Minggu, 11 September 2011

MENGAPA GURU HONORER (SELALU) DIANAKTIRIKAN?

Prihatin. Itulah satu kata yang ada dalam hati penulis ketika membaca berita (termasuk di Harian Galamedia) tentang berlarutnya-larutnya ketidakjelasan guru-guru honorer di Kabupaten Bandung Barat mendapatkan insentif yang sangat mereka butuhkan. Padahal insentif yang mereka terima tidaklah besar, hanya Rp 35.000/bulan (anggaran 2009) yang kemudian naik menjadi Rp 50.000/bulan (anggaran 2010).
Mereka yang tergabung dalam Forum Komunikasi Guru Honorer Seolah (FKGHS) dan Forum Komunikasi Guru Honor Indonesia (FKGHI) yang beranggotakan kurang lebih 7.000 orang telah berkali-kali mendatangi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Disdikpora) dan mengadukan nasibnya ke DPRD Kabupaten Bandung Barat. Dan jawaban yang mereka terima lebih dari sekedar janji-janji yang tak kunjung terbukti.
Sejak 2009 para guru honorer tersebut tidak mendapatkan insentif. Dana untuk insentif tersebut sebenarnya telah dianggarkan oleh pemerintah kabupaten Bandung Barat tetapi tidak terserap dan masuk ke silpa (sisa lebih pembiayaan anggaran). Bedasarkan informasi yang Penulis himpun dari beberapa sumber (berita), tidak cairnya insentif untuk para guru tersebut disebabkan oleh tiga hal. Pertama, adanya perbedaan jumlah guru honorer antara data yang dimiliki oleh FKGHS/FKGHI dengan data yang dimiliki oleh Disdikpora KBB. Kedua, dimasukkannya tenaga kependidikan (staf administrasi) ke dalam daftar calon penerima insentif sehingga jumlah calon penerima insentif menjadi membangkak. Dan ketiga, mengutip pernyataan Aep Nurdin, anggota DPRD KBB (Galamedia, 13/3/2011), bahwa MoU antara Bupati dan penerima hibah untuk pencairan insentif guru tersebut belum ada sehingga dana insentif belum bisa dicairkan. Berarti, ada kendala birokrasi.
Keseriusan Disdikpora
Dibalik berbagai alasan belum cairnya insentif untuk para guru honorer tersebut. dengan tidak bermaksud untuk tidak menghargai kinerja dan tidak bermaksud untuk menggurui Disdikpora KBB, ada pertanyaan mendasar yang patut dilontarkan. Pertama, seriuskah Disdikpora KBB mengurusi nasib guru honorer? soalnya sudah dua tahun guru-guru honorer tersebut tidak mendapatkan haknya. Malah anggarannya dikembalikan lagi ke kas daerah.
Kedua, apakah Disdikpora KBB telah melakukan verifikasi secara cermat dan akurat terhadap jumlah guru honor yang sebenarnya? Ketiga, ketika terjadi kesenjangan data guru-guru honorer tersebut, apakah Diskdikpora KBB melakukan klarifikasi atau mengundang FKGHS/PKGHI agar data guru honorer tersebut benar-benar akurat? Jika terjadi pemalsuan atau manipulasi data, Disdikpora jangan segan-segan untuk mencoretnya agar guru-guru yang memang benar-benar berhak mendapat insentif tidak terhambat.
Sebagai orang awam, ebenarnya Penulis tidak habis pikir mengapa ada perbedaan data antara Disdikpora dan FKGHS/FKGHI karena secara prosedur FKGHS/FKGHI pasti menyerahkan data disertai dengan berkas-berkas pendukungnya ke Disdikpora. Jadi Disdikpora hanya tinggal menindaklanjuti usulan dari PKGHS/FKGHI. Kemudian sejauhmana Disdikpora benar-benar mempejuangkan agar insentif tersebut dapat diterima oleh guru honor yang berhak? Penulis berpikir seharusnya Bupati atau Kepala Dinas Pendidikan menegur aparatnya yang lalai mengurusi masalah ini.
Terkatung-katungnya pencairan insentif guru honorer, diakui atau tidak telah membuat publik khususnya guru-guru honorer menilai Disdikpora KBB tidak serius dalam mengurus nasib guru honorer. Masalah ini jangan sampai dianggap sebagai hal sepele. Ini kaitannya dengan hajat hidup orang lain. Bagi yang sudah berkeluarga, mereka bukan hanya memikirkan perut mereka sendiri, tetapi perut anak dan istrinya.
Dengan kata lain mereka merasa telah dianaktirikan atau diperlakukan secara diskriminatif. Diakui atau tidak, guru-guru honorer merasa dianaktirikan oleh sistem atau kebijakan pemerintah dibandingkan dengan guru PNS. Misalnya dalam hal kesejahteraan, kesempatan pengembangan karir, kesempatan mengikuti diklat, kesempatan mengikuti sertifikasi guru, dan sebagainya. Dengan kata lain, guru-guru honorer merasa menjadi pendidik “kelas dua” dibandingkan dengan guru PNS. Bahkan dalam kuota sertifikasi pun, kuota bagi guru honor hanya 20-25% sedangkan guru PNS 75-80% dari total kuota.
Jika kita mengacu kepada Undang-undang Nomor 14 tahun 2005, tidak ada perbedaan perlakuan antara guru PNS dan Honorer (Non-PNS). Mereka sama-sama diposisikan sebagai guru, sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Hanya masalah status dan nasib saja yang membedakan mereka. Jika kita mau objektif menilai, kinerja guru-guru honorer pun tidak kalah dibandingkan dengan guru PNS. Bahkan ada guru honorer yang ternyata memiliki kualitas yang lebih baik dari guru PNS.
Guru PNS adalah guru yang diangkat oleh pemerintah, sedangkan guru honorer diangkat oleh masyarakat (yayasan). Kesejahteraan guru PNS sudah diatur melalui peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan gaji guru honorer sangat ditentukan oleh kemampuan yayasan. Jika yayasannya besar dan mapan, maka kesejahteraannya pun relatif baik, sedangkan jika yayasannya kecil, maka kesejahteraan gurunya pun minim bahkan masih ada guru honorer yang menerima gaji Rp 50.000,- per bulan.
Dalam seleksi CPNS pun, tidak ada fasilitas khusus untuk guru honorer yang sudah mengabdi lama. Merka harus ikut bersaing dengan para pelamar umum sehingga kadang-kadang mereaka tersisih oleh para pelamar umum yang rata-rata fresh graduate. Beberapa waktu yang lalu pemerintah membuat kebijakan Guru Bantu dan mengangkat Guru Bantu menjadi PNS. Hampir semua Guru Bantu telah diangkat menjadi PNS, tetapi di beberapa daerah masih ada sisa Guru Bantu yang tidak bisa diangkat menjadi PNS karena usia mereka telah lebih dari 46 tahun sebagaimana dipsersyaratkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS.
Kita patut mengakui bahwa guru honorer adalah sama-sama ujung tombak pendidikan. Mereka turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Jasa mereka tidak bisa dilihat sebelah mata. Pemerintah perlu serius memperhatikan nasib guru-guru honorer apalagi yang masa kerjanya sudah lama. Walaupun tidak diangkat sebagai CPNS, tetapi hendaknya ada perhatian lebih berkaitan dengan kesejahteraan dan pengembangan profesinya.
Untuk mengatasi semakin bertambahnya guru honorer, lembaga pendidikan (yayasan) jangan terlalu mudah mengangkat guru honorer karena ada sekolah yang ternyata jumlah guru honorernya overload sehingga ada guru honorer yang hanya mengajar 2-4 jam per minggu. Lebih baik mengoptimalkan guru-guru yang sudah ada sehingga mereka memenuhi kewajiban mengajar minimal 24 jam perminggu dan akan memudahkan mereka untuk memenuhi persyaratan mengikuti sertifikasi guru.
Kita tidak dapat menutup mata kadang-kadang ada yayasan “nakal” memanipulasi data, menerbitkan SK mengajar bagi seseorang (biasanya memiliki hubungan keluarga) di yayasan tersebut sedangkan kenyataannya tidak mengajar atau menggelembungkan masa kerja guru agar memenuhi kriteria untuk mendapatkan bantuan atau lolos seleksi.
Persoalan guru honorer akan menjadi bom waktu selama tidak diperhatikan secara serius. Oleh karena itu, pemerintah daerah khususnya Disdikpora perlu memperlakukan guru-guru honorer secara adil dan egaliter dengan guru PNS serta perlu melakukan pembinaan sehingga guru honorer tidak merasa dianaktirikan. Semoga!!!

Penulis, Pemerhati Pendidikan, Pernah Bekerja sebagai Guru Honorer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar