Minggu, 11 September 2011

NASIONALISME DI TENGAH PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CINA


Perdagangan bebas Asean-Cina / Asean-Cina Free Trade Agreement (ACFTA) yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2010 banyak menuai penentangan dari kalangan industri dan buruh. Berlakunya ACFTA dikhawatirkan akan merusak perekonomian dalam negeri dan PHK besar-besaran terhadap buruh. Melimpahnya produk-produk Cina ke Indonesia dikhawatirkan akan merusak pasar dalam negeri karena harganya lebih murah mengalahkan produk lokal yang harganya lebih mahal. Akibat kalahnya produk lokal oleh produk Cina, maka potensi PHK pun tidak bisa dielakkan. Jika PHK massal terjadi, maka angka pengangguran akan semakin tinggi. Itulah asumsi yang dimunculkan oleh sejumlah ekonom dalam pendapatnya pada diskusi-diskusi dan sejumlah media.
Kegagapan kalangan industri menghadapi ACFTA sebagai bukti bahwa mereka tidak mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya jauh-jauh hari sebelum ACFTA diberlakukan. Padahal ACFTA telah ditandatangani sejak tahun 2002. Berarti ada waktu yang  relatif cukup untuk mempersiapkan diri. Sejumlah kalangan menilai Pemerintah tidak serius dalam mengantisipasi ACFTA. Hal ini dapat dilihat dari relatif kurangnya supporting pemerintah dalam pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai jantung perekonomian nasional.
Jauh-jauh hari sebelum ACFTA diberlakukan, kita sudah terbiasa atau akrab dengan produk-produk Cina seperti alat-alat elektronik, otomotif, alat-alat rumah tangga, kosmetik, buah-buahan, makanan, minuman, permen, dan mainan anak-anak. Bahkan, produk-produk tekstil Cina pun ramai-ramai membanjiri Indonesia sehingga keberadannya mengancam produk tekstil lokal.
Masyarakat juga tampaknya justru senang membeli atau menggunakan produk Cina karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan dengan produk lokal. Masyarakat tidak terlalu peduli dengan kualitas dan resiko dari barang buatan Cina tersebut, yang penting harganya murah dan terjangkau. Beberapa waktu yang lalu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengumumkan bahwa beberapa produk makanan, minuman, dan kosmetik asal Cina mengandung bahan-bahan berbahaya seperti melamin, formalin, dan zat-zat berbahaya lainnya. Oleh karena itu, masyarakat dihimbau untuk tidak meggunakan produk tersebut. Sejenak masyarakat berhenti mengonsumsi dan menggunakan barang-barang tersebut, tetapi kemudian menggunakan kembali produk Cina karena tergiur harganya yang murah meriah.
Murahnya harga berbagai produk Cina juga mampu menyaingi produk-produk yang sudah mapan. Misalnya, kemunculan HP-HP Cina mampu menyaingi produsen-produsen HP yang sudah mapan seperti Nokia, Sony Ericsson, Samsung, Motorola, dan LG. Dalam produk sepeda motor pun, mereka mencoba menyaingi pabrikan Jepang seperti Honda, Yamaha, Suzuki, dan Kawasaki.
Cina telah menjelma menjadi raksasa ekonomi Asia bahkan dunia. Kebangkitan ekonomi Cina juga diprediksikan mampu menyaingi Jepang dan Amerika Serikat. Keberhasilan ekonomi Cina didapatkan bukan dalam waktu sesaat, tetapi mereka terus bekerja keras untuk terus produktif dan inovatif menghasilkan barang-barang. Orang-orang Cina memang dikenal memiliki mental dagang yang luar biasa. Mereka tersebar di hampir seluruh belahan dunia dengan profesi yang hampir sama yaitu berdagang. Bahkan jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka pun, orang-orang Cina telah banyak datang ke Indonesia. Saat ini, orang-orang Cina banyak yang memiliki usaha besar bahkan menjadi konglomerat di Indonesia.
Globalisasi
Menurut penulis, ACFTA adalah konsekuensi dari globalisasi dalam bidang ekonomi. Sebagian kalangan menilai bahwa ACFTA adalah bentuk neoliberalisasi ekonomi. Globalisasi tak dapat dibendung. Globalisasi telah merubah pola pikir dan pola hidup masyarakat. Globalisasi juga telah merubah budaya masyarakat. Media informasi dan komunikasi memberikan kontribusi yang besar dalam menyebarkan hegemoni globalisasi. Dampak dari globaliasi, bukan hanya informasi yang dengan mudah didistribusikan dari satu sumber ke sumber yang lain, tetapi barang-barang pun sudah merambah dari satu negara ke negara yang lain melalui kegiatan eksport-import atau melalui jalan ilegal berupa penyelundupan.
Nasionalisme
ACFTA telah terlanjur diberlakukan. Dibalik penentangan yang saat ini banyak terjadi, hal yang perlu diperhatikan adalah penguatan ekonomi nasional jangan sampai kalah bersaing dengan produk-produk Cina. Selain itu, dalam konteks kebangsaan, kita harus menanamkan rasa cinta terhadap produk dalam negeri dalam artian menggunakan dan mengonsumsi produk dalam negeri.
Kampanye cinta produk dalam negeri juga perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas produk karena masyarakat tidak bisa dipaksa untuk mengonsumsi atau menggunakan produk dalam negeri jika kualitasnya rendah. Masyarakat pun tidak dapat dilarang menggunakan produk Cina jika kualitasnya bagus dan harganya lebih murah dibandingkan dengan produk Cina. Oleh karena itu, peningkatan daya saing produk menjadi hal yang mutak harus dilakukan oeh para pengusaha. Biasanya, kualitas barang yang bagus berbandung lurus dengan harga yang mahal. Jika barang mahal, maka masyarakat pun berpikir ulang untuk membeli. Oleh karena itu, pemerintah pun perlu membuat regulasi yang mendukung terhadap peningkatan kualitas produk lokal. Misalnya dengan memberikan keringanan pajak bagi industri dan membantu pengusaha dalam menekan mahalnya biaya produksi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pilihan masyarakat untuk menggunakan produk luar negeri disamping karena harga murah seperti produk-produk Cina, juga adanya kepercayaan terhadap kualitas terhadap produk-produk branded dari luar negeri walaupun harganya mahal. Bahkan, bagi kalangan berduit mereka belanja atau berobat pun ke luar negeri. Hal tersebut menjadi bukti bahwa sebagian masyarakat lebih percaya terhadap kualitas barang dan pelayanan di luar negeri.
Mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla, pernah mengatakan bahwa dengan banyaknya orang Indonesia yang berobat ke luar negeri, uang yang harusnya menjadi devisa negeri sendiri justru menjadi devisa negara lain. Hal tersebut merupakan kerugian bagi negara kita. Di tengah kerasnya persaingan pada perdagangan bebas saat ini, nampaknya menggelorakan rasa nasionalisme, walaupun bukan jalan yang paling mujarab tetapi minimal menjadi penyemangat bagi bangsa kita bahwa kita harus memiliki jati diri, cinta dan bangga terhadap produk negeri sendiri. Anak-anak bangsa harus berkarya dan terus berkarya menghasilkan yang terbaik bagi kejayaan dan kebesaran bangsa Indonesia.

Penulis, Praktisi Pendidikan, Pegawai LPMP Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar