Kamis, 29 September 2011


SEKOLAH BEBAS ROKOK, MUNGKINKAH?




Beberapa tahun silam pemerintah mencanangkan program “Sekolah Bebas Rokok dan Narkoba”. Program ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang bersih, sehat, berdisiplin, dan menyelamatkan generasi bangsa dari bahaya rokok dan narkoba. Pada awal program ini digulirkan, banyak sekolah yang mengampanyekannya dimana salah satu bentuknya adalah memasang spanduk bertuliskan “Sekolah Bebas Rokok dan Narkoba”. Sekarang program ini nyaris tak terdengar. Salah satu penyakit bangsa ini adalah kalau membuat program bersemangat di awal dan seiring perjalanan waktu biasanya semakin melempem. Kalau meminjam peribahasa sunda “rubuh-rubuh gedang”(baca = hanya bersifat temporer, tidak bertahan lama).

Siapapun (termasuk para perokok dan pengguna narkoba) pasti setuju bahwa program sekolah bebas rokok dan narkoba merupakan program yang sangat bagus dan perlu didukung oleh semua pihak, tapi dalam kenyataannya program tersebut hanya bagus di dalam konsep saja sementara dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Pada tulisan ini, penulis hanya akan memfokuskan pada masalah rokok saja karena penulis menilai bahwa para pendidik dan tenaga kependidikan (mayoritas kaum laki-laki), bahkan siswa pun masih banyak yang suka merokok di lingkungan sekolah. Sementara penggunaan narkoba dapat dikatakan jumlahnya relatif jauh di bawah jumlah perokok di sekolah. Hal ini disebabkan karena rokok bukan termasuk barang terlarang sementara narkoba termasuk barang terlarang dan penggunanya dapat dijerat oleh hukum.

Hasil survei The Tobacco Atlas 2005 menyebutkan bahwa jumlah perokok di Indonesia mencapai 60 juta orang dan jumlahnya diperkirakan akan semakin meningkat seiring bertambahnya para perokok baru. Usia perokok pun semakin muda. Dulu usia 18 tahun baru merokok, sekarang usia 10-12 tahun sudah coba-coba merokok. Walaupun terkesan hanya formalitas dan normatif saja, dalam bungkus rokok biasanya tercantum pesan “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin” dan “hanya untuk usia 18 tahun ke atas”. Pada kenyataannya, pesan-pesan tersebut hanya dibaca saja tidak banyak menggugah hati para pecandu atau yang coba-coba untuk merokok untuk berhenti atau menjauhi rokok. Rambu-rambu atau stiker dilarang merokok di tempat-tempat umum pun tidak berdaya menghadapi “egoisme” para perokok.

Pemerintah sebenarnya sudah membuat aturan hukum tentang larang merokok di tempat umum. Misalnya dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 tahun 2005 pasal 49 ayat (1) huruf v menyebutkan bahwa; “merokok di tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah), dan/atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Identitas Kependudukan lainnya, dan/atau pengumuman di media masa”. Aturan tersebut hanya menjadi macan kertas saja ketika banyak orang masih melanggarnya dan pemerintah tidak serius dalam menegakkan aturan hukum.
Semua pasti setuju bahwa merokok adalah kebiasaan yang kurang baik dan pemborosan. Madharatnya jauh lebih banyak daripada manfaatnya. Dr. H. Dadang Hawari mengatakan bahwa dalam rokok terdapat ribuan zat yang membahayakan tubuh dan yang paling banyak adalah nikotin. Nikotin adalah amfetamin yang dapat menyebabkan kecanduan. Oleh karena itu, orang yang sudah kecanduan rokok biasanya susah untuk berhenti. Ada mitos bahwa merokok adalah simbol kejantanan laki-laki. Banyak siswa yang terseret menjadi perokok sebagai bentuk solidaritas terhadap teman-temannya yang perokok dan untuk menjaga harga dirinya di depan teman-temannya. Ditemani secangkir kopi, rokok merupakan pasangan ideal ketika ngantuk, melamun, bekerja, nonton, atau ngobrol.


Jumlah penduduk Indonesia yang 250 juta lebih menjadi pasar yang potensial untuk industri rokok. Industri rokok pun menjadi salah satu penyumbang devisa negara terbesar negeri ini. Tampaknya menjadi hal yang tidak mungkin meminta pemerintah menutup pabrik rokok. Karena disamping penyumbang devisa negara, juga industri rokok banyak menyerap tenaga kerja. Meminta agar perokok berhenti tentu bukan suatu hal yang mudah. Upaya yang dapat dilakukan saat ini mungkin, mengurangi jumlah rokok yang dihisap, dan menekan jumlah perokok baru. Pelajar dan mahasiswa adalah subjek yang paling berpeluang menjadi para perokok baru.

Perlu Komitmen dan Keteladanan
Untuk mewujudkan sekolah yang bebas rokok, perlu komitmen dan keteladanan dari semua warga sekolah. Guru, walaupun dia seorang perokok upayakan agar dia tidak mengajar sambil merokok karena hal tersebut disamping dapat mengganggu siswa, juga mengurangi wibawa guru di hadapan siswa. Di ruang kantor pun, tidak semua guru adalah perokok, ada guru-guru yang bukan perokok. Asap rokok yang mengepul biasanya mengganggu orang lain sebagai perokok pasif. Bahkan salah satu hasil penelitian menyebutkan bahwa perokok pasif berisiko menderita penyakit pernafasan lebih tinggi dibandingkan perokok aktif.

Adalah hal yang kontraproduktif ketika guru meminta siswa untuk tidak merokok sementara dia sendiri adalah seorang perokok. Belum lagi kondisi di rumah dan lingkungan pergaulan siswa. Anak biasanya melihat orang tuanya merokok penasaran ingin mencoba rokok. Kebiasaan di masyarakat pun sangat menunjang dalam bertambahnya jumlah perokok. Misalnya dalam acara-acara syukuran, tahlilan, biasanya pemangku hajat memberikan rokok kepada undangan yang notabene masih anak-anak.

Idealnya sekolah harus bebas rokok, tapi tampaknya harapan tersebut hanya sebuah utopis belaka. Ketika suasana tersebut belum dapat terwujud perlu dikembangkan sikap toleransi, saling menghargai, dan kesungguhan dari semua warga sekolah. Bagi yang sulit menghilangkan kebiasaan merokok, ketika sudah tidak tahan ingin merokok, cari tempat dimana kepulan asap rokok tidak mengganggu orang-orang di sekitarnya dan tidak melakukannya di hadapan siswa karena dapat menurunkan wibawa guru. Pada hakikatnya, kebiasaan merokok di tempat umum (termasuk sekolah) bukan hanya pelanggaran terhadap hukum tetapi juga melanggar etika.

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar