Sabtu, 10 September 2011

REMISI BAGI KORUPTOR

Peringatan hari kemerdekaan RI dan hari-hari besar keagamaan menjadi berkah tersendiri bagi narapidana (napi) di Lembaga Pemasyarakatan (LP) karena di dua hari besar tersebut mereka mendapatkan remisi (pengurangan hukuman). Bahkan ada napi yang langsung bebas setelah mendapatkan remisi. Remisi diberikan kepada napi jika dinilai memenuhi syarat seperti berkelakuan baik selama menjalani hukuman.
Adalah benar, remisi adalah hak bagi seorang napi karena ada aturan hukumnya. Sebagaimana diketahui ketentuan pemberian remisi ini  diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1995, Kepres Nomor 174  Tahun 1999 tentang remisi dan PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Tata Cara dan Syarat Pelaksanaan Hak-hak Warga Binaan Pemasyarakatan. LP bukan hanya sebagai tempat bagi napi menjalani hukuman, tetapi sebagai tempat pembinaan dan memperbaiki diri agar ketika kelak keluar dari LP, seorang mantan napi bisa menjadi warga negara yang baik dan dapat berbaur kembali dengan masyarakat di sekitarnya. Bahkan di LP, para napi diberi pelatihan agar setelah mereka bebas, memiliki keterampilan untuk mencari nafkah, tidak melakukan lagi tindakan kriminal.
Dibalik dalil bahwa remisi adalah hak setiap napi, pemberian remisi bagi napi koruptor dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), LSM antikorupsi, serta masyarakat secara umum menolak dan menentangnya serta meminta agar pemerintah mengkaji ulang aturan pemberian remisi. Pemberian remisi bagi napi koruptor tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi dan tidak akan menimbulkan efek jera sehingga praktek korupsi di Indonesia akan tetap subur. Pada tahun ini, misalnya, dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan, sebanyak 427 narapidana korupsi mendapat remisi dan 19 orang di antaranya langsung bebas. Begitu juga saat memperingati Idul Fitri, sebanyak 243 koruptor mendapat remisi dan delapan di antaranya langsung bebas (Media Indonesia, 5/9/2011). Masyarakat setuju terhadap pemberian resmisi bagi pelaku tindak kriminal umum, tetapi menolak dengan tegas pemberian remisi bagi koruptor.
Walaupun mendapatkan banyak penentangan, Kementerian Hukum dan HAM bersikukuh memberikan remisi bagi napi koruptor dengan alasan bahwa remisi adalah hak setiap napi sebagaimana diatur oleh peraturan perundangan-undangan dan mereka berkelakuan baik. Jika tidak diberi remisi, justru pemerintah akan melanggar HAM. Argumen tersebut membuktikan bahwa pemerintah terlalu mengedepankan pendekatan legal formal daripada rasa keadilan masyarakat. Pemerintah lebih empati kepada hak asasi para koruptor daripada hak asasi masyarakat yang telah dirampas hak asasinya oleh koruptor. Dengan memberi remisi, pemerintah dinilai terlalu memanjakan koruptor.
Di Indonesia, memang sangat enak menjadi napi koruptor. Mengapa? karena, pertama, pada saat di penjara, mereka bisa “membeli” fasilitas mewah. Kedua, mendapatkan remisi sampai berkali-kali. Mereka juga bisa bebas bersyarat setelah menjalani 2/3 masa hukuman. Dan ketiga, hukuman di tingkat banding atau kasasi bukan semakin berat, tapi semakin ringan. Jika hal ini dibiarkan, maka dapat dipastikan koruptor tidak akan pernah jera.
Di LP, koruptor diposisikan sebagai orang yang istimewa. Mereka didaulat menjadi pemuka LP, imam sholat berjamaah, atau menjadi penyandang dana kegiatan sosial di LP. Selama di LP, hampir dapat dipastikan napi koruptor berkelakuan baik karena mereka bukanlah penjahat kerah dekil yang rata-rata sangar dan berperawakan menakutkan. Bukan penjahat jalanan yang merasakan kerasnya persaingan hidup di jalanan. Di LP, mereka banyak mengumbar seyum, tampak bersahabat, dan tak membuat onar. Oleh karena itu, sangat wajar jika mereka dinilai berkelakuan baik dan layak mendapatkan remisi.
Yang menurut penulis ironis, ketika mereka keluar dari LP, oleh para pendukungnya mereka dielu-elukan, disambut bak pahlawan yang baru pulang dari medan perang, diposisikan (kembali) menjadi orang yang dihormati, mencalonkan diri menjadi Kepala daerah atau wakil rakyat, dan kemudian terpilih. Hal ini merupakan gambaran bahwa masyarakat pun tidak memberikan sanksi sosial kepada koruptor.
ICW menilai bahwa koruptor tidak layak mendapatkan remisi, kecuali koruptor tersebut kooperatif, menjadi peniup peluit (whistle blower) untuk membuka kasus-kasus korupsi lainnya seperti Agus Condro yang membuka kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia (BI). ICW menilai Agus Condro layak untuk diberi remisi.
Kita tentu setuju bahwa napi koruptor juga adalah manusia yang masih memiliki kesempatan atau perlu diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Mungkin saja dulu ketika mereka korupsi, hatinya masih tertutup oleh hidayah Allah. Hatinya terlanjur buta oleh ambisi memperkaya diri dan kenikmatan sesaat. Mungkin saja, setelah menjalani hukuman mereka bertaubat dan kembali ke jalan yang benar dengan catatan hukuman yang dijalaninya mampu memberikan efek jera kepada pelaku.
Jika kita perhatikan, memang ada pejabat publik yang menjadi terpidana korupsi bukan karena kerakusannya, tetapi karena adanya kesalahan dalam pelaksanaan suatu kebijakan sehingga merugikan keuangan negara. Misalnya pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Mereka sama sekali tak memiliki motif untuk korupsi atau mendapatkan fee dari kebijakan yang diambilnya. Hal ini terjadi semata-mata karena kecelakaan atau musibah. Dan sebagai pimpinan mereka harus menanggung konsekuensinya. Mereka dapat dipertimbangkan mendapatkan remisi. Dan kita tentu dapat menerimanya dengan baik ketika mereka keluar dari LP.
Berbeda dengan orang yang sejak awal memang sudah bermental korup atau serakah. Mereka harus mendapatkan hukuman seberat-beratnya dan tidak layak mendapatkan remisi. Kita tentu sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity), dan melanggar HAM. Oleh karena itu, perlakuan terhadap pelaku korupsi juga harus luar biasa, diberikan hukuman seberat-beratnya supaya memberikan efek jera dan menjadi contoh bagi yang lain. Pemerintah sudah selayaknya tidak kompromi dengan pelaku korupsi. Negeri ini terancam bangkrut karena korupsi. Berbagai kasus suap dan korupsi di DPR dan beberapa kementerian menunjukkan bahwa negeri ini memang penuh dengan korupsi. Negeri ini dikuasai oleh koruptor. Anggaran negara sudah banyak yang bocor karena korupsi.
Revisi
Di tengah semakin menguatnya penolak pemberian remisi untuk napi koruptor, pemerintah sudah selayaknya mampu mengakomodir tuntutan tersebut dengan jalan merevisi peraturan tentang pemberian remisi. Standar “berkelakuan baik” juga perlu diperjelas sehingga tidak memunculkan subjektivitas. Pemberian remisi perlu diatur secara ketat dan khusus bagi koruptor. Hal ini perlu dilakukan untuk menunjukkan bahwa pemerintah memiliki political will dalam pemberantasan korupsi.
Banyak pihak menilai bahwa, komitmen yang selama ini disuarakan pemerintah dalam pemberanitasan korupsi hanya komitmen basa-basi, komitmen setengah hati karena kurang dibarengi dengan langkah konkrit dalam pemberantasan korupsi. Salah satunya, yaitu dengan masih diberikannya remisi bagi napi koruptor.
Gayung pun nampaknya bersambut, menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar mengatakan akan merevisi aturan tentang pemberian remisi bagi napi koruptor. Beberapa fraksi di DPR pun telah menyetujui penghapusan remisi bagi koruptor. Kini publik menunggu, apakah penghapusan remisi bagi koruptor benar-benar akan terealisasi atau hanya sebatas wacana saja. Wallahu a’lam.

Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar