Minggu, 11 September 2011

Caleg dan Potensi Gangguan Jiwa


Ada sebuah catatan menarik dari hingar bingar pelaksanaan kampanye pemilu legislatif 2009. Catatan tersebut adalah sejumlah Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di sejumlah daerah jauh-jauh hari telah menyiapkan ruangan khusus untuk merawat calon legislatif (caleg) yang stres karena gagal terpilih. Misalnya, RSJ Bogor telah menyiapkan 15% dari total ruangannya untuk merawat caleg yang stres akibat gagal terpilih pada pemilu.

Langkah yang dilakukan oleh sejumlah RSJ tersebut mungkin terilhami oleh adanya beberapa calon Kepala Daerah yang mengalami gangguan jiwa karena gagal terpilih menjadi Gubernur / Walikota / Bupati. Mereka yang gagal dalam pilkada maupun pemilu memang dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka telah mengeluarkan banyak pengorbanan baik berupa materi, waktu, dan tenaga untuk bersaing dalam pilkada dan pemilu. Belum lagi ditambah harus menghadapi bebagai manuver dari para pesaingnya dimana kadang-kadang manuver tersebut berupa kampanye negatif (negative campaign) atau kampanye hitam (black campaign). Hal tersebut mengakibatkan masing-masing kandidat menghadapi beban psikologis yang cukup berat.

Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, itulah perumpamaan bagi caleg yang gagal pada pemilu. Di samping tidak terpilih, mereka pun harus rela kehilangan sejumlah uang dan harta yang dipakai modal nyaleg, bahkan ada yang dikejar-kejar utang. Proses politik praktis memang tidak dapat dilepaskan dari biaya politik (cost politic). Dan biaya politik tersebut akan semakin bertambah dengan mewabahnya politik uang (money politic).

Ketika seseorang memutuskan menjadi caleg, maka ada idealnya harus memenuhi beberapa prasyarat. Disamping memenuhi persyaratan administratif dan memiliki kompetensi, juga ada hal yang lain yang perlu diperhatikan. Pertama, dia harus mapan. Artinya, dia harus memiliki modal finansial (financial cost) untuk bekal kampanye. Bukan sebaliknya, menjadi celag justru untuk mengejar kekayaan dan berbagai fasilitas dan keistimewaan. Kedua, dia harus memiliki modal sosial (social cost). Atinya, dia harus memiliki jaringan dan dikenal luas oleh masyarakat, serta memiliki rekam jejak (track record) yang baik di mata masyarakat sehingga peluang untuk dipilih cukup tinggi.

Kampanye pemilu legislatif 2009 yang berlangsung selama sembilan bulan, menyebakan para caleg harus mengeluarkan tenaga ekstra dan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menang dalam pemilu. Pada tingkat DPR Pusat saja, jumlah caleg yang besaing kurang lebih 11.000 orang memperebutkan 580 kursi. Berarti akan ada 10.420 orang yang gagal terpilih. Peluangnya, tiap satu orang akan bersaing dengan sembilan belas orang lainnya. Belum lagi, jika ditambah dengan caleg untuk DPRD dan DPD tentu jumlah caleg yang berpeluang gagal akan semakin banyak. Oleh karena itu, potensi caleg yang mengalami gangguan jiwa juga cukup tinggi. Mekanisme penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak menyebabkan para caleg disamping harus bersaing dengan caleg dari partai lain, mereka juga harus bersaing dengan caleg dari partai yang sama.
Jika ditelaah, gangguan jiwa disebabkan oleh beberapa faktor. Misalnya, krisis ekonomi, PHK, kemiskinan, masalah keluarga, putus asa, tidak siap menghadapi kegagalan, dan faktor keturunan (genetik). Organisasi kesehatan dunia (WHO/ World Health Organization) menyebutkan bahwa dalam rentang tahun 2005-2007, sebanyak 50.000 orang di Indonesia melakukan bunuh diri. Selain itu, sebanyak 25% atau 50 juta dari 220 juta orang Indonesia memiliki gangguan jiwa. Indikator dari seseorang mengalami gangguan jiwa antara lain, mengalami kecemasan, kekhawatiran, depresi, dan stres.

Khusus untuk caleg, penulis berpendapat bahwa gangguan jiwa yang dialami disamping karena masalah kejiwaan, juga tidak lepas dari motivasi (niat) awal menjadi caleg. Walaupun para caleg mungkin mengatakan bahwa mereka niat mereka menjadi caleg untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa motivasi utamanya adalah untuk mendapatkan kekuasaan. Hal tersebut cukup lumrah karena orientasi dari partai politik adalah untuk mendapatkan kekuasaan. Gaji yang besar ditambah berbagai fasilitas dan keistimewaan menyebabkan banyak orang tergiur menjadi caleg. Kita bisa melihat banyak caleg yang begitu ambisius dan jor-joran mempromosikan diri melalui baliho-baliho besar yang terpasang di setiap sudut jalan dan menempel di pohon-pohon dan tembok bangunan. Tentu hal tersebut membutuhkan biaya yang besar. Belum lagi, ketika mereka mengunjungi konstituen, biasanya para konstituen mendapatkan saweran dari caleg.

Gangguan jiwa semestinya tidak terjadi jika para caleg telah siap menang dan siap kalah, siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi, dan bersaing secara fair. Yang terpilih tidak sombong, dan yang kalah harus sadar dengan kekalahannya. Selain itu, pencalegannya harus dilandasi dengan niat baik sebagai sebuah ikhtiar, dimana yang namanya ikhtiar kadang berhasil kadang juga gagal. Gagal menjadi caleg tidak berarti kiamat. Masalah materi yang telah dikeluarkan, walaupun mungkin akan terasa berat, hal tersebut adalah konsekuensi logis dari keikutsertaan sebuah proses politik praktis. Pepatah barat mengatakan no lunch free artinya tak ada makan siang gratis. Maksudnya, segala sesuatu membutuhkan modal. Mudah-mudahan prediksi bahwa akan banyak caleg yang mengalami gangguan jiwa pascapemilu tidak terjadi karena mereka telah menyiapkan mental mereka menghadapi berbagai kemungkinan baik menang maupun kalah.

Penulis, Pemerhati Sosial, Praktisi Pendidikan.

(Tulisan ini dimuat di HU Pelita, 20 April 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar