Minggu, 11 September 2011

ORANG ISLAM “HARUS” KAYA

Sepintas, ungkapan itu terkesan seolah-seolah kita (umat Islam) harus mengagung-agungkan harta, materialistis, berlomba-lomba mencari dan menumpuk kekayaan. Padahal, jika kita telaah lebih dalam, ungkapan tersebut mengingatkan kita bahwa ketika ingin melaksanakan ibadah, membantu orang yang sedang kesusahan, tentu kita harus memiliki harta. Bagaimana kita dapat membantu orang lain, jika kita pun kekurangan? Tetapi, bukan berarti kita tidak boleh membantu orang lain di saat kita pun sedang mengalami kesulitan. Memang, membantu orang lain tidak  dilihat dari seberapa besar bantuan kita, tetapi dilihat dari sejauhmana keikhlasan kita dalam memberikan bantuan.
Dari lima rukun Islam yang harus kita laksanakan, ada dua rukun yaitu zakat dan manunaikan ibadah haji yang mensyaratkan kita dalam melaksanakannya harus memiliki harta yang mencapai nisab dan memiliki harta dan kemampuan yang cukup. Niat dan kemauan saja tidak cukup dalam melaksanakan kedua ibadah tersebut. keduanya harus ditunjang dengan harta.
Islam mengajarkan bahwa “tangan di atas lebih baik dari tangan dibawah”. Hal itu menandakan bahwa kedudukan orang yang memberi lebih mulia dari orang yang diberi. Dengan demikian, kita diharapkan untuk lebih banyak membantu orang lain daripada meminta bantuan orang lain. Allah telah menjanjikan kepada orang yang berbuat kebajikan pada orang lain akan menggantinya dengan pahala yang besar di dunia dan di akhirat.
Rasulullah SAW bersabda “Barang siapa melepaskan seorang mukmin dari kesusahan hidup di dunia, niscaya Alloh akan melepaskan darinya kesusahan di hari kiamat, barang siapa memudahkan urusan (mukmin) yang sulit niscaya Alloh akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat”. (HR Abu Hurairah). Kebaikan yang kita berikan pada orang lain, pada hakikatnya akan kembali pada diri kita sendiri dan melindungi diri kita dari musibah. Rasulullah SAW bersabda “sesungguhnya sedekah itu akan menghalangi seseorang dari bencana”.
Kita tentu merasa miris dan prihatin ketika menjelang kita melihat orang-orang yang berdesak-desakkan saling injak, dan saling dorong pada saat pembagian zakat. Tak jarang, pemberian zakat yang niat awalnya baik, berubah menjadi ricuh dan memakan korban luka dan tewas karena orang-orang tidak sabar dan saling dorong. Demi sekilo beras dan uang puluhan ribu, orang-orang miskin rela berdesak-desakan. Bagi mereka, beras dan uang yang diberikan sang dermawan dapat menjadi penyambung hidup untuk beberapa hari walaupun harus terinjak-injak.
Banyaknya orang yang mengantre dan berdesak-desakkan pada saat pembagian zakat menandakan bahwa di lingkungan kita masih banyak orang miskin. Pemerintah boleh saja bangga dengan capaian-capaiannya dalam bidang ekonomi, tetapi antrean ribuan para penerima zakat tersebut adalah sebuah kenyataan yang tak terbantahkan bahwa di negara kita masih banyak orang miskin yang butuh bantuan.
Pada saat ramadhan, animo kalangan berpunya untuk bersedekah dan membayar zakat cukup tinggi. Hanya masalahnya, masih dilakukan secara sendiri-sendiri, belum disalurkan melalui lembaga-lembaga resmi sehingga masih terjadi kericuhan pada saat pembagiannya. Selain sering menyebabkan kericuhan, zakat yang disalurkan sendiri juga beresiko salah sasaran karena tidak dapat dipungkiri diantara pengantre zakat tersebut ada yang pura-pura jadi pengemis padahal dia orang yang mampu.
Ada semacam kebahagiaan dan kebanggaan ketika kita dapat membantu orang lain. Tetapi, kebaikan yang kita berikan tersebut jangan membuat kita jadi riya dan sombong. Ketika kita membantu orang lain, kita tetap memuliakan orang yang kita bantu tersebut, tidak disertai dengan sikap, perilaku, dan ucapan yang menghina dinakannya agar orang yang kita bantu tersebut tidak merasa terhina dan tidak merasa rendah diri di hadapan kita.
Islam adalah agama yang sangat concern terhadap pentingnya saling membantu antarsesama. Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist banyak ayat dan hadist yang memerintahkan kita untuk saling membantu, mengeluarkan zakat dari harta yang dimiliki, pahala yang diberikan kepada orang senang membantu orang lain, dan ancaman sanksi bagi orang yang enggan membantu orang lain. Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya. Bahkan, khalifah Abu Bakar Shiddiq pernah memerintahkan membakar rumah orang yang tidak mau mengeluarkan zakat.
Kita pun perintahkan oleh Allah untuk meminta rezeki yang banyak. Allah menjamin bahwa setiap do’a yang kita panjatkan akan dikabulkan-Nya. Allah marah ketika ada hamba-Nya yang tidak mau berdo’a pada-Nya dan mencapnya sebagai orang yang sombong. Selian berdo’a memohon rezeki, kita pun diperintahkan untuk menyempurnakan ikhtiar dengan cara yang halal, tidak mendzalimi, dan tidak memakan hak orang lain.
Islam telah mengingatkan bahwa kemiskinan dekat dengan kekufuran. Mengapa demikian? karena orang miskin merasa dirinya tidak diperhatikan oleh Allah, do’a-do’anya tidak didengar oleh Allah sehingga mereka berhenti berdo’a dan mengingari nikmat-nikmat yang telah dikaruniakan Allah padanya. Kemiskinan juga berpotensi melahirkan penyakit sosial berupa tindakan kriminal. Ketika kesenjangan sosial makin menganga, akan berakibat terjadinya kecemburuan sosial dan gejolak sosial. Ketika terjadi gejolak sosial, maka akan melahirkan kerawanan sosial, hilangnya rasa aman dan nyaman dalam kehidupan. Orang-orang kelaparan adalah orang yang berpikir pendek.  Yang penting, bagaimana mereka bisa makan walaupun terpaksa harus mencuri. Oleh karena itu, kita ditekankan untuk mau membantu kesulitan orang lain untuk menyelamatkan mereka dari kekufuran dan sekaligus mengurangi kerawanan sosial.
Adalah benar Rasululullah SAW mencontohkan hidup sederhana dan bersahaja, tetapi tidak melarang umatnya untuk kaya dan memiliki harta sebanyak mungkin. Dengan catatan, mencarinya dengan cara yang baik, digunakan pada hal yang baik, dan sebagian dari harta tersebut digunakan untuk membantu orang lain. Jika kita telaah, Rasulullah SAW adalah orang kaya. Beliau adalah pebisnis yang sukses. Ketika menikah dengan Siti Khadijah, Beliau menyerahkan mahar puluhan ekor unta. Jika dirupiahkan, jumlahnya mencapai miliaran rupiah. Harta Rasulullah tidak digunakan untuk kepentingan pribadinya, tetapi digunakan untuk kepentingan dakwah menegakkan agama Allah. Menjelang wafat, Beliau bertanya pada istrinya, Siti Aisyah, barang kali ada hartanya yang belum diberikan pada orang lain. Alangkah indahnya jika semangat ramadhan khususnya peningkatan solidaritas sosial dapat terpelihara pada sebelas bulan berikutnya. Kita dapat berjihad dan berdakwah dengan harta yang kita miliki.

Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Sosial.
(Tulisan ini dimuat di HU Galamedia, tanggal 29 September 2009) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar