP Madani, Kec. Cihampelas, Kab. Bandung Barat.
(Tulisan ini dimuat di HU Pikiran Rakyat, tanggal 4 September 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar