Minggu, 11 September 2011

JIHAD INTELEKTUAL

“Tinta seorang sarjana (intelektual) lebih mulia dari darah seorang martir (syuhada).” (Hadits Rasulullah SAW)

Indonesia tampaknya tidak pernah sepi dari teror bom. Teror demi teror bom silih berganti mengancam negeri tercinta ini. Walaupun para pentolan teroris telah banyak yang dihukum mati, tewas, atau ditangkap dan sedang menjalani proses hukum, tetapi ibarat pribahasa “patah hilang tumbuh berganti” para pelaku baik yang masih ada kaitannya dengan kelompok lama atau yang disinyalir sebagai kelompok baru terus menyebarkan rasa tidak aman di tengah masyarakat dan menganggu stabilitas nasional.
Setelah kasus bom bunuh diri di Cirebon beberapa waktu yang lalu, Polri menangkap 19 orang yang diduga berkaitan dengan teror bom buku dan penemuan bom di Gading Serpong Tangerang. Teror ini bertujuan untuk merusak objek vital berupa pipa gas Perusahaan Gas Negara (PGN) dan gereja Cathedral Christ sehingga dapat menganggu hajat hidup orang banyak karena kaitannya dengan bahan bakar gas yang saat ini banyak digunakan masyarakat dan mengadu domba antarumat beragama.
Ada hal yang menarik dari penangkapan para tersangka pelaku teror bom tersebut, yaitu mereka adalah kelompok terpelajar. Secara sederhana, teror adalah adalah perilaku yang tidak rasional, emosional, dan irasional. Teror muncul sebagai bentuk perlawanan atau sebagai bentuk keputusasaan dari sebuah ketidakadilan yang dihadapi. Ini bertentangan dengan pola pikir dengan kaum intelektual yang diidentikkan dengan pola pikir yang rasional, lebih mengedepankan akal sehat dan pikiran yang jernih dalam memutuskan sesuatu.
Sebuah hasil penelitian dari Chicago University Amerika Serikat menyebutkan bahwa 98% pelaku teror berasal dari kalangan terpelajar (mahasiswa dan sarjana) dan pada umumnya adalah lulusan fakultas teknik. Hal ini membantah image bahwa pelaku bom adalah berasal dari kalangan pesantren. Penyebabnya adalah disamping karena masalah ideologi, pemahaman Islam yang salah kaprah, juga berkaitan dengan frustasi sosial, dimana mereka berpendidikan tinggi, tetapi tidak memiliki pekerjaan yang sesuai dengan latar belkang pendidikan mereka. Di negara-negara makmur, seperti Malaysia teorisme tidak marak karena masyarakatnya sejahtera sehingga doktor Azahari dan Noordin M. Top memilih menyebarkan faham terorismenya di Indonesia karena mereka menilai banyaknya masyarakat yang miskin dan frustasi merupakan lahan yang empuk untuk menumbuhkan benih-benih terorisme.
Berkaitan dengan masalah ideologi, motif para pelaku teror itu dilandasi oleh “Jihad”. Jihad melawan sebuah sistem negara yang menurut mereka thagut dan“kafir” karena tidak berlandaskan kepada syari’at Islam. Mereka kecewa dengan pemerintah Indonesia yang tunduk terhadap kepentingan asing sehingga kekayaan alam Indonesia lebih banyak dinikmati oleh pihak asing sedangkan rakyat Indonesia banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka pun ingin menggantikan ideologi negara Pancasila dengan syariat Islam.
Mereka mengutip “ayat-ayat jihad” dalam Al-Qur’an dan menafsirkannya secara salah kaprah. Dalam pandangan mereka, jihad diidentikkan sebagai perang suci (holy war) memerangi pemerintah yang kafir. Tetapi dalam kenyataannya, teror yang mereka lakukan banyak memakan korban masyarakat yang tidak berdosa. Ada seorang istri yang kehilangan suami yang menjadi tulang punggung keluarga. Ada anak yang menjadi anak yatim karena kehilangan seorang ayah yang dicintainya, ada seorang yang tadinya bisa bekerja mencari nafkah kini mengalami cacat permanen. Apa yang dilakukan oleh oleh teroris tersebut justru bertentangan dengan ajaran Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai agama yang cinta damai dan menjadi rahmatan lil’alamiin.
Ziauddin Sardar (1998: 20) berpendapat  bahwa istilah perang suci (holy war) mengandung konotasi seakan-akan perbuatan tersebut dilakukan oleh orang-orang fanatik dan irasional yang ingin memaksakan pandangan-pandangannya kepada orang lain. Pada kenyataannya jihad, tak ada hubungannya dengan fanatisme atau pendirian negara Islam. Orang tidak dapat membujuk orang lain untuk menerima Islam melalui perbuatan-perbuatan irasional dan kekerasan, sebab jika itu dilakukan, maka ini berarti mengesampingkan salah satu dasar ajaran Al-Qu’an yaitu “tak ada paksaan dalam beragama”.
Jihad yang dalam bahasa arabnya juhd secara sederhana dapat diartikan kesungguh-sungguhan dalam mengerjakan sesuatu. Ketika seseorang sungguh-sungguh dalam belajar dan bekerja, hal itu bisa disebut jihad. Belajar dan bekerja jika dilakukan niat karena Allah, dapat bernilai ibadah. Seorang suami yang sungguh mencari nafkah untuk keluarganya, itu dapat disebut jihad. Seorang pelajar yang belajar secara sungguh-sungguh, itupun termasuk jihad.  Jihad tidak selalu identik dengan perang mengangkat senjata. Indonesia tidak dalam keadaan darurat perang atau sedang menghadapi agresi militer pihak asing. Jihad mengangkat senjata masih relevan jika dilakukan di negara Islam yang terjajah seperti Palestina yang sampai dengan saat ini dijajah Israel.
Ziauddin Sardar (1998:21) berpendapat bahwa jihad adalah suatu usaha, suatu perjuangan untuk keadilan dan kebenaran. Para ulama membagi jihad ini ke dalam tiga kategori, yaitu, pertama, dengan jihad dengan hati, kedua jihad dengan lisan, dan ketiga jihad dengan perbuatan atau harta.
Allah SWT memerintahkan kita untuk melakukan amar makruf nahyi munkar tetapi perlu dilakukan dengan cara-cara yang baik dan contoh teladan. Dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 104 Allah SWT berfirman “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan sebuah kemungkaran, hendaklah ia merubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu maka hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Dan jika ia belum juga sanggup, maka hendaklah ia membencinya didalam hati; yang demikian itulah serendah-rendahnya iman.”. Rasulullah SAW pun berpesan kepada kita sebenar-benarnya jihad adalah jihad melawan hawa nafsu.
Perang Pemikiran
Dalam konteks Indonesia, penulis berpendapat bahwa jihad dengan menyebar terror bom atau memanggul senjata sangat tidak tepat. Jihad yang diperlukan saat ini adalah jihad intelektual atau jihad pemikiran. Sebagaimana diketahui bahwa masaah mendasar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan ketidakadilan. Oleh karena itu, para intelektual Islam sudah seyogianya berjihad bersama pemerintah menyumbangkan tenaga dan pikirannya berupaya memberantas masalah-masalah tersebut agar tujuan pembangunan nasional tercapai. Masyarakat akan sangat menghargai usaha-usaha tersebut dibandingkan dengan melakukan teror yang justru akan melahirkan antipati dari masyarakat.
Demikian juga di tengah serbuan faham dan ideologi neo-liberal yang menyebabkan terjadinya degradasi kepribadian moral bangsa, para intelektual Islam seyogianya melakukan perang pemikiran (ghazwul fikri) untuk menangkal dampak buruk globalisasi tersebut bukannya mencekoki para generasi muda Islam dengan fatwa-fatwa jihad yang salah kaprah. Rasulullah SAW juga berpesan tentang pentingnya jihad intelektual ini. Dalam sebuah hadits Beliau bersabda bahwa “Tinta seorang sarjana (intelektual) lebih mulia dari darah seorang martir (syuhada).” Hal itu menandakan bahwa berjihad dengan pikiran atau tulisan lebih bermanfaat dibandingkan jihad dengan cara berperang. Wallahu a’lam.

Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar