Sabtu, 10 September 2011

PEMBANGUNAN DAN PENDIDIKAN KARAKTER

Pada sambutan memperingati HUT RI ke-65 tanggal 17 Agustus 2010, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Mohammad Nuh mengingatkan tentang pentingnya pembangunan dan pendidikan karakter. Hal ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran berkaitan dengan kondisi karakter bangsa kita saat ini. Karakter bangsa yang saat muncul justru banyak yang bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi dan landasan filosofi bangsa, 
yaitu karaker yang lebih banyak mencontoh ideologi liberal dan sekuler.

Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang memiliki karakter gotong royong, kekeluargaan, toleran, ramah, sopan, dan santun kini lambat laun mulai bergeser menjadi bangsa yang individualistis, materialistis, dan hedonis. Berbagai perilaku menyimpang yang bertentangan dengan norma dan etika dengan mudah kita jumpai. Perilaku menyimpang tersebut dilakukan secara sadar, dianggap sebagai sebuah gaya hidup atau kebiasaan yang dianggap lumrah dan bisa diterima oleh masyarakat khususnya kalangan generasi muda. Hampir setiap hari kita melihat berita atau tayangan kekerasan dan anarkisme di media massa. Kekerasan menjadi akrab dalam kehidupan bangsa kita saat ini. Anak-anak bangsa ini menjadi mudah marah, suka memaksakan kehendak, melampiaskan emosi dengan cara destruktif.
Persatuan dan kesatuan bangsa juga saat ini semakin terkikis. Konflik horizontal berbau SARA mudah sekali terpicu oleh hal-hal yang sederhana atau disebabkan oleh salah pengertian (miskomunikasi). Primordialisme kelompok melahirkan solidaritas sempit dimana hanya anggota-anggota kelompok saja-lah yang dibela sedangkan kelompok yang lain dibiarkan walaupun butuh bantuan. Selain itu, primordialisme kelompok yang salah kaprah juga melahirkan aksi-aksi kekerasan antarkelompok. Kesenjangan sosial saat ini juga memunculkan potensi disintegrsi bangsa.
Arus globalisasi pun tak pelak mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Sebagai bagian dari warga global, bangsa Indonesia memang tidak dapat menghindar dari globalisasi karena sejatinya globalisasi bukan untuk dihindari, tetapi untuk dihadapi. Selain banyak dampak positif dari globalisasi, dampak negatifnya juga banyak merasuki masyarakat utamanya kalangan generasi muda. Modernisasi suka diartikan sebagai westernisasi, padahal antara modernisasi dan westernisasi adalah dua hal yang berbeda. Modernisasi berkaitan dengan pola pikir yang lebih moderen untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, sedangkan westernisasi adalah dicontohnya budaya-budaya barat walaupun tidak sesuai dengan Pancasila, kepribadian bangsa, norma, dan etika.
Karakter generasi muda kita saat ini juga terus digerogoti oleh berbagai penyakit moral seperti pergaulan bebas, penyalahgunaan narkotika, tawuran, kenakalan remaja, budaya instan dalam mencapai sukses, tidak mau kerja keras, melakukan penjiplakan karya cipta (plagiarisme), dan sebagainya. Berbagai hal tersebut tentunya akan menjadi bom waktu ketika tidak ditangani dengan serius. Oleh karena itu, Mendiknas mengingatkan tentang pentingnya pendidikan karakter untuk menyelamatkan karakter bangsa dari kehancuran. Kegundahan serupa bukan hanya disampaikan oleh Mendiknas. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam sambutan atau pidato juga menyampaikan keresahannya tentang menurunnya karakter bangsa. Beliau meminta kepada semua pihak terkait untuk bahu membahu mendidik karakter masyarakat agar tetap memiliki jiwa Pancasila dan menghormati norma dan etika yang berlaku di masyarakat.
Urgensi Pendidikan Karakter
Secara sosial, kultural masyarakat kita saat ini memang semakin mengkawatirkan. Dunia pendidikan pun tidak steril dari kemerosotan karakter. Pendidikan karakter menjadi semakin mendesak ntuk diterapkan dalam lembaga pendidikan kita mengigat berbagai macam perilaku yang non-edukatif kini telah merambah dalam lembaga pendidikan kita. Antara lain, kecurangan pada saat Ujian Nasional (UN), kekerasan (bulying) yang dilakukan oleh guru kepada murid,  sesama murid, bahkan murid terhadap guru. Pelecehan seksual, korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), serta perbuatan tidak terpuji lainnya.
Kekerasan menjadi satu kata yang akrab di telinga kita. Kekerasan terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kekerasan menjadi solusi ketika menyelesaikan pemasalahan di masyarakat. Kekerasan juga kadang kala menjadi cara negara dalam menghadapi masyarakatnya sendiri sehingga menyebabkan pelanggaran HAM. Dalam kondisi banyak masyarakat yang hidup susah dan miskin, merasa diperlakukan tidak adil, dan putus asa, mereka mudah sekali terpancing atau terprovokasi melakukan kekerasan.
Kemerosotan karakter pun dapat kita lihat dengan mudah di jalan raya. Hampir semua pengguna jalan raya melakukan pelanggaran. Para pengendara kendaraan bermotor saling serobot, mengendarai kendaraan secara ugal-ugalan, dan melanggar rambu-rambu lalulintas. Kemacetan menyebabkan para pengendara kendaraan bermotor stress dan emosinya gampang naik. Pejalan kaki seenaknya menyeberang jalan, tidak menggunakan jembatan penyeberangan atau zebra cross. Trotoar yang seharusnya untuk pejalan kaki, dibajak oleh para Pedagang Kaki Lima (PKL). Bahkan bukan hanya trotoar, badan jalan pun dipakai berjualan sehingga jalan yang sudah macet tersebut semakin semrawut karena ketidakdisiplinan pengguna jalan. Dengan kata lain, kesemrawutan di jalan raya menjadi salah satu potret atau indikator lunturnya karakter bangsa.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka pendidikan karakter menjadi semakin urgen untuk dilaksanakan. Pendidikan karakter memiliki tujuan terutama menumbuhkan seorang individu menjadi pribadi yang memiliki integritas moral, bukan hanya sebagai individu tetapi juga bagian dari masyarakat. Penulis berpendapat bahwa muatan dari pendidikan karakter adalah nilai-nilai agama, norma, etika, dan moralitas dengan nilai agama menjadi nilai utama karena nilai agama didalamnya sudah mengatur norma, etika, dan moralitas.
Walaupun demikian, seseorang tahu nilai-nilai agama belum tentu memiliki karakter yang baik. Banyak pelaku korupsi adalah mereka yang sudah pergi haji, tahu banyak tentang agama, dan berasal dari kalangan intelektual. Ternyata hanya tahu agama saja tidak menjadi benteng seseorang dari perbuatan menyimpang. Agama bukan hanya sekedar diketahui, tetapi harus difahami, dihayati, dan diamalkan.
Aturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah hanyalah menjadi instrumen (alat) untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam konteks hubungan antara negara atau pemerintah dengan masyarakat. Negara kita terkenal sebagai negara yang pandai membuat peraturan perundang-undangan  tetapi tidak pandai melaksanakannya. Dalam satu tahun ratusan peraturan perundang-undangan disahkan atau diterbitkan oleh pemerintah, tetapi hasilnya tidak seindah sebagaimana yang tertera di atas kertas. Di lingkungan masyarakat kita terkenal adagium yang menyebutkan bahwa aturan dibuat untuk dilanggar. Oleh karena itu, jika seseorang yang telah mampu memahami, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai agama, maka dengan sendirinya dia akan menjadi warga negara yang baik, taat terhadap peraturan perundang-undangan, demokratis, toleran, menghormati perbedaan. Dengan kata lain, dia menjadi warga negara yang berkarakter.
Contoh sederhana, kita tercengang dengan Mbah Waras, seorang yang tidak pernah sekolah, tidak bisa berbahasa Indonesia, tapi dapat memberi contoh teladan karakter yang baik dalam berbuat jujur. Ceritanya berawal dari pembagian ganti rugi dari PT. Lapindo untuk korban lumpurnya. Ganti rugi untuk keluarga Mbah Waras ditetapkan Rp. 285 juta. Pembayaran pertama diberikan 20%, jadi uang yang diterima sementara adalah Rp. 56 juta. Namun apa yang terjadi ? Rekeningnya membengkak menjadi 429 juta!, Mbah Waras malah kebingungan lalu melaporkan hal itu kepada pendamping yang kemudian bersama-sama ke kantor Lapindo. Dalam acara news dotcom di metro TV, ketika ditanya apa yang mendasari Mbah Waras mengembalikan uang ratusan juta itu? Jawabnya dengan lugu dan dalam bahasa Jawa (karena dia tidak bisa bahasa): "Kulo wedi dosa, Pak, niku sanes hak kulo." ("Saya takut dosa, Pak, itu bukan hak saya"). Luar biasa. Mbah Waras yang bukan orang sekolahan, bukan pejabat yang mengemban amanah rakyat, tapi dia lebih punya hati nurani daripada kebanyakan pejabat saat ini yang didominasi mental korup. Apalagi nama-nama pembohong rakyat alias koruptor, adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi, bahkan ada yang bertitel ulama. Mbah Waras adalah orang yang tidak berpendidikan dan bukan tooh agama yang tahu banyak tentang agama, tetapi tidak takut dosa dan takut terhadap adab Allah. Andaikan pemikiran semua pemimpin dan semua anak bangsa seperti Mbah Waras, Indonesia telah menjelma menjadi negara yang adil, makmur, sejahtera, bebas korupsi, dan mendapat dalam ridho Allah.
Karakter manusia ibarat “ruh” dari manusia, jika karakternya tidak benar, maka perilakunya juga tidak benar. Mendiknas Mohammad Nuh dalam sambutan HUT RI ke-65 mengatakan bahwa bahwa dalam jasad manusia terdapat empat unsur, masing-masing terdiridari hati, pikir, rasa, dan raga atau badan. Dalam pendidikan karakter keempat hal itulah yang akan diisi. Sangat banyak karakter yang bisa dikembangkan melalui empat unsur tersebut, tetapi Kemdiknas pada tahap awal hanya mengembangkan beberapa karakter.
Pada unsur hati, akan dikembangkan karakter jujur dan bertanggung jawab. Pada unsur pikir akan dikembangkan karakter cerdas dan kreatif. Pada unsur rasa akan dikembangkan karakter peduli dan suka menolong. Dan pada unsur badan akan dikembangkan karakter bersih dan disiplin. Jika kita mau objektif, beberapa karakter tersebut sebenanya sudah dijarkan melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama, tetapi mungkin pelaksanaanya tidak terlalu optimal. Selain itu, pendidikan karakter tersebut hanya disampaikan secara teoritis sedangkan pengamalannya kurang. Akibatnya, pendidikan karakter tidak mencapai tujuan yang diharapkan.
Keteladanan
Pendidikan karakter yang dilaksanakan di baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara umum tidak akan berhasil tanpa ada keteladanan. Di rumah, orang tua pelu memberikan teladanan. Ketika orang tua menyuruh anaknya shalat, orang tua terlebih dahulu orang tuanya harus shalat. Ketika melarang anak merokok, maka orang tua pun jangan merokok. Di sekolah, para personil sekolah seperti Kepala Sekolah, guru, staf TU, penjaga sekolah, dan satpam perlu membeikan teladanan. Ketika menyuruh siswa untuk tepat waktu, maka terlebih dahulu para personil sekolah tersebut harus tepat waktu. Di lingkungan kerja, seorang pimpinan perlu memberikan teladanan kepada anak buahnya. Di lingkungan masyarakat, pemimpin atau tokoh masyarakat juga perlu memberikan teladanan. Ketika meminta masyarakat untuk hidup sederhana, para pemimpin tersebut terlebih dahulu harus mempraktekkan pola hidup sederhana.
Kegagalan pendidikan karakter disebabkan karena kurangnya keteladanan. Walaupun berbagai teori tentang karakter atau budi pekerti yang baik disampaikan kepada anak atau siswa, hal tersebut menjadi kontraproduktif karena siswa tidak melihat sosok atau figur yang menjadi teladan. Sebuah ungkapan bijak mengatakan bahwa “satu perbuatan lebih bermakna daripada seribu kata-kata”. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa mendidik karakter dengan perbuatan akan jauh lebih efektif dibandingkan dengan kata-kata. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang hanya berkutat pada tataran teori sementara prakteknya kurang atau tidak ada hanya akan menjadi wacana indah dan hanya bagus di atas kertas saja sedangkan kenyatannya jauh dari harapan.
Pendidikan Karakter di Sekolah
Selian keluarga dan masyarakat, sekolah diharapkan menjadi pusat pendidikan karakter pendidikan di sekolah berorietasi membentuk setiap siswa untuk menjadi manusia yang memiliki integritas. Dimensi dari integritas tersebut dapat tercermin sikap dan perilaku yang dikembangkan oleh Kemdiknas  seperti jujur, tanggung jawab, cerdas, kreatif, peduli, suka menolong, bersih, dan disiplin.
Integritas nampaknya menjadi satu kata yang mudah dikatakan tetapi sulit untuk dilaksanakan ditemukan. Banyak orang kemampuan intelektualnya tinggi tetapi tidak memiliki integritas. Di lingkungan kerja begitu banyak godaan yang bisa meruntuhkan integritas atau idealisme seseorang. Seseorang yang tidak kuat mempertahankan idealisme dan integritasnya, akan ikut hanyut di dalam sistem yang rusak atau korup. Misalnya, saat ini Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) tengah melakukan seleksi ketua yang baru. Ratusan orang mendaftar tetapi sulit sekali hanya untuk memilih satu orang ketua karena untuk menjadi ketua KPK bukan hanya diperlukan profesionalisme, kompetensi, dan keberanian. Yang paling penting adalah memiliki integritas, tahan terhadap berbagai godaan. Ibaratnya, KPK saat ini membutuhkan manusia berjiwa malaikat.
Penulis berendapat bahwa, mengingat kurikulum yang sudah padat, Pendidikan karakter di sekolah tentunya tidak menjadi satu mata pelajaran khusus, tetapi diintegrasikan kedalam berbagai mata pelajaran.  Penulis melihat bahwa pada setiap mata pelajaran dapat disisipkan nilai-nilai karakter, asal guru kreatif dan jeli dalam memetakan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar  (KD) dengan nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan.
Selain diintegrasikan pada mata pelajaran, pendidikan karakter juga bisa dilaksanakan melalui progam Muatan Lokal (mulok), kegiatan pengembangan diri, kegiatan ekstrakurikuler, pendirian kantin kejujuran, dan sebagainya. Dan (kembali) yang paling penting adalah keteladanan dari pada personil pengelola sekolah (Kepala Sekolah, guru, staf TU, penjaga sekolah, satpam, dan sebagainya). Apa yang dilakukan atau diucapkan oleh mereka, akan menjadi suatu pelajaran yang membekas di hati siswa seumur hidupnya. Koesoema berpendapat bahwa pendidikan karakter apapun yang diterapkan di dalam sekolah akan mandul, sebab tidak memiliki jiwa dan semangat yang dihayati oleh para pelaku di lembaga pendidikan itu sendiri.
Di satu sisi sekolah diharapkan menjadi laboratorium pendidikan karakter, tetapi di sisi lain, di sekolah juga banyak terjadi persitiwa yang kurang menunjang atau bahkan merusak pendidikan karakter seperti fenomena kekerasan, pelecehan seksual, lingkungan sekolah yang kotor dan sebagainya. Hal sederhana yang juga kadang kala tidak kita sadari merusak pendidikan karakter di sekolah adalah budaya mencontek ketika ulangan, kecurangan ketika Ujian Nasional (UN), atau budaya copy-paste. Kalangan pendidik pun diakui atau tidak banyak yang menyukai budaya copy-paste dengan alasan kepraktisan. Misalnya, ketika membuat administrasi guru, Karya Tulis Ilmiah (KTI) untuk kepentingan sertifikasi atau naik golongan (bagi PNS).
Kita berharap sekolah memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk karakter siswa dalam upaya mencapai tujuan pendidikan nasional, tetapi sebelumnya sekolah dalam artian program, sarana, dan karakter para pengelolannya harus dikondisikan untuk mendukung pelaksanaan pendidikan karakter tersebut. Tanpa dikondisikan dengan baik, pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah hasilnya tidak akan optimal.
Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah juga harus perlu disertai dengan pengawasan dan perlu dimasukkan ke dalam salah satu unsur penilaian. Seorang siswa yang berprestasi bukan hanya dinilai dari angka-angka bagus yang dicapainya pada saat ulangan, tetapi karakternya di sekolah pun perlu dijadikan patokan dalam pemberian nilai atau meluluskan siswa. Tidak tentunya tidak menginginkan siswa pandai secara akademik tetapi karakternya buruk.
Indikator keberhasilan pendidikan karakter adalah munculnya siswa-siswa yang berkarakter dan berimplikasi terhadap terwujudnya warga negara yang baik. Warga negara yang baik tentunya akan memiliki tanggung jawab dalam membangun bangsa ini sesuai dengan profesi dan kemampuannya masing-masing. Sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, warga negara yang berkatakter adalah warga negara yang Berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa, mengutamakan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan setiap persoalan, dan mengedepankan keadilan dan kesejahteraan.
Pendidikan Karakter dan Masyarakat Madani
Salah satu cita-cita reformasi adalah mewujudkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat madani (civil society). Masyarakat madani adalah masyarakat yang mencintai perdamaian, demokratis, menghormati perbedaan (fluralisme), toleran, menghormati dan melindungi hak-hak kaum minoritas. Konsep masyarakat madani terispirasi oleh Piagam Madinah yang dibuat oleh Rasulullah Muhammad SAW ketika beliau beserta para sahabatnya hijrah dari Mekkah ke Madinah. Di madinah, Beliau berhasil melakukan reformasi dan melakukan perubahan pola pikir masyarakat jahiliyah, mempersatukan antara kaum anshor dan kaum muhajirin, serta melindungi dan menghormati hak-hak kaum Yahudi. Hubungan antar negara dengan warga negara dan hubungan sesama warga negara diatur dalam Piagam Madinah. Madinah menjelma menjelma menjadi kota yang sangat aman bagi semua pihak.
Jika kita kaitkan dengan kondisi Indonesia saat ini, tentu kita sangat prihatin karena dihiasi dengan kekerasan, rasa aman dan nyaman menjadi suatu hal yang mahal. Dikala pemerintah belum bsa mewujudkan rasa aman bagi masyarakatnya, sebagian orang bersedia mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk menyewa pengamanan swasta atau body guard. Kekerasan telah menjadi budaya. Suka atau tidak, itulah kenyataan negeri kita saat ini. sila-sla Pancasila hanyalah menjadi naskah yang menempel di dinding kantor, ruang kelas, atau dibaca pada saat upacara bendera saja sedangkan pengamalannya masih jauh dari harapan.
Jika menurunnya karakter bangsa diibaratkan sebuah penyakit, maka pendidikan karakter diharapkan menjadi alternatif solusi dalam mengatasi masalah bangsa ini. Efektivitas pendidikan karakter tentunya tidak hanya mengandalkan peran para tenaga pendidik saja tetapi semua pihak harus merasa berkepentingan dengan pendidikan karakter. Dengan adanya kerjasama semua dalam mendidik karakter anak-anak bangsa, Insya Allah bangsa Indonesia akan menjadi masyarakat madani sebagaimana yang diharapkan oleh kita semua.

Penulis, Staf LPMP Jawa Barat.
(Tulisan ini dimuat di Buletin NADI LPMP Jawa Barat, Vol. 4 No. 2 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar