Sabtu, 10 September 2011

PENDIDIKAN KARAKTER BARBASIS NILAI KEARIFAN LOKAL

“Ulah sok ningali, lamun lain tingaleunana. Ulah sok ngadenge lamun lain dengeunana. Ulah sok nyokot lamun lain cokoteunana. Ulah sok nincak lamun lain tincakeunana”



Presiden SBY sedang sungkem  kepada ibunda
Sejak lahir sebenarnya seorang manusia telah mendapatkan pendidikan karakter untuk menjadi manusia yang berbudi pekerti yang baik (insan kamil). Di kalangan masyarakat muslim, ketika sang bayi lahir ke dunia, dia diadzani di kuping bagian kanan dan diiqomati di kuping bagian kiri untuk mencegah masuknya pengaruh setan ke dalam jiwa bayi.
Setelah diadzani, paraji (sebutan bagi dukun beranak di lingkungan masyarakat sunda) kemudian ngagebrag (menasehati) bayi memberikan nasihat yang kurang lebih pesannya yaitu, jangan melihat kalau bukan yang hak untuk dilihat olehnya. Jangan mendengar kalau bukan yang hak untuk didengar olehnya. Jangan mengambil kalau bukan yang hak untuk diambil olehnya. Dan jangan menginjakkan kaki di suatu tempat jika bukan tempat yang yang hak untuk diinjaknya. Kalimat tersebut memiliki pesan yang sangat luhur agar kelak sang bayi memiliki akhlak yang mulia (akhlakulkarimah). Jika hal-hal tersebut dilakukan olehnya, sebagai manusia ciptaan Allah, Insya Allah dia akan selamat dalam mengarungi kehidupannya di dunia dan di akhirat.
Dulu bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki karakter yang menjunjung tinggi nilai Pancasila, budaya, dan agama yang dianutnya. Kesantunan bangsa Indonesia terkenal sampai ke mancanegara sehingga para wisatawan pun tertarik untuk datang menikmati indahnya alam Indonesia. Tetapi jika melihat kondisi bangsa saat ini, kita dihadapkan pada satu keprihatinan dimana bangsa Indonesia saat ini tengah mengalami krisis moral dan krisis kepribadian.
Bangsa Indonesia diakui atau tidak saat ini tengah sakit. Aksi anarkisme, kekerasan, dan pelanggaran hukum hampir setiap hari mewarnai pemberitaan media massa. Sebagian anak bangsa saat ini menjelma seolah-olah menjadi kaum barbar yang menganiaya dan membunuh bangsa sendiri, merusak fasilitas umum, dan tidak toleran. Korupsi semakin menjadi-jadi. Korupsi seolah telah menjadi kanker akut yang menggerogoti bangsa ini. Korupsi terjadi dari level kelas teri seperti pengurusan KTP sampai kepada level kelas kakap seperti korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Kasus Bank Century. Atas hal tersebut, berbagai lembaga survei korupsi internasional seperti Transparansi Internasional Indonesia (TII) menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup baik di Asia bahkan di dunia.
Generasi muda khususnya pelajar dan mahasiswa banyak yang terjebak kepada pergaulan bebas dan penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. Akibatnya angka penderita HIV/AIDS, tingkat aborsi, dan korban narkotika dan obat-obatan terlarang setiap tahun semakin meningkat. Misalnya di Jawa Barat jumlah penderita HIV/AIDS mencapai 5.000 orang atau terbanyak kedua di Indonesia (Seputar Indonesia, 29 Desember 2010). Jumlah kasus aborsi di Jawa Barat diperkirakan mencapai 400 ribu per tahun. Pengamat  Program KB Saut Munthe mengatakan bahwa dari 400 ribu kasus aborsi di Jawa Barat, 160 ribu diantaranya dilakukan oleh kalangan remaja (Suara Pembaruan, 8 April 2009). Sementara itu, Jawa Barat juga termasuk peringkat kedua jumlah pengguna narkoba. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2009, pengguna obat-obatan terlarang tersebut di Jawa Barat mencapai 1,9 persen dari jumlah penduduk nasional atau sekitar 800.000 orang (Pikiran Rakyat, 17 Juni 2010).  Para pelajar dan mahasiswa pun akrab dengan tawuran. Tawuran terjadi biasanya karena masalah sepele atau karena dendam masa lalu.
Dalam kehidupan masyarakat pun, norma, etika, dan sopan santun telah banyak tergerus. Contoh sederhana, kita lihat bagaimana perilaku pengguna jalan baik pengguna kendaraan bermotor, pejalan kaki, atau pedagang kaki lima. Pengguna kendaraan bermotor dengan seenaknya saling serobot, tidak memperdulikan rambu-rambu lalulintas dan keselamatan diri sendiri dan orang lain, berhenti dan parkir sembarangan, serta membuang sampah seenaknya dari atas kendaraan. Pejalan kaki menyeberang jalan sembarangan, tidak menggunakan zebra cross  atau jembatan penyeberangan. Dan pedagang kali lima pun, dengan alasan tidak memiliki lahan berdagang, mereka menyerobot trotoar bahkan separuh badan jalan untuk berdagang. Hal tersebut menyebabkan kemacetan dan kecelakaan di jalan raya.
Berbagai perilaku menyimpang yang terjadi di masyarakat tidak lepas derasnya arus globalisasi. Dengan adanya globalisasi, hal yang terjadi di belahan dunia lain dapat diketahui dapat waktu singkat. Dunia seakan tanpa batas. Jarak dan waktu tidak lagi menjadi hambatan. Perkembangan IPTEK ibarat pisau bermata dua. Berdampak positif dan negatif tergantung bagaimana kita menyikapinya. Dampak positifnya, misalnya kehidupan menjadi lebih mudah dan lebih praktis. Akses komunikasi dan informasi menjadi lebih cepat dan lebih mudah dengan munculnya HP dan internet. Kegiatan bisnis pun menjadi lebih mudah adanya bisnis via internet atau transaksi perbankan secara online. Dengan adanya perkembangan IPTEK, manusia menjadi melek teknologi. Teknologi internet sekarang sudah semakin akrab dengan masyarakat. Internet bisa diakses dengan mudah baik dengan komputer, laptop/notebook, maupun HP. Untuk menambah kenyamanan pengunjung, pengelola mall, bengkel, cafe, atau restoran menyediakan hot spot untuk mengakses internet.
Selain dampak positif, kita pun tidak memungkiri dampak negatifnya. Misalnya, adanya kejahatan dunia maya (cyber crime), perjudian dan prostitusi via internet, penyebaran konten pornografi, serta tindakan kriminal lainnya. Media sering memberitakan tentang pembobolan kartu kredit, penipuan, penculikan dengan menggunakan media internet.
Dampak negatif dari globalisasi dan perkembangan IPTEK menyebabkan krisis karakter bangsa.  Hal ini tentunya perlu mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah maupun dari masyarakat karena perbaikan karakter atau akhlak adalah tanggung jawab. Dalam konteks pendidikan, Ki Hajar Dewantara mengingatkan kepada kita tentang pentingnya peran Tri Pusat Pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Dalam kontek kebijakan, pemerintah (Kementerian Pendidikan Nasional) telah meluncurkan berbagai program untuk membangun dan memperbaiki karakter bangsa. Saat ini yang tengah disosialisasikan adalah program Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Hal ini sejalan dengan Pasal 3 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Ada 18 nilai karakter yang coba ditanamkan melalui program ini, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Sekolah dapat menambah ataupun mengurangi nilai-nilai tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi dengan berpedoman kepada Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), dan materi bahasan suatu pelajaran. Meskipun demikian ada 5 (lima) nilai yang diharapkan minimal dikembangkan di setiap sekolah, yaitu nyaman, jujur, peduli, cerdas, dan tangguh/kerja keras (Kemdiknas, 2010).
Prinsip dari Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa adalah; 1), berkelanjutan dari jenjang SD, SMP, dan SMA, 2) melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya sekolah, 3) nilai tidak diajarkan tetapi dikembangkan,  4) proses pendidikan dilakukan secara aktif dan menyenangkan. Sedangkan implementasinya dilaksanakan melalui; 1) kegiatan pengembangan diri yang meliputi kegiatan rutin, kegiatan spontan, keteladanan, dan pengkondisian, 2) pengintegrasian pada mata pelajaran, dan 3) budaya sekolah.
Nilai Kearifan Lokal
Pelaksanaan pendidikan karakter disamping berpedoman kepada panduan yang telah ditetapkan oleh Kemdiknas, penulis berpendapat bahwa agar pedidikan karakter lebih kontekstual, lebih operasional, dan lebih sesuai dengan kebutuhan, situasi, kondisi, karakteristik masyarakat, maka perlu mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal, dalam hal ini nilai-nilai kearifan lokal sunda.
Budaya dan seni sunda sangat kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut menjadi pedoman bagi orang-orang tua kita di masa lampau sehingga mereka bisa hidup dengan rukun, saling menghargai, berdampingan dengan sesama, dan mencapai kesuksesan. Di tengah keterbatasan kemampuan penulis untuk mengeksplorasi seluruh-seluruh nilai kearifan lokal sunda, setidaknya penulis melihat bahwa nilai kearifan lokal tersebut tersimpan dalam ungkapan, peribahasa, pupuh, sisindiran, kawih, cerita rakyat, fabel (dongeng binatang), kesenian, dan sebagainya.
Pada pembuka tulisan ini, penulis pun mencoba untuk memperlihatkan bagaimana budaya sunda sangat kental dengan muatan pendidikan karakter. Hal lain misalnya peribahasa “silih asah, silih asih, silih asuh” mengajarkan kita untuk saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling mengayomi. Bangsa kita saat ini dihadapkan kepada tantangan intoleransi baik dalam kehidupan politik, sosial, budaya, ekonomi, dan agama. Konflik horizontal antarmasyarakat  mudah  terjadi bahkan konflik yang berbau SARA. Kadang-kadang masyarakat kita mudah terprovokasi untuk berbuat anarki dan kurang menghiraukan kesulitan orang lain. Perbedaan pendapat menyebabkan perpecahan dalam masyarakat padahal hal itu adalah hal yang lumrah dalam sebuah negara demokrasi.
“Indung tunggul rahayu, bapa tangkal darajat” mengamanatkan bahwa kita wajib berbakti dan hormat kepada kedua orang tua  kita. “Nete Taraje nincak hambalan” mengajarkan agar kita berpikir dan bertindak secara sistematis. “Kurung batokeun” adalah peribahasa yang mengajarkan agar kita membuka cakrawala berpikir (open minded), terbuka terhadap nilai-nilai baru dengan tetap memelihara dan mempertahankan nilai-nilai lama yang baik masih baik dan relevan, serta mau menimba pengalaman jangan hanya berkutat di wilayah itu-itu saja sehingga tidak ketinggalan zaman. “Ulah osok epes meer” mengajarkan kita supaya jangan mudah menyerah dan mau terus mencoba.
“Ngabakti ka lemah cai” mengajarkan kita untuk memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme terhadap tanah air kita. Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia merdeka melalui perjuangan yang luar biasa berat sehingga kemerdekaan yang kita nikmati saat ini perlu dijaga dan diisi dengan berbagai pembangunan sesuai dan prestasi dalam berbagai hal. Sumbangsih tenaga dan pemikiran anak-anak bangsa sangat diperlukan untuk kejayaan Indonesia.
Alam dan lingkungan sekitar perlu kita jaga dari kerusakan. Sebaliknya, para perusak lingkungan, pembalak hutan, penyelundup adalah orang-orang yang tidak bertangung jawab yang tidak memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme. Mereka hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri. Begitupun sebagian bangsa kita yang lebih senang atau lebih bangga menggunaan produk luar negeri dibandingkan dengan menggunakan produk dalam negeri perlu dipertanyakan rasa nasionalisme dan patriotismenya.
Mungkin kita pernah mendengar dongeng “Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet”. Dongeng itu mengajarkan kita agar kita bekerja keras dalam meraih cita-cita, menggunakan otak kita untuk berpikir, dan sabar seperti sakadang kuya. Sikap malas, tidak mau kerja keras, dan licik seperti sakadang monyet hanya akan merugikan dirinya sendiri. Bangsa kita saat ini dihadapkan pada budaya instan dan kurang mau kerja keras. Misalnya ingin cepat kaya dengan cara korupsi, suka menjiplak hasil karya orang tanpa izin (plagiatisme), atau memalsukan hasil karya orang lain (pembajakan).
Itulah sekelumit nilai-nilai pendidikan kearifan lokal sunda yang dapat kita gunakan untuk mendidik anak-anak kita menjadi manusia yang berkarakter, bermoral, dan beretika. Jadi, para anggota DPR tidak perlu jauh-jauh mempelajari etika sampai ke Yunani, masih banyak nilai-nilai kearifan lokal bangsa sendiri yang bagus dan layak dicontoh.
Nilai-nilai tersebut perlu dikembangkan bukan hanya di sekolah tetapi di lingkungan keluarga dan masyarakat. Keluarga adalah sekolah pertama dan utama bagi anak. Di lingkungan keluarga pertama kali diajarkan adab atau akhlak. Misalnya supaya memiliki kepribadian yang hormat ka saluhureun, ngahargaan ka sasama, tur nyaah ka sahandapeun (menghormati orang yang lebih tua, menghargai teman sebaya, dan menyayangi yang usianya lebih muda). Diajarkan tata cara makan, minum, berpakaian, berbicara, dan sebagainya.
Sedangkan lingkungan masyarakat adalah lingkungan tempat bergaul anak. Pada lingkungan tersebut, anak-anak kita akan dihadapkan pada beragam karakter orang atau teman bermain, beragam latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi. Pergaulan lingkungan masyarakat pun membawa resiko anak-anak kita terpengaruh dengan pergaulan yang buruk. Oleh karena itu, orang tua dituntut untuk membimbing dan mengawasi pergaulan anak supaya tidak terjerumus kepada dampak buruk pergaulan.
Pada lingkungan keluarga dan masyarakat, penanaman nilai-nilai budaya Sunda akan jauh lebih banyak dilakukan karena sebagai masyarakat sunda pasti tidak akan lepas dari nilai dan budaya sunda. Berbeda dengan lingkungan sekolah yang terikat formalitas, lingkungan keluarga dan masyarakat tidak terikat kepada formalitas sehingga suasasanya bisa lebih cair.
Penanaman nilai kearifan lokal sunda bukan hanya bertujuan untuk membangun karakter anak tetapi juga memperkenalkan sekaligus memperkenalkan nilai, tradisi, seni, dan budaya sekaligus melestarikan budaya sunda karena diakui atau tidak saat ini generasi muda sunda banyak yang sudah tidak hapal dengan adat, tradisi, budaya, dan seni sunda. Jika tampil nyunda seolah-olah kurang gaul sehingga kurang percaya diri.
Pentingnya penanaman nilai kearifan lokal/tradisional juga disampaikan oleh Zuchdi (2010:36) yang menyatakan bahwa generasi muda perlu memperoleh penanaman nilai-nilai tradisional dari orang dewasa yang menaruh perhatian perhatian kepada mereka, yaitu para anggota keluarga, guru, dan masyarakat.
Rasionalitas
Penanaman nilai-nilai kearifan lokal sunda yang kadang-kadang tidak lepas dari mitos. Oleh karena itu, agar dapat dimengerti oleh anak-anak maka perlu dirasionalkan. Misalnya pada orang tua kita melarang duduk di depan pintu bisi nontot jodo (susah jodoh), jangan jangan main di waktu sareupna (maghrib) bisi ku sanekala (diambil oleh jin).
Kedua contoh di atas kalau dirasionalkan misalnya anak-anak dilarang duduk di depan pintu karena menghalangi orang lain yang akan lewat. Jangan main di waktu sareupna (maghrib) karena maghrib adalah waktunya anak-anak diam di rumah, sholat maghrib, belajar, dan mengaji. Anak-anak kita saat ini menjadi semakin rasional. Tidak menganggap tabu lagi hal-hal yang dilarang oleh orang tua jika mereka tidak mengerti. Perkembangan IPTEK saat ini membuat anak-anak lebih kritis dalam menyikapi sesuatu hal. Apa yang dulu oleh orang tua dianggap sakral, oleh anak sekarang kadang-kadang disebut kuno atau ketinggalan zaman. Kalau kita mau memikirkan secara mendalam baik perintah maupun larangan dari orang tua, walaupun tidak dimengerti oleh kita, pasti ada pesan luhur yang terdapat di dalamnya.
Pendidikan karakter berasis berbasis nilai kearifan lokal (sunda) semoga dapat menjadi alternatif dalam mendidik moralitas, mentalitas, dan akhlak anak-anak kita sehingga menjadi insan yang cerdas dan berbudi pekerti luhur. Semoga!!!


Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar