Minggu, 11 September 2011

CALEG GAGAL DAN TOPENG KEBAJIKAN

DARI sekian banyak fenomena yang muncul pada Pemilu Legislatif 2009 seperti perolehan suara partai demokrat yang naik 300%, yaitu dengan memperoleh sekitar 20% suara dibandingkan Pemilu 2004 yang hanya memperoleh sekitar 6% suara, fenomena calon legislatif (caleg) artis yang mengalahkan caleg dari kalangan elite partai dan politisi, ada fenomena yang banyak disorot dan banyak diberitakan oleh media massa, yaitu banyaknya calon legislatif (caleg) yang stres akibat gagal terpilih.

Hervita Diatri, psikiater dari Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI) memprediksikan sebanyak 186.000 caleg berpotensi mengalami gangguan jiwa pascapemilu. Sementara Dr. Teddy Hidayat, Ketua Tim Dokter Pemeriksaan Kesehatan Caleg Pemilu 2009 Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung menyatakan bahwa sebanyak 22% dari 100 caleg rentan mengalami stres atau depresi, ironisnya lagi, ternyata hanya 16% dari 100 caleg yang dinyatakan sehat jiwa maupun kepribadiannya (Galamedia, 14/4/2009).

Berbagai reaksi negatif yang dilakukan atau diperlihatkan para caleg yang gagal tidak lepas dari rasa kecewa, rasa frustrasi, bahkan putus asa atas kegagalannya dalam pemilu. Mereka telah banyak mengorbankan banyak materi (uang), waktu, tenaga pada waktu kampanye tetapi hasilnya jauh dari harapan. Banyak di antara mereka yang menjual harta, bahkan berutang untuk menggalang modal kampanye. Alangkah terkejut dan kecewa ketika mereka mengetahui bahwa suara yang diperoleh tidak sebesar yang diharapkan dan tidak sebanding dengan modal besar yang telah dikeluarkan.

Rasulullah Muhammad SAW mengingatkan dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari Muslim bahwa "Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan sesuai niatnya...."

hadist tersebut berpesan tentang kedudukan niat ketika seseorang melakukan suatu pekerjaan. Jika niatnya baik, yang didapatkan adalah hal yang baik dan jika niatnya buruk, yang didapatkannya pun adalah hal yang buruk pula.

Untuk terpilih, beragam cara pun dilakukan, mulai dari menyampaikan janji-janji manis pro rakyat, beriklan di media massa, memasang berbagai alat peraga kampanye, terjun mendekati masyarakat, sampai melakukan politik uang (money politics). Semua itu tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit sehingga mereka satekah polah menggalang dana kampanye.

Ketika caleg yang gagal mengalami stres, hampir dapat dipastikan bahwa niat mereka menjadi caleg bukan untuk tujuan ideal sebagaimana disebutkan di atas, tetapi hanya untuk kepentingan pribadi dan ambisi mendapatkan kekuasaan semata. Oleh karena itu, ketika berhadapan dengan kegagalan, mereka bukannya sadar tetapi melakukan berbagai tindakan negatif dan perilaku tidak terpuji.

Topeng

Ketika ada caleg yang gagal mengambil kembali bantuan yang telah diberikan kepada masyarakat, itu adalah tindakan yang tidak beretika. Sadar atau sadar, mereka telah membuka topeng kebajikan yang selama ini dipakai. Akhirnya muka asli dan tabiat mereka terlihat. Mereka memberikan bantuan atau sumbangan kepada masyarakat tidak dilandasi oleh keikhlasan atau tanpa pamrih, tetapi ditumpangi kepentingan agar masyarakat mau memilihnya. Mereka ingin membangun citra di hadapan masyarakat sebagai sosok yang dermawan dan peduli terhadap kesulitan masyarakat. Mereka ingin menjadi "politisi tauge", yaitu politisi yang membangun citra diri dalam waktu singkat seperti menanam tauge yang dapat ditanam dan dipanen dalam waktu satu malam.

Para caleg stres adalah caleg yang hanya siap menang tapi tidak siap kalah dan sikap dan perilaku tidak terpuji yang dilakukannya hanya akan merugikan dirinya dan meruntuhkan citranya di mata masyarakat. Ketika suatu saat dia mencalonkan lagi menjadi caleg, masyarakat akan kapok menerima bantuannya dan tidak mau memilihnya karena takut. Berbeda jika mereka sadar bahwa kegagalannya merupakan konsekuensi dari sebuah persaingan di mana ada yang kalah dan yang menang. Ketika kalah, mereka tetap menjaga hubungan baik dengan masyarakat, melakukan introspeksi diri, dan tidak murang-maring mencari kambing hitam atas kegagalannya.

(Penulis, pemerhati sosial, praktisi pendidikan)**
(Tulisan ini dimuat di HU Galamedia, 23 April 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar