Sabtu, 10 September 2011

REVITALISASI PENDIDIKAN PANCASILA


Pendidikan hakikatnya adalah upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan jasmani peserta didik. Dengan demikian, maka pendidikan merupakan proses yang komprehensif dan holistik dalam membentuk peserta didik baik dari sisi jasmani maupun rohaninya. Sisi jasmani diisi dengan sejumlah pengetahuan dan keterampilan sedangkan sisi rohani diisi dengan internalisasi nilai-nilai moral dan agama sehingga peserta didik menjadi cerdas, terampil, dan memiliki kepribadian yang baik (akhlaqul karimah).
Jika kita bandingkan hakikat pendidikan di atas dengan kondisi pendidikan Indonesia saat ini, dihadapkan pada sejumlah tantangan yang kompleks. Disamping pemenuhan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SPN). Tantangan pendidikan saat ini adalah krisis jati diri dan kebangsaan yang saat tercederai oleh sejumlah perilaku yang bertentangan dengan hakikat pendidikan tersebut.
Sebut saja berbagai tindakan destruktif, anarkis yang seolah menjadi pemandangan keseharian kita. Korupsi yang semakin merajalela, mafia hukum, kasus-kasus kekerasan berlatar belakang SARA, lunturnya budaya malu, kesenjangan sosial yang semakin menganga antara yang kaya dan miskin, dan berbagai penyakit sosial lainnya. Pandangan bahwa bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun sekarang sudah mulai pudar seiring dengan meningkatnya kasus-kasus kekerasan.
Suka atau tidak, hal-hal tersebut di atas disinyalir sebagai buah dari kegagalan sistem pendidikan nasional dalam membentuk manusia Indonesia menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur. Pendidikan Indonesia belum berhasil “memanusiakan manusia”. Pancasila yang seyogianya menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk di dalam implementasi pendidikan nasional saat ini kedudukannya dipertanyakan. Dimanakah Pancasila? Pancasila saat ini seolah terkubur oleh hingar bingar atau euforia reformasi dan demokrasi yang kebablasan. Nilai-nilai Pancasila menjadi sesuatu yang tidak terlalu menarik untuk digali atau dikembangkan khususnya di kalangan generasi muda. Bahkan, jangankan menggali nilai-nilainya, menyebutkan urutan sila-sila Pancasila saja ada yang sudah lupa.
Pancasila yang pada masa Orde Baru begitu disakralkan, pada masa reformasi ini justru hampir dilupakan. Orang cenderung relatif alergi berbicara tentang Pancasila. Membicarakan Pancasila dinilai sebagai topik yang tidak terlalu menarik. Dengan kata lain, Pancasila sudah mulai dilupakan dan ditinggalkan. Pancasila kini merana.
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa lahir seiring dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1945. Pancasila dijadikan sebagai dasar negara, ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia karena merupakan kritalisasi dari nilai-nilai budaya bangsa yang terbentuk sejak zaman kerajaan. Pancasila juga merupakan sumber dari sumber hukum di Indonesia. Berbagai aturan hukum yang dibuat harus berlandaskan kepada nilai dan jiwa Pancasila.
Proses perumusan Pancasila berawal pada rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 yang membahas tentang rumusan dasar negara, pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan sebuah pidato yang isinya tentang “Pancasila” (lima sila) sebagai dasar negara Indonesia yaitu (1) nasionalisme (kebangsaan Indonesia), (2) internasionalisme (perikemanusiaan), (3) mufakat (demokrasi), (4) kesejahteraan sosial, dan (5) Ketuhanan yang Maha Esa (Ketuhanan yang Berkebudayaan). Selanjutnya Beliau mengajukan Pancasila tersebut dapat disederhanakan menjadi “Trisila”, yaitu (1) sosio-nasionalisme yang merupakan sintesa dari kebangsaan (nasionalisme), (2) sosio demokrasi yang merupakan sintesa dari mufakat (demokrasi) dengan kesejahteraan  rakyat, dan (3) Ketuhanan yang Maha Esa. Adapun Trisila tersebut dapat disederhanakan menjadi “Ekasila” yaitu gotong royong. Menurut Soekarno, itulah dasar asli bangsa Indonesia. Berdasarkan  kepada pidato Ir. Soekarno tersebut, maka setiap tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila.
Beliau mengusulkan bahwa Pancasila adalah sebagai filsafat negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia atau “Philosophische grondslag”. Beliau juga sekaligus membandingkan Pancasila memiliki keunggulan dibandingkan dengan berbagai ideologi besar lainnya di dunia seperti liberalisme dan sosialisme-komunisme.
Dalam pembukaan UUD 1945 yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, rumusan Pancasila tercantum pada alinea IV yaitu; (1) Ketuhanan yang Maha Esa, (2) kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) persatuan Indonesia, (4) kerakyatatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan (5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 dan Inpres No. 12 tanggal 13 April 1968 menegaskan bahwa pengucapan, penulisan, dan rumusan Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia yang sah dan benar adalah sebagaimana yang tercantum Pembukaan UUD 1945.

45 Butir Pancasila
45 butir Pancasila merupakan penjabaran dari Pancasila. Secara lengkap 45 butir Pancasila adalah sebagai berikut:
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa
(1)   Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(2)   Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
(3)   Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(4)   Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(5)   Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
(6)   Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
(7)   Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

2.      Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
(1)      Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
(2)      Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
(3)      Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
(4)      Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
(5)      Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
(6)      Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
(7)      Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
(8)      Berani membela kebenaran dan keadilan.
(9)      Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
(10)  Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3.      Persatuan Indonesia
(1)      Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
(2)      Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
(3)      Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
(4)      Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
(5)      Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
(6)      Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
(7)      Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

4.      Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
(1)        Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
(2)        Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
(3)        Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
(4)        Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
(5)        Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
(6)        Dengan i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
(7)        Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
(8)        Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
(9)        Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
(10)    Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.
5.      Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
(1)     Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
(2)     Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
(3)     Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
(4)     Menghormati hak orang lain.
(5)     Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
(6)     Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain
(7)     Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
(8)     Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
(9)     Suka bekerja keras.
(10) Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
(11) Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Pada masa Orde Baru, 45 butir Pancasila tersebut menjadi hapalan wajib dan ditanyakan kepada siswa pada saat ulangan. Sayangnya, penakanan pemberian materi butir-butir Pancasila tersebut hanya bersifat hapalan (kognitif), tidak terlalu menyentuh hati (afektif) dan kurang dalam pengamalannya (psikomotor). Guru dengan ceramah berapi-api menyampaikan tentang pentingnya dan hebatnya Pancasila. Sementara siswa hanya duduk, dengar, dan diam saja. Oleh karena itu, bisa saja dalam sebuah ulangan menjawab sebuah pertanyaan yang memang secara normatif sesuai nilai-nilai Pancasila, tetapi kurang mamahami, menghayati, dan mengamalkannya.
Dalam Pasal 3 undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jika kita perhatikan fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut, dapat dilihat bahwa nilai-nilai Pancasila sudah menjiwainya. Hanya dalam pelaksaannya masih terjadi kesenjangan.
Dalam kurikulum pendidikan nasional saat ini, Pancasila tidak secara khusus dibelajarkan. Hanya dijadikan pokok bahasan pada mata pelajaran PKn dan itupun hanya pada jenjang kelas tertentu saja sementara pada mata pelajaran lainnya, hampir bisa dikatakan Pancasila tidak disebut-disebut. Hal ini mungkin disebabkan karena kekhawatiran Pancasila akan dijadikan sebagai alat indoktrinasi pemerintah atau penguasa. Padahal secara konseptual, patut diakui Pancasila memiliki nilai yang sangat mendalam. Pancasila adalah hasil perenungan tokoh-tokoh pendiri bangsa khususnya Soekarno. Secara substansi Pancasila sudah ada sejak zaman kerajaan di Nusantara dan secara formil disepakati sebagai dasar negara setelah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan secara eksplisit tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945.
Revitalisasi
Mengingat bahwa Pancasila dalam posisi yang terpinggirkan dalam pendidikan nasional dan di tengah bangsa Indonesia yang mengalami krisis identitas kebangsaan, penulis berpendapat bahwa mendesak untuk dilakukan revitalisasi pendidikan Pancasila. Tujuannya untuk mengembalikan Pancasila sebagai roh pendidikan dan roh kehidupan berbangsa dan bernegara. Revitalisasi pendidikan Pancasila bukan dalam artian menghidupkan semangat Orde Baru dengan P-4 nya karena Pancasila tidak terkait dengan rezim tertentu. Revitalisasi di sini maksudnya adalah menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai Pancasila akan selalu relevan selama negara ini berdiri. Sebagai negara yang terdiri dari suku bangsa yang majemuk, Pancasila dinilai sebagai ideologi terbaik bagi bangsa ini. Pancasila  berada diantara ideologi liberal yang sekuler dan komunis yang anti Tuhan (atheis). Pancasila-lah yang menyebabkan anak-anak bangsa mau bersatu membentuk NKRI. Dengan Pancasila, bangsa Indonesia menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar dalam membentuk sosok manusia yang adil dan beradab, sebagai sumber inspirasi untuk bersatu, menjadi landasan untuk musyawarah mufakat, dan mewujudkan keadilan sosial. Tetapi bukan berarti Pancasila harus dikultuskan. Nilai-nilai Pancasila juga perlu dikritisi dan digali untuk dikembangkan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Penulis berpedapat bahwa revitalisasi pendidikan Pancasila dapat dilakukan melalui beberapa cara. Yaitu, pertama, dengan mengintegrasikannya ke dalam semua mata pelajaran tak terkecuali pendidikan agama karena nilai-nilai Pendidikan Pancasila sejalan dengan nilai-nilai ajaran agama walaupun derajat nilai agama derajatnya pasti paling tinggi karena nilai-nilai ajaran agama (Islam) bersifat ilahiyah atau wahyu dari Allah SWT sedangkan Pancasila hanyalah hasil pemikiran (filsafat) tokoh-tokoh bangsa.
Kedua, melalui kegiatan upacara bendera, ekstrakurikuler, kegiatan OSIS, dan pembiasaan. Dalam artian Pancasila bukan hanya dibacakan saat upacara bendera hari Senin saja, tetapi yang paling penting adalah bagaimana peserta didik dapat menggali nilai-nilai Pancasila tersebut dan dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, membawa peserta didik ke dalam dunia nyata. Bagaimana mereka bisa melihat pengamalan Pancasila dalam kehidupan masyarakat. Pada saat melihat kehidupan nyata tersebut, mungkin saja peserta didik melihat ada kesenjangan antara Pancasila secara konseptual dengan pengamalannya di lapangan dan mencari solusi untuk mengatasi kesenjangan tersebut.
Keempat, merancang program aksi nyata peserta didik melalui kegiatan bakti sosial, ikut serta dalam kegiatan kemasyarakatan, kegiatan pemerintahan, mengunjungi tempat-tempat bersejarah, dan sebagainya. Kegiatan tersebut merupakan sarana bagi siswa untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila yang dipelajari di sekolah. Dengan kegiatan tersebut, peserta didik akan merasakan bahwa Pancasila itu indah jika dilaksanakan. Di sana ada toleransi, keberadaban, persatuan dan persatuan, musyawarah mufakat dalam mengambil keputusan, dan keadilan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.
Keteladanan
Dibalik cara-cara tersebut di atas, penulis melihat bahwa yang paling utama dari revitalisasi adalah perlu adanya contoh teladan dari para pemimpin dan guru. Mereka harus menjadi mental model  bagi peserta didik dan bagi rakyat pada umumnya. Berbagai krisis sosial dan krisis ideologi yang terjadi di kalangan masyarakat disamping karena rendahnya penghayatan terhadap nilai-nilai agama dan Pancasila, juga disebabkan karena tidak ada figur teladan. Apa yang diucapkan oleh para pemimpin tidak sesuai apa yang mereka lakukan. Misalnya, ajakan untuk hidup sederhana, tetapi mereka sendiri hidup mewah dan menghambur-hamburkan uang rakyat. Di saat para pemimpin menyuarakan pentingnya persatuan dan kesatuan di sisi lain mereka justru gontok-gontokan, berpecah belah, tidak mau bersatu, dan saling menjatuhkan karena konflik pribadi atau konflik politik yang berkepanjangan. Revitalisasi pendidikan Pancasila bukan hanya tugas kalangan pendidik saja, tetapi segenap elemen bangsa memiliki tanggung jawab yang sama untuk “menghidupkan” kembali Pancasila.

Penulis, Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar