Minggu, 11 September 2011

GURU "MALAPRAKTIK"

Pendidikan yang salah akan "memengaruhi" guru dan anak didik kepada perilaku preman (Merton, dalam Assegaf, 2004:13)

TINDAKAN kekerasan yang dilakukan seorang guru kepada beberapa orang muridnya di sebuah sekolah, beberapa waktu lalu di Palembang, Sumatra Selatan, direkam secara sembunyi-sembunyi oleh salah seorang siswanya. Video kekerasan tersebut sudah banyak beredar dari HP ke HP dan menjadi berita besar setelah ditayangkan di beberapa stasiun TV swasta. Guru tersebut mengaku bahwa tindakan itu dilakukannya untuk menghukum sekaligus memberikan pelajaran disiplin kepada siswa yang melakukan pelanggaran. Walaupun sudah diselesaikan secara kekeluargaan, kasus tersebut telah membawanya berurusan dengan polisi dan terancam hukuman 5 tahun penjara, dengan tuduhan melakukan penganiayaan. Dengan alasan apa pun, tindakan kekerasan tidak dapat dibenarkan.

Tindakan tersebut tak ayal telah mencoreng citra guru dan merusak citra dunia pendidikan secara umum. Pendidikan yang seharusnya untuk memanusiakan manusia, justru menistakan manusia (siswa). Jika dalam dunia kedokteran dikenal istilah dokter malapraktik untuk dokter yang melakukan penyimpangan dalam tindakan medis, maka predikat guru ”malapraktik" pun layak diberikan kepada guru yang melakukan penyimpangan (melakukan tindakan kekerasan) kepada siswa di sekolah.

Penyebab

Penulis berpendapat, munculnya berbagai kasus kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswa disebabakan dua faktor. Pertama, faktor internal, antara lain labilnya stabilitas emosi guru dan rendahnya penghayatan guru terhadap tugasnya sebagai pendidik. Berbagai masalah dan beban hidup yang dihadapi guru juga memengaruhi stabilitas emosi guru. Guru bukanlah malaikat sebagai makhluk yang tanpa cela. Guru juga manusia biasa yang suatu saat bisa mendapatkan masalah. Bentuk respons dari masalah yang dihadapinya bisa saja diekspresikan melalui tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap siswa.

Kedua, faktor eksternal. Tindakan kekerasan yang dilakukan guru biasanya dipicu sikap dan perilaku siswa yang nakal, susah diatur, dan melanggar aturan. Penulis percaya, di dunia ini tidak ada guru yang ingin menyiksa dan menganiaya muridnya. Sebenarnya guru yang memberikan hukuman kepada siswa yang melanggar aturan bermaksud baik, untuk mendidik dan memberikan efek jera kepada siswa untuk tidak melakukan pelanggaran lagi. Tetapi karena kadarnya yang berlebihan, tidak proporsional, dan salah kaprah, maksud baik tersebut berubah menjadi petaka untuk guru sebagai pelaku dan siswa sebagai korban. Suasana yang kurang kondusif di sekolah pun dapat memicu guru melakukan tindakan kekerasan terhadap siswa.

Kepribadian guru

Menteri Pendidikan Nasional telah menerbitkan Permendiknas No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Berbagai tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswa tentu tidak sesuai dengan aturan tersebut, khususnya jika dikaitkan dengan kompetensi pedagodik dan kompetensi kepribadian guru.

Ruang lingkup kompetensi pedagodik di antaranya, guru harus menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual. Guru pun harus berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik. Sementara ruang lingkup kompetensi kepribadian di antaranya guru harus bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa. Selanjutnya, guru harus menjunjung tinggi kode etik profesi guru.

Akan sangat berbahaya jika tugas mendidik diserahkan kepada guru yang tidak memiliki kompetensi pedagodik dan kompetensi kepribadian. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menghakimi guru, tetapi sebagai suatu autokritik kepada kita sebagai guru untuk senantiasa mengasah diri dan memperbaiki diri menjadi figur guru yang sesuai dengan kompetensi sebagaimana yang disebutkan di atas. Ini adalah tugas berat, tetapi hal tersebut adalah konsekuensi ketika kita memilih profesi sebagai guru agar kita tidak termasuk sebagai guru yang "malapraktik".

(Penulis, Pegawai LPMP Jawa Barat, anggota Asosiasi Guru Penulis/AGP PGRI Provinsi Jawa Barat)**
(Tulisan ini dimuat di HU Galamedia, tanggal 5 Maret 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar