Minggu, 11 September 2011

INTEGRASI NILAI IMTAQ DALAM PEMBELAJARAN

Indonesia saat ini masih berusaha untuk pulih dari krisis multidimensional. Selain masalah ekonomi dan moneter, krisis yang saat ini masih terasa dan cenderung semakin mewabah adalah krisis moral dan keimanan. Indikator sederhana dan kasat mata yang dapat kita lihat antara lain, masih tingginya angka korupsi, semakin maraknya perusakan lingkungan dan pembalakan hutan, semakin tingginya angka aborsi, semakin bertambahnya pengidap HIV/AIDS, orang semakin mudah marah, mudah merusak, mudah bertindak anarkis, makin mudah diprovokasi, semakin mudah putus asa, penegak hukum masih bisa disuap, dan semakin ditinggalkannya nilai-nilai kearifan lokal.
Seiring dengan arus globalisasi membawa sejumlah dampak yang buruk seperti hedonisme, materialisme, individulisme, liberalisme, dan sekularisme kepada masyarakat khususnya pada generasi muda. Hal-hal yang pada masa lalu dianggap tabu sekarang menjadi hal yang dianggap biasa-biasa saja. Pada masyarakat kita tengah berkembang budaya permisif alias pengabaian atau membolehkan suatu tindakan menyimpang terjadi. Perilaku menyimpang bukan hanya terjadi di kalangan para elit dan pejabat tetapi juga hampir terjadi pada semua lapisan masyarakat. Untuk mengatasi berbagai krisis moral tersebut tentu bukan hal yang mudah. Pemerintah bekerjasama dengan berbagai unsur masyarakat perlu berpikir dan berbuat untuk mencari solusi terbaik dalam mengatasi krisis moral tersebut.
Pendidikan dipercaya sebagai salah satu jalan untuk mengatasi krisis moral sekaligus membina moral dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan siswa. Pasal 3 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa  pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tetapi di sisi lain, masalah pendidikan pun dihadapkan pada masalah yang seruius, kita tidak dapat menutup mata bahwa pola pendidikan yang saat ini dilaksanakan belum sepenuhnya dapat mengatasi krisis moral.  Pendidikan belum steril dari perilaku menyimpang pihak yang berkecimpuang di dalamnya. Misalnya, kecurangan pada saat Ujian Nasional (UN), tindakan kekerasan guru terhadap murid, kasus kekerasan antarmurid, seks bebas di kalangan pelajar, penggunaan narkoba di kalangan pelajar, tawuran, cenderung semakin rendahnya wibawa guru di mata murid, dan sebagainya.
Pendidikan kita saat ini lebih berorientasi hasil pada ranah kognitif berupa hafalan-hafalan, sementara ranah afektif belum diperhatikan secara serius sehingga para siswa mengalami degradasi moral dan kemunduran dalam budi pekerti. Tidak jarang ada siswa yang mendapat nilai tinggi tetapi dicapai dengan cara nyontek, sikap dan perilakunya pun kurang terpuji. Arief Rahman, guru besar pendidikan gusar dengan dunia pendidikan di Indonesia yang sudah luntur memberikan pendidikan budi pekerti. Tidak heran jika hasil pendidikan yang hanya mengejar nilai menghasilkan generasi yang kurang peka terhadap lingkungan. Akibatnya banyak lembaga pendidikan menghasilkan kekerasan alias premanisme di lingkungan sekolah (Bumi Lohjinawi:2007).
Dalam konteks pendidikan formal, pendidikan budi pekerti selama ini dibebankan pada mata pelajaran PAI dan PKn.  Kedua mata pelajaran tersebut tak jarang menjadi “kambing hitam” ketika terjadi perilaku menyimpang di kalangan siswa. PAI dan PKn dianggap telah gagal membentuk siswa menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur. Padahal, jika kita mau objektif dan merenung, pembinaan budi pekerti bukan hanya tugas guru PAI dan PKn, tetapi tugas semua guru di sekolah dan dapat diintegrasikan dalam berbagai kegiatan di sekolah serta bekerjasama dengan orang tua siswa/masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam upaya meningkatan keimanan dan ketakwaan siswa melalui lembaga pendidikan sekolah, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah mengembangkan lima strategi, yakni (1) optimalisasi pelaksanaan Pendidikan Agama Islam, (2) integrasi Iptek dan Imtaq dalam proses pembelajaran, (3) pelaksanaan kegiatan ekstra kurikuler berwawasan Imtaq, (4) penciptaan situasi yang kondusif dalam kehidupan sosial  di sekolah, dan (5) melaksanakan kerjasama antara sekolah dengan orangtua dan masyarakat.
Guru adalah salah satu elemen penting dalam mewujudkan program tersebut. guru adalah ujung tombak pembelajaran di kelas. Walaupun dapat melakukannya di luar kelas, cara yang paling sering dan yang paling mungkin dilakukan oleh guru adalah dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai imtaq dalam pembelajaran. Dalam memberikan materi pembelajaran, guru bukan hanya mengejar target kurikulum semata dan fokus terhadap kompetensi yang harus dikuasai siswa, tetapi disisipkan nilai-nilai imtaq sesuai dengan materi yang relevan.
Misalnya, seorang guru olah raga, selain mengajarkan teknik-teknik olah raga juga menyelipkan nilai-nilai sportivitas sebagai ruh dari olah raga. Seorang guru fisika, biologi, atau geografi ketika menjelaskan tentang tata surya, makhluk hidup, atau bumi, disertai atau diperkuat dengan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut. Seorang guru ekonomi, ketika menjelaskan tentang perdagangan dan distribusi barang dapat menyelipkan nilai imtaq berupa dilarang mengurangi timbangan, menjunjung tinggi kejujuran dalam berdagang, dilarang memonopoli, dan dilarang melakukan penimbunan barang yang berakibat menyengsarakan banyak orang. Seorang guru Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bukan hanya mengajarkan bagaimana menguasai perangkat  TIK, tetapi perlu ditekankan bahwa teknologi perlu digunakan untuk kebaikan umat manusia, bukan sebaliknya, merusak umat manusia dan lingkungan.
Ilustrasi di atas hanya beberapa contoh integrasi nilai imtaq dalam pembelajaran. Para guru dapat mengembangkan sendiri nilai-nilai imtaq tersebut sesuai dengan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan pokok bahasan yang relevan.


Penulis, Pegawai LPMP Jawa Barat
(Tulisan ini dimuat di Majalah Suara Daerah PGRI Prov. Jawa Barat Tahun 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar