Minggu, 11 September 2011

KORUPSI DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI

Andai ku Gayus Tambunan yang bisa pergi ke Bali,
Semua keinginannya pasti bisa terpenuhi
Lucunya di negeri ini, hukuman bisa dibeli,
kita orang yang lemah pasrah akan keadaan.

Lirik lagu di atas, adalah curahan hati Bona Paputungan, seorang mantan narapidana di LP Gorontalo. Syairnya menggambarkan sebuah kecemburuan terhadap perlakuan hukum di negeri ini. Hukum hanya menjadi permainan orang-orang berduit dan memiliki akses terhadap kekuasaan saja, sedangkan rakyat kecil menderita.
Kita tentu tahu Gayus Tambunan, terpidana kasus mafia pajak yang begitu leluasa keluar masuk bui dengan cara menyuap aparat hukum. Setelah diketahui pelesiran ka Bali menonton pertandingan tenis, sekarang dia kembali terbukti pelesiran ke Macau, Kualalumpur, dan Singapura. Rutan Mako Brimob yang katanya ketat, bagi Gayus tak ubahnya seperti tempat persinggahan. Bisa keluar dan masuk semaunya. Gayus bisa melakukan itu semua tentunya tidak gratis. Dia menyuap aparat rutan Mako Brimob ratusan juta rupiah. Dia pun mengeluarkan uang sampai dengan 100 ribu US dolar untuk bisa membuat Paspor Aspal (asli tapi palsu) atas nama Sony Laksono dengan menggunakan jasa sindikat pemalsu paspor. Walaupun dia sudah dipidana atas kasus mafia pajak, saat ini pun berstatus sebagai tersangka pemalsuan paspor.
Apa yang dilakukan oleh Gayus merupakan pukulan yang luar biasa telak terhadap wajah hukum Indonesia. Wajah hukum Indonesia yang sudah carut marut semakin dibuat carut marut oleh Gayus. Di mata Gayus, hukum tak ubahnya seperti sebuah permainan. Bisa diatur sesuai dengan selera dan keinginan. Uang menjadi panglima. Dengan uang milyaran dia bisa mempermainkan dan mendikte aparat hukum. Gayus Tambunan pernah mengatakan bahwa yang biasa keluar masuk sel Mako Brimob bukan hanya dia. Hampir semua tahanan korupsi di rutan tersebut pernah keluar rutan untuk berbagai alasan. Tentunya tidak gratis, ada sejumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk menutup mata, telinga, mulut, dan sekaligus nurani para sipir penjara.
Sebenarnya mempermainkan hukum bukan hanya pekerjaan Gayus. Orang-orang yang kebanyakan  dari  kalangan berduit dan memiliki akses politik kepada penguasa biasanya dengan mudah melakukannya. Beberapa contoh kasus diantaranya, suap yang dilakukan oleh Artalyta Suryani alias Ayin kepada Jaksa Untung Tri Gunawan (UTG) tahun 2008. Percobaan suap yang dilakukan oleh Anggodo Wijoyo, adik buron korupsi Anggoro Wijaya kepada dua Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, sel tahanan super mewah Artalyta Suryani di Rutan Pondok Bambu, dan perjokian narapidana di Bojonegoro. Contoh-contoh kasus tersebut hanyalah fenomena gunung es dari kenyataan yang sebenarnya.
Sungguh lucu, mengecewakan, dan sekaligus memprihatinkan kondisi penegakkan hukum khususnya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Seorang terdakwa korupsi masih bisa lenggang kangkung keluar masuk sel pelesiran ke luar negeri, tampil di media bak seorang selebritis. Sama sekali tidak ada rasa malu dan rasa bersalah. Dan ketika mereka bebas pun justru disambut bak pahlawan yang baru pulang dari medan juang oleh para pendukungnya.
Pemberantasan korupsi justru melahirkan korupsi baru. Seperti yang telah penulis sampaikan pada contoh-contoh kasus di atas bahwa para tersangka atau terdakwa korupsi menjadi sapi perahan atau bersekongkol dengan oknum aparat penegak hukum. Jika masih ada aparat penegak hukum bisa disuap, tampaknya masyarakat tidak bisa berharap banyak bahwa hukum akan di tegakkan di Indonesia yang mengklaim diri sebagai negara hukum ini. Hukum hanya berlaku bagi warga miskin, tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Hukum hanya menjadi bahan permainan, bahan olok-olok kaum berduit, dan sekaligus bahan eksploitasi oknum aparat penegak hukum.
Moralitas dan Mentalitas
Korupsi yang terjadi pada pemberantasan korupsi tidak lepas dari moralitas dan mentalitas aparat hukum. Rendahnya gaji disinyalir menjadi salah satu penyebab seorang penegak hukum melakukan korupsi. Untuk itu, mulai tahun 2011 pemerintah melakukan remunerasi di lingkungan lembaga penegak hukum khususnya Polri. Dengan adanya remunerasi, maka kesejahteraan anggota Polri meningkat dan diharapkan dapat meminimalisasi perilaku korup. Walaupun demikian, penulis berpendapat bahwa berapapun gaji dinaikkan tetapi tidak bisa menjamin seseorang melakukan korupsi. Misalnya, Gayus Tambunan. Mantan PNS di Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan ini tetap saja melakukan korupsi walaupun sudah mendapatkan remunerasi. Oleh karena itu, kuncinya ada di moralitas dan mentalitas masing-masing aparat.
Tidak dapat dipungkiri lagi saat ini kehidupan memang sulit. Penghasilan Pegawai Negeri termasuk aparat penegak hukum khususnya pada tingkatan menengah ke bawah masih rendah sedangkan kebutuhan hidup semakin hari semakin meningkat. Godaan korupsi selalu hadir di depan mata, menggoda untuk meruntuhkan idealisme dan keimanan. Kadang kala terjadi dilema atau konflik nilai antara hawa nafsu dengan hati nurani. Dan itu tidak mudah untuk memutuskan.
Banyak aparat penegak hukum yang justru menjadi pelanggar hukum atau berbuat korupsi karena kegagalan hati nurani melawan tuntutan hawa nafsu baik itu karena terdesak kebutuhan atau karena keserakahan. Berkaitan dengan rendahnya moralitas dan mentalitas aparat penegak hukum, tampaknya setiap aparat hukum perlu kembali mengingat janji ketika mereka disumpah dengan menyebut nama Tuhan. Pada waktu disumpah, mereka berjanji akan memegang teguh etika dan moralitas sebagai aparat negara.
Ketegasan
Korupsi dalam pemberantasan korupsi juga akibat dari belum tegaknya supremasi hukum. Hukum belum menjadi panglima di negeri yang katanya menjunjung tinggi supremasi hukum. Hukum bisa diatur sesuai dengan kepentingan seseorang atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, perlu ketegasan dari pemimpin mulai dari pemimpin tingkatan paling rendah sampai kepada Presiden. Banyak kalangan menilai bahwa Presiden tidak tegas dalam pemberantasan korupsi. Presiden memilih untuk bersikap lebih normatif dengan beralasan tidak akan mengintervensi proses hukum karena telah ditangani oleh Polri  dan Kejaksaan.
Kita tentu setuju bahwa proses hukum harus bebas dari intervensi. Masyarakat bukan menuntut Presiden untuk melakukan intervensi terhadap penegakkan hukum, tetapi masyarakat berharap Presiden benar-benar menjadi garda terdepan dalam penegakkan hukum khususnya pemberantasan korupsi, bukan hanya basa-basi dan lebih mementingkan pencitraan. Kita pun setuju bahwa penegakkan hukum tetap dalam mengedepankan asas praduga tidak bersalah dan menghormati Hak Asasi Manusia. Seseorang yang tetapkan menjadi tersangka atau terdakwa tidak sekonyong-konyong sudah divonis pasti bersalah, tetapi harus dibuktikan di pengadilan.
Presiden adalah atasan Polri dan Jaksa Agung. Oleh karena itu, adalah hak dan sekaligus kewajiban Presiden untuk mengawasi, memantau, bertanya, mengevaluasi, menegur bahkan mengganti Kapolri dan Jaksa Agung jika kinerja keduanya rendah atau kurang optimal. Aturan pemberantasan korupsi sudah ada, tinggal bagaimana keseriusan aparat penegak hukum ditambah ketegasan para pemimpin karena ketegasan pemimpin akan berdampak luar biasa dalam penegakkan hukum khususnya pemberantasan korupsi. jangan sampai pemberantasan korupsi justru melahirkan korupsi baru.

Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar