Kamis, 27 Oktober 2011


SUMPAH PEMUDA DALAM SEMANGAT SEA GAMES
Oleh:
IDRIS APANDI


Dalam hitungan hari, perhelatan pesta olah raga negara-negara ASEAN yang disingkat Sea Games berlangsung di Indonesia. Rencanannya akan berlangsung dari tanggal 11 sampai dengan 22 Nopember 2011 di Jakarta dan Palembang. Kita tentunya bangga Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah, tetapi di sisi lain kita khawatir pelaksanaannya tidak berjalan sukses. Sebagaimana diketahui bahwa persiapan Sea Games diganggu dengan kasus suap Wisma Atlet yang melibatkan Sesmenpora, beberapa anggota DPR, dan beberapa orang pengusaha.
Dibalik kasus suap yang mewarnai persiapan pelaksanaan Sea Games tersebut, seluruh bangsa Indonesia berharap bahwa Sea Games berjalan sukses karena disamping berkaitan dengan kebanggaan sebagai sebuah bangsa, juga berkaitan dengan harkat dan martabat bangsa. Kesuksesan kita sebagai tuan rumah penyelenggaraan Sea Games, tentunya akan bertambah jika Indonesia bisa menjadi sebagai juara umum. Dari sisi waktu, pelaksanaan, Sea Games dilaksanakan di angka serba 11, yang bisa dikatakan sebagai angka yang cantik, yaitu tanggal 11, bulan 11, tahun 2011, dan diikuti oleh 11 negara.
Kita tentu tidak mau malu ketika negara-negara peserta mengeluhkan rendahnya kualitas penyelenggaraan dan pelayanan Sea Games. Banyak pihak mulai ketar-ketir pelaksanaan Sea Games tidak berjalan dengan sukses karena berdasarkan perkembangan terakhir, ada beberapa venue pertandingan olah raga belum siap atau belum selesai dikerjakan padahal pelaksanaan Sea Games. Keterlambatan pengucuran dana disinyalir menjadi penghambat rampungnya penyelesaian berbagai venue pertandingan sehingga presiden harus mengeluarkan instruksi Presiden agar pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan Sea Games tidak melalui tender. Menegpora dan Panitia Sea Games mencoba untuk optimis, terus menggenjot pembangunan sarana dan prasarana Sea Games. Namun, pembangunan yang tergesa-gesa juga dikhawatirkan pengerjaannya asal-asalan. Hanya mengejar target tapi kurang memperhatikan kualitas.
Penyelenggaraan Sea Games tahun ini terasa istimewa karena sebelum digelarnya event tersebut pada bulan Nopember, pada bulan Oktober kita memperingati Hari Sumpah Pemuda. Semangat Sumpah Pemuda tersebut kita harapkan menjadi pelecut semangat bagi para atlet untuk mempersembahkan yang terbaik, mengukir prestasi untuk kebanggaan bangsa dan negara.
Jika kita mengaju kepada sejarah lahirnya Sumpah Pemuda merupakan bagian penting dari episode pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai daerah berkumpul dan menyatukan visi untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia. Pada momen itu pula pertama kali diperdengarkannya lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh WR Supratman. Pada saat itu, para pemuda mau melepaskan ego kedaerahan dan mengedepankan semangat kebangsaan. Mereka menyadari bahwa perjuangan yang bersifat kedaerahan terbukti gagal karena disamping lemah, juga mudah dipecah belah. Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia mencapai titik kulminasinya dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta.
Pesan dan semangat Sumpah Pemuda sangat relevan utnuk digelorakan saat ini khususnya dalam rangka memberikan dukungan kepada para atlet Sea Games. 250 juta rakyat Indonesia sudah pasti mendukung dan mendo’akan kontingen Indonesia bisa menjadi juara umum. Di tengah pacekliknya prestasi olah raga nasional, bangsa Indonesia mengharapkan kontingen Indonesia menjadi juara umum meskipun pasti tidak mudah. Sea Games tahun 1999 di Brunei Darussalam, menjadi awal mula terpuruknya prestasi atlet nasional. Setelah 1997, prestasi olahraga Indonesia sangat memprihatinkan, pada Sea Games di Brunei Darussalam Indonesia menempati posisi ke-3, selanjutnya dalam 4 (empat) kali Sea Games berikutnya, prestasi atlet nasional tidak ada peningkatan Sea Game 2001 posisi ke-3, tahun 2003 posisi ke-3, tahun 2005 poisisi ke 5, tahun 2007 posisi ke-4, tahun 2009 posisi ke-3.
Peluang untuk menjadi juara umum tetap ada meskipun berat. Pada persiapan Sea Games,  para  atlet dihadapkan pada keterbatasan khususnya keterbatasan sarana yang kurang dan dana yang datang terlambat. Bahkan atlet harus mengeluarkan uang pribadi untuk membeli paralatan latihan. Hal ini tentunya sangat ironis. Di satu sisi mereka diharapkan berlatih secara optilmal dan mengukir prestasi, tetapi di sisi lain, kebutuhannya kurang difasilitasi oleh pemerintah.
 Kita patut sangat menghargai kerelaan para atlet tersebut berlatih dalam keterbatasan dan mau mengeluarkan uang sendiri untuk membeli peralatan untuk latihan. Hal tersebut bisa kita lihat sebagai bentuk pengorbanan untuk kepentingan bangsa dan negara, dan sebagai simbol nasionalisme dan patriotisme mereka. Semoga kerja keras mereka berbuah manis mendapatkan medali emas.

Dan juga alangkah sangat ironis, ketika para atlet latihan keras, pengadaan infrastruktur untuk Sea Games justru menjadi sarana korupsi segelintir orang sehingga kita sebagai bangsa malu, Sea Gamesnya belum dilaksanakan, tapi korupsinya sudah terjadi duluan. Pengadaan sarana dan prasarana bukannya dijadikan sarana untuk membuktikan bahwa Indonesia dapat membuat fasilitas Sea Games yang memuaskan, berstandar internasional, tapi ternyata dijadikan sarana untuk rebutan proyek.
Sebagai tuan rumah, kita mengharapkan lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang sebagai tanda atlet-atlet menjuarai cabang-cabang olah raga dan menngumpulkan pundi-pundi emas. Para atlet yang notabene pada umumnya adalah pemuda diharapkan dapat memaknai lagu kebangsaan Indonesia Raya sehingga menjadi energi yang luar biasa berjuang sampai titik darah penghabisan.

Dulu kita bangga memiliki atlet yang bisa mengharumkan nama bangsa. Misalnya pada cabang olah raga bulu tangkis. Prestasi yang dicapai bukan hanya di level Sea Games, tetapi Asian Games, bahkan Olimpiade. Kini, kita krisis prestasi olah raga. Pada perhelatan Piala AFF beberapa waktu yang lalu, kita berharap banyak kepada Timnas untuk berprestasi tetapi gagal di partai final, dikalahkan oleh Malaysia. Kemudian pada penyisihan Piala Dunia 2014, peluang Timnas bisa di katakan tertutup karena kalah oleh Iran, Bahrain, dan Qatar. Sekarang, masyarakat berharap banyak seluruh atlet Sea Games untuk dapat berprestasi.
Sekali lagi, di tengah persiapan Sea Games yang morat-marit ini, semoga pesan dan semangat Sumpah Pemuda dapat menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia untuk menyukseskan Sea Games, baik sukses penyelenggaraan maupun sukses prestasi. Semoga...!!!

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Pemerhati Masalah Sosial.

PERAN PEMUDA DI TENGAH KRISIS KEPEMIMPINAN
Oleh:
IDRIS APANDI

“Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru! Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia.” Kalimat itu diucapkan Soekarno, sang Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia sebagai gambaran pentingnya kekuatan dan peran pemuda dalam pembangunan mengisi kemerdekaan. Jika berkaca kepada sejarah dunia, kiprah pemuda telah banyak merubah wajah dunia dan mampu membangun atau memperbaiki peradaban.
Sejarah perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia memang tidak lepas dari peran pemuda. Peran pemuda diawali ketika  tahun 1908, Dr. Soetomo dan kawan-kawannya mendirikan organisasi Budi Utomo. Tanggal 28 Oktober 1928, melalui Kongres Pemuda II di Jakarta, para pemuda dari berbagai daerah seperti Jong Java, Jong Islamiten Bond, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Ambon, dan kelompok pemuda lainnya berkumpul menyatukan visi memperjuangkan kemerdekaan dengan mengikrarkan “Sumpah Pemuda”, yaitu berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu, Indonesia. Walaupun berbeda-beda suku bangsa, adat, dan budaya, tapi mereka mampu melepaskan ego masing-masing, mau bersatu demi Indonesia merdeka. Hal ini dilandasi oleh pengalaman bahwa perjuangan yang bersifat kedaerahan gagal dalam mengusir penjajah karena kekuatan yang kecil dan mudah dipecah belah. Perjuangan kemerdekaan Indonesia mencapai titik kulminasinya pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan diproklamirkannya kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) oleh Soekarno-Hatta.
Disamping dua nama proklamator di atas, kita tentu mengenal banyak tokoh pejuang kemerdekaan, seperti Sutan Sjahrir, Muhammad Yamin, Sjafrudin Prawiranegara, Muhammad Toha, Oto Iskandar Dinata, dan lain-lain. Di usia muda mereka sudah gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.Yang menjadi modal utama mereka bukanlah senjata, tetapi idealisme dan cita-cita agar Indonesia merdeka. Mereka berjuang tanpa pamrih, tak mengharapkan imbalan, tak ingin dipuji, dan tak ingin nama mereka dibesar-besarkan. Tetapi karena jasa-jasanya tersebut, nama mereka di tulis dalam tinta emas sejarah perjuangan bangsa.
Para founding father tersebut telah menitipkan negeri ini kepada kita khususnya para pemuda untuk melanjutkan cita-cita mereka mengisi kemerdekaan dengan pembangunan dalam berbagai bidang. Setelah 66 tahun kemerdekaan negeri ini, kita tentu dapat melihat ada  pembangunan yang dilakukan. Walaupun demikian, kita pun pun tak menutup mata masih banyak kekurangan dalam berbagai hal. Kemakmuran rakyat yang merupakan amanat konstitusi belum bisa terwujud. Kue pembangunan belum bisa dirasakan oleh semua warga masyarakat. Dan korupsi pun semakin merajalela.
Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah banyak ditinggalkan. Banyak kalangan menilai bahwa kebijakan pemerintah Indonesia sekarang sudah mengacu kepada faham neo-liberalisme dimana berlaku persaingan bebas, tidak berupaya memperkuat ekonomi kerakyatan sebagai fondasi ekonomi nasional. Hukum yang berlaku dalam pasar persaingan babas adalah yang memiliki banyak modal, itulah yang akan menjadi penguasa, sedangkan yang kurang memiliki modal akan tersisih dari persaingan. Dengan kata lain, yang kuatlah yang akan menang. Pemerintah mengimpor beras, garam, bawang merah, dan  kentang sementara para petani merana karena hasil taninya sulit bersaing dengan produk impor. Keberadaan pasar tradisional semakin terdesak oleh pasar modern.
Kesenjangan antara kaum kaya dan miskin semakin lebar. Berdasarkan hasil penelitian terbaru diketahui fakta yang cukup mencengangkan. Dalam kurun waktu 1,5 tahun, sejak Januari 2010 hingga Juni 2011, kenaikan kekayaan orang Indonesia mencapai US$420 miliar atau sekitar Rp3.738 triliun.  Dengan kenaikan itu, kekayaan total orang Indonesia di pertengahan 2011 mencapai US$1,8 triliun atau Rp16.000 triliun. Pertumbuhan kekayaan itu menjadikan Indonesia duduk pada urutan ke-14 negara kontributor tertinggi bagi pertumbuhan kekayaan global. Fakta itu jelas mencengangkan. Bayangkan, pertumbuhan kekayaan orang Indonesia itu tertinggi di Asia Tenggara. Indonesia berada di atas Singapura, yang mencatat kenaikan kekayaan US$307 miliar (Media Indonesia, 20/10/2011). Sementara di sisi lain, sekitar 40 juta rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Inilah gambaran tidak meratanya distribusi kesejahteraan. Yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin miskin.
Mengenai data konkrit jumlah penduduk miskin sering terjadi perdebatan antara versi Badan Pusat Statistik (BPS) dan versi Bank Dunia (World Bank). Hal ini terjadi karena perbedaan kriteria. BPS menyatakan bahwa orang miskin adalah yang berpenghasilan Rp 200 ribu ke bawah, sementara yang berpenghasilan di atasnya tidak termasuk ketagori orang miskin. Sedangkan kriteria Bank Dunia, yang disebut orang miskin jika berpenghasilan di bawah 2 (dua)  dollar US per hari. Kita sebenarnya tidak mau terjebak kepada perdebatan tersebut. Yang jelas, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak orang semakin terbebani dengan kenaikan harga-harga sembako, pendidikan dan kesehatan yang semakin tidak terjangkau, dan sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan. Dampaknya, banyak orang yang mengalami gangguan jiwa, stres, mudah tersulut emosi, dan melakukan tindakan kriminal.
Kesejahteraan sebuah negeri memang tidak lepas dari peran pemimpin. Melalui Pemilu atau Pemulikada kita memilih pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Tetapi yang terjadi adalah banyak pemimpin yang mengingkari mandat rakyat. Bukannya mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, justru mereka aji mumpung, menyalahgunakan jabatan dan wewenang yang dimilikinya untuk memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya dengan melakukan korupsi.
Di masa reformasi, peran pemuda tak terbantahkan. Pemuda khususnya kalangan mahasiswa berhasil menjatuhkan rezim otoriter Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto tahun 1998. Setelah itu, kita melihat para pemuda banyak berkiprah di dunia politik, aktif baik di eksekutif maupun di legislatif. Para pemimpin muda tersebut kita harapkan dapat menjadi lokomotif perubahan. Tetapi kita harus kecewa manakala pemimpin muda banyak juga yang terseret ke pusaran korupsi. Idealisme yang dulu mereka gelorakan lambat laun menurun bahkan padam. Idealisme mereka luluh oleh gegap gempita pragmatisme dan  praktek politik kotor yang diwarnai oleh politik uang (money politic) dan politik dagang sapi.
Saat ini kaum pemuda mengalami krisis kepemimpinan, para pemimpin saat ini tidak mampu mencerminkan keteladanan. Mereka banyak yang gontok-gontokkan terlibat perebutan  kekuasaan. Di satu sisi meminta rakyat hidup sederhana tetapi di sisi lain mereka hidup bermewah-mewahan dan bergelimang fasilitas yang berasal dari uang rakyat.
Diakui atau tidak, label negatif juga melekat pada sebagian pemuda. Pemuda yang saat ini banyak yang lebih senang tawuran daripada belajar, bermental copy-paste, bermental instan, tak mau susah-susah dalam menggapai sebuah cita-cita, banyak terlibat penyalahgunaan narkoba, dan seks bebas. Pemuda kita lebih senang nongkrong di mall daripada di membaca di perpustakaan meskipun mungkin aktivitas membaca bisa dilakukan dimana saja termasuk dengan memanfaatkan fasilitas wi-fi internet di cafe-cafe. Mereka lebih secang membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kesenangan daripada mendiskusikan kondisi bangsa dan negara. Mungkin mereka apatis karena negara ini kondisinya sudah sedemikian memperihatinkan. Menyelesaikan mnasalah di negeri ini ibarat mengurai benang kusut, yang tidak tahu harus mulai dari mana. Berbagai upaya juga kadang menemui jalan buntu karena ketidakseriusan pemerintah, lemahnya peran serta masyarakat, dan tidak tegaknya supremasi hukum.
Nasionalisme dan patriotisme pemuda saat banyak dipertanyakan. Dulu, ketika pemuda menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya atau lagu-lagu perjuangan, semangat mereka bergelora, bahkan ada yang sampai meneteskan air mata. Tetapi sekarang, lagu Indonesia Raya, hanya sekedar dinyanyikan, kurang dihayati makna yang terkandung di dalamnya sehingga kurang menyentuh. Bahkan ada yang menyanyikannya sambil bermain-main. Ukuran nasionalisme memang tidak hanya dapat diukur dengan sejauhmana keseriusan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, tetapi setidaknya bisa menjadi salah satu ciri dari rasa nasionalisme seseorang.
Begitu pun penghormatan terhadap bendera Merah Putih. Tidak lagi diperlakukan sebagai sebuah lambang negara yang sakral. Kadang, bendera yang terpasang di halaman kantor atau rumah dibiarkan terkena hujan dan panas sampai lapuk. Cara melipatnya pun sembarangan, tidak disertai dengan penghormatan. Berbeda dengan para pejuang kemerdekaan atau veteran pejuang memperlakukan sang Merah Putih dengan penuh penghormatan. Dalam sejarah, kita tentu pernah membaca bagaimana Ibu Fatmawati Soekarno menjahit bendera merah putih dan para pemuda menyimpan bendera tersebut untuk dikibarkan pada saat proklamasi kemerdekaan RI. Begitupun peristiwa di Hotel Yamato Surabaya tahun 1945 yang begitu heroik.  Dengan bertaruh nyawa para pejuang naik ke atap hotel kemudian merobek warna biru bendera Belanda sehingga menjadi warna merah putih.
Disamping label negatif yang dilekatkan kepada sebagian pemuda, kita patut bangga. Masih banyak pemuda yang berprestasi di berbagai bidang seperti olimpiade Fisika, Matematika, Komputer, olah raga, seni, dan budaya. Kita pun perlu mengapresiasi para pemuda yang menjadi pelopor terhadap berbagai kegiatan positif baik di kampus maupun di lingkungan masyarakatnya. Banyak diantara mereka yang menjadi sukarelawan dan pekerja sosial sehingga kiprah mereka benar-benar dirasakan oleh masyarakat.
Ketika para pemuda saat ini tengah mengalami krisis keteladanan pemimpin, pemuda sendiri-lah yang harus membangun dirinya sebagai calon pemimpin bangsa. Mereka harus meretas jalannya sendiri untuk meneruskan tongkat estafet pembangunan. Mereka harus berusaha memelihara idealismenya. Memang tidaklah mudah untuk mempertahankan idealisme di tengah budaya pragmatis yang semakin menggejala. Ketika sudah terjun ke lapangan, banyak sekali konflik kepentingan, kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Tetapi, pemuda perlu berupaya sekuat tenaga untuk untuk tidak tergerus pragmatisme. Peran organisasi pemuda juga perlu lebih diperkuat dalam mencetak pemuda menjadi insan-insan pembangunan yang memiliki idealisme dan karakter. Peribahasa mengatakan “air laut boleh asin, tapi ikan tidak ikut asin.” Mampukah? Waktulah yang akan menjawabnya. Wallahu a’lam.

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Pemerhati Masalah Sosial

Senin, 24 Oktober 2011


HAJI DALAM PERSPEKTIF BUDAYA

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang  yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta Alam.”
(QS Ali-Imran : 97)

Iring-iringan mobil tampak mengantarkan kloter calon jemaah haji ke suatu tempat yang telah ditentukan. Supaya mudah dikenal, pada kaca bagian depan dan belakang mobil ditempel kertas yang bertuliskan rombongan pengantar ibadah haji. Pemandangan seperti akan sering kita lihat menjelang masuknya musim haji dan akan semakin banyak jika sudah mendekati bulan dzuhijjah.
Sebagaimana kita ketahui menunaikan ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Allah mewajibkan kepada semua umat Islam yang mampu untuk menunaikannnya. Setiap umat Islam tentu mengharapkan suatu saat dapat menginjakkan kakinya di Baitullah karena itulah taraf ibadah paling tinggi dari ibadah-ibadah lainnya karena ibadah tersebut memerlukan persiapan lahir dan batin. Persiapan lahir berupa bekal, biaya, dan fisik yang kuat sementara persiapan batin berupa niat yang kuat, keimanan yang kokoh, dan kepasrahan terhadap semua ketentuan Allah SWT.
Ibadah haji disamping merupakan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah yang penuh dengan berbagai keutamaan dibandingkan ibadah yang dilakukan di luar Mekkah-madinah, juga merupakan bentuk pengalaman sipiritual yang sangat berkesan, tidak mungkin terlupakan bagi yang telah menunaikannya. Karena keutamaannya, orang yang pernah menunaikan ibadah haji pun, merinndukan suatu saat dapat menunaikannya kembali. Setiap jemaah haji tentunya berharap menjadi haji mabrur.
Menunaikan ibadah haji sebenarnya bukan hanya berkaitan dengan masalah biaya, tetapi juga berkaitan dengan taufik-hidayah Allah, dan nasib. Banyak yang secara materi sudah mampu tetapi hatinya belum tergerak menunaikan ibadah haji, tetapi ada kalanya ada orang yang secara materi kekurangan tetapi dapat menunaikan ibadah haji karena sudah “dipanggil” pergi Baitullah oleh Allah SWT. Orang yang sudah sampai ke Baitullah pun, tidak dapat menyelesaikan rangkaian rukun haji karena keburu meninggal. Selain itu, ada juga yang sudah pamitan dari rumah, ternyata tidak dapat berangkat ke Mekkah karena terlantar (atau diterlantarkan) oleh perusahaan pemberangkatan jemaah haji.
Indonesia termasuk salah satu negara negara yang setiap tahunnya mengirim jemaah haji paling banyak ke Saudi Arabia. Jumlahnya mencapai ratusan ribu orang. Bahkan kuota jemaah haji setiap tahun selalu terbatas sehingga orang harus sabar menanti bertahun-tahun untuk mendapatkan giliran menunaikan ibadah haji. Banyaknya warga yang ngantri ingin menunaikan ibadah haji selian berasal dari orang yang sama sekali belum menunaikannya, juga berasal dari orang yang ingin menunaikan ibadah haji kembali meskipun wajibnya hanya satu kali saja. Banyaknya orang yang ingin menunaikan ibadah haji juga menjadi indikator bahwa banyak rakyat Indonesia yang hidup sejahtera dibalik banyak pula rakyat yang hidup kekurangan.
Budaya
Pelaksanaan ibadah haji disamping bisa dikaji dari konteks religi, juga dapat dikaji dari konteks budaya. Jika kita perhatikan, setiap orang yang berniat menunaikan ibadah haji, maka jauh-jauh hari sudah menabung. Bagi petani, mereka rela menjual sawah dan ladang untuk bisa menunaikan ibadah haji. Ketika mereka sudah dipastikan mendapatkan kuota, mereka pun intens melakukan bimbingan (manasik) ibadah haji sebagai persiapan untuk melakukan berbagai ritual ibadah haji. Menjelang keberangkatan, mereka pun melakukan syukuran (walimatussafar). Mereka mengundang tetangga dan sahabat untuk menghadiri syukuran. Kegiatan disamping diisi dengan do’a juga diisi dengan tausyiah dari seorang mubaligh.
Jika kita perhatikan, pada saat orang-orang menghadiri undangan, ada tradisi menyerahkan amplop sebagai bentuk “kebaikan” untuk “bekal” orang yang akan pergi haji. Padahal, logikanya tidak semata-mata orang akan pergi haji jika tidak memiliki bekal yang cukup baik untuk dirinya ataupun keluarga yang ditinggalkannya. Biasanya, amplop-amplop tersebut dicatat oleh orang yang pergi haji tersebut. Ketika pulang dari ibadah haji, orang-orang yang memberikan amplop tersebut diberikan cinderamata atau “oleh-oleh” haji walaupun membelinya dari di Indonesia. Mereka pun telah mempersiapkan oleh-oleh untuk yang  berkunjung ke rumah. Ada semacam beban psikologis ketika pulang ibadah haji tidak memberikan cinderamata kepada tetangga, walaupun hanya sebuah tasbih.
Ketika pergi dari rumah menuju tempat penampungan (embarkasi), mereka diantar oleh keluarga, tetangga, dan sahabatnya. Ada kalanya jemaah haji harus menyiapkan akomodasi dan transportasi bagi pengantar. Jumlahnya bisa bermobil-mobil. Dan juga, biasanya para pengantar, disamping mengantar jemaah haji juga sekalian jalan-jalan dan berwisata. Pemandangan iring-iringan pengantar jemaah haji mungkin hanya terjadi di Indonesia, sedangkan di negara-negara lain, ibadah haji dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja. Biasanya, orang satu kampung tahu tentang keberangkatan seseorang untuk beribadah haji.
Ketika mereka sampai di Mekkah-Madinah, mereka mereka melakukan rangkaian rukun ibadah haji seperti ihram (memakai dua lembar kain putih), thawaf (mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali), sa’i (lari-lari kecil sebanyak tujuh kali antara safa dan marwa), wukuf (berdiam diri dan berdo’a di padang arafah pada tanggal sembilan dzulhijjah), melontar jumrah, tahallul (menggunting rambut setelah melakukan sa’i), mabit (bermalam di Mina dan Muzdalifah). Selama menunaikan ibadah haji, para jemaah haji diwajibkan memanfaatkan waktunya untuk senantiasa beribadah kepada Allah SWT karena ibadah haji merupakan kesempatan yang sangat berharga dan istimewa untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.
Pada saat pulang ke tanah air, para jemaah haji siap-siap dijemput oleh keluarga yang sudah cukup lama menunggu. Mereka saling berpelukan disertai tangis bahagia karena dapat kembali ke tanah air dalam keadaan selamat karena tak sedikit jamaah haji yang pulang nama, meninggal dan dikebumikan di Saudi Arabia. Setelah itu, pada umumnya mereka biasanya dipanggil “Pak Haji” dan “Bu Hajah”. Tak ketinggalan, huruf “H” atau “Hj” juga dicantumkan di awal namanya. Tapi ada juga sebagian kecil orang yang tidak mau dipanggil “Haji” atau “Hajah” atau mencantuman “gelar” kehajiannya karena menilai haji bukan sebuah gelar, tapi terlihat dari peningkatan kualitas keimanan, ketakaqwaan, dan akhlak setelah menunaikan ibadah haji. Atau dengan kata lain, menjadi haji mabrur (diterima Allah).
Di kampung-kampung yang masih cenderung feodal, seorang haji mendapatkan posisi status sosial yang lebih tinggi dari warga yang belum menunaikan ibadah haji. Mereka dijadikan pemimpin dan sosok panutan. Sayangnya, tak semua orang yang telah menunaikan ibadah haji mampu menampilkan pribadi terpuji yang diharapkan sehingga suka muncul istilah “haji...haji...tapi...”. Banyak yang sudah pergi haji tetapi masih sombong, riya, ingin dipuji orang, pelit, kurang memiliki kepedulian sosial, pelit untuk beramal, tidak mampu menjaga perkataan, sikap, dan perbuatannya sehingga justru dilecehkan oleh orang lain. itulah gambaran haji yang mardud (ditolak Allah). Sekarang tinggal kembali kepada setiap jemaah haji, apakah dia menunaikan ibadah haji dilandasi niat ikhlas untuk lebih bertaqarrub kepada Allah, atau hanya sebatas mengejar gengsi atau status sosial. Dan jawabannya akan terlihat dari perkataan, sikap, dan perilaku pasca menunaikan ibadah haji.
Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial.

Selasa, 04 Oktober 2011


POLITISI DAN KORUPSI


Korupsi terjadi hampir di setiap kalangan masyarakat, tak terkecuali di kalangan politisi. Politisi adalah orang yang bergerak atau berkecimpung di dunia politik. Politik sejatinya dapat diartikan sebagai ikhtiar mengelola negara untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Politik adalah lahan pengabdian untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Menjadi politisi adalah suatu pekerjaan yang sangat mulia. Para politisi menduduki jabatan-jabatan tertentu di lembaga politik seperti legislatif dan eksekutif. Politisi bisa muncul dari partai politik atau dari perseorangan.
Melihat fenomena beberapa tahun terakhir memang sangat memprihatinkan. Banyak politisi yang harus duduk di meja hijau dan dijeblosan ke penjara karena terlibat kasus korupsi. Bukan hanya politisi di tingkat pusat, politisi di tingkat daerah pun banyak yang terjerat korupsi. Lahan basah yang menjadi objek korupsi para politisi adalah APBD dan APBN. Bahkan ada yang nyambi menjadi calo anggaran.
Kasus-kasus korupsi yang paling update, misalnya kasus suap Sesmenpora, suap di Kemenakertrans, kasus surat Palsu MK yang disamping melibatkan politisi juga melibatkan kalangan birokrasi dan aparat penegak hukum. Saat ini pun muncul tuntutan agar Badan Anggaran (banggar) DPR dibubarkan karena disinyalir hanya menjadi ajang korupsi dan calo anggaran.  Beberapa pimpinan banggar DPR beberapa waktu yang lalu diperiksa sebagai saksi oleh KPK. Buntutnya, banggar pun ngambek mengancam menghentikan pembahasan APBN 2012. Selain itu, hubungan antara banggar DPR dan KPK pun menjadi kurang harmonis. Kita juga tentu masih ingat, beberapa waktu yang lalu dua orang pimpinan KPK, yaitu Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto pun pernah diusir oleh Komisi III DPR pada saat menghadiri rapat. Hal tersebut membuktikan bahwa hubungan antara KPK dan DPR kurang harmonis. Sudah cukup banyak anggota DPR yang dijebloskan oleh penjara oleh KPK sementara di satu sisi, para pimpinan KPK tersebut dipilih oleh DPR, sehingga ada semacam anggapan bahwa KPK justru menyerang lembaga yang dulu memilihnya.
Survei Kemitraan tahun 2010 memperlihatkan bahwa lembaga legislatif menempati urutan nomor satu sebagai lembaga terkorup dibandingkan lembaga yudikatif dan eksekutif.  Hasil survei tersebut menyebutkan korupsi legislatif sebesar 78%, eksekutif 32% dan Yudikatif 70%. Hasil survei tersebut dapat menjadi indikator bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga politik atau politisi sudah sangat rendah. Dampaknya, mungkin saja pada saat pemilu atau pemilukada, masyarakat sudah apatis dan memilih menjadi golput karena merasa dikhianati oleh para politisi yang mereka pilih.
Para politisi tersebut dipilih dan diberi amanah oleh masyarakat dengan harapan mampu memberikan perubahan dan mewujudkan kesejahteraan, tetapi kenyataannya berbanding terbalik. Para politisi tersebut justru menjadikan lembaga legislatif dan eksekutif sebagai sarana untuk korupsi dan memperkaya diri sementara rakyat yang memilihnya dilupakan, tetap miskin. Ketika kita bertanya kepada seorang politisi, mengapa mencalonkan diri menjadi caleg, Kepala Daerah, atau Presiden sekalipun, pasti jawabannya ideal, yaitu ingin mengabdi untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Mereka pun berjanji akan melakukan ini dan itu untuk memajukan daerah. Tetapi hal tersebut ternyata hanya menjadi bumbu kampanye, lip service tanpa upaya yang sungguh-sungguh utnuk merealisasikannya. Setelah menjadi pemimpin, justru kekayaan mereka semakin bertambah, sementara rakyat banyak yang hidup kesusahan. Masyarakat pun terpaksa harus kecewa dengan pilihannya tersebut.
Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi politisi, dia harus memiliki landasan moral yang kuat, menjunjung tinggi integritas dan kejujuran karena realitas dunia politik saat ini dikenal sebagai dunia yang kejam, penuh dengan intrik, kepalsuan, politik uang, dan kebohongan. Dalam politik juga berlaku hukum rimba, siapa yang kuat, dia yang akan menang. Bahkan Penyanyi Iwan Fals dalam salah satu lagunya menganalogikan dunia politik seperti dunia para binatang. Pragmatisme di kalangan pemilih pun semakin memperparah rendahnya kualitas kehidupan politik di Indonesia. Realitas seperti itu seharusnya tidak perlu terjadi andaikan praktek politik dilandasi oleh moral, integritas, dan kejujuran.
Jika kita perhatikan, usia politisi yang terlibat kasus korupsi cenderung semakin muda. Misalnya kasus korupsi yang menimpa mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin yang berusia sekitar 30 tahunan yang juga turut menyeret beberapa nama anggota DPR yang berasal dari partai Demokrat yang usianya pun masih muda. Apakah ini merupakan sinyal bahwa terjadi “kaderisasi” korupsi dari politisi senior kepada politisi junior? Jawabannya bisa “ya” atau juga bisa “tidak” tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Yang jelas, para politisi yang masih baru seumur jagung akan melihat gerak-gerik dan perilaku para politisi senior. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan kita dimana ketika di satu sisi pemerintah gencar memberantas korupsi, tetapi pelaku korupsi semakin banyak dan usianya semakin muda.
Maraknya korupsi yang dilakukan oleh politisi seolah-olah mengidentikkan dunia politik dengan korupsi. Stigma yang muncul adalah bahwa setiap politisi pasti (pernah) korupsi. Para pemimpin saat ini memang banyak yang dihujat oleh rakyatnya karena terjerat korupsi. Saat ini sulit sekali mencari pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya. Walaupun demikian, diantara banyaknya politisi yang korup, penulis melihat masih ada politisi yang bersih dan bisa menjadi panutan. Joko Widodo, Walikota Solo, Jawa Tengah adalah salah satu politisi yang menurut penulis perlu mendapatkan kredit point. Beliau begitu dicintai rakyatnya karena dinilai sebagai sosok pemimpin yang bersih, merakyat, berpihak kepada kepentingan rakyat, mampu melindungi pasar tradisional sebagai urat nadi perekonomian rakyat dari serbuan pasar modern dengan melarang berdirinya mall di kota Solo. Meskipun tidak sepaham dengan Bibit waluyo, Gubernur Jawa Tengah dalam konsep pengembangan ekonomi, tetapi Joko Widodo punya prinsip dan mendapat dukungan masyarakat Solo.
Selain Joko Widodo, sosok politisi (pemimpin) yang bisa dijadikan panutan adalah Adam Dambea, Walikota Gorontalo. Beliau sungguh-sungguh memberantas korupsi di kota Gorontalo. Beliau pun terjun langsung ke lapangan, berinteraksi dengan masyarakat, tanggap terhadap setiap keluhan masyarakat, dan menjadi sosok terdepan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Beliau terkenal pemimpin yang tegas, tak segan-segan menindak stafnya yang tidak melaksanakan tugas dengan baik. Beliau menjadi sosok pemimpin yang disegani oleh bawahan dan dicintai oleh rakyat karena satunya perkataan dan perbuatan.
Penulis melihat bahwa korupsi yang terjadi di kalangan politisi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena rendahnya moralitas dan integritas sehingga menyebabkan mereka tergiur untuk korupsi. Ketika pertama kali masuk ke dunia politik, seorang politisi mungkin masih memiliki idealisme, tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan sistem yang kotor, maka idealismenya tersebut lambat laun terus menurun bahkan hilang.
Kedua, mahalnya biaya politik. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ketika seseorang mencalonkan diri menjadi caleg atau Kepala Daerah, biaya yang dibutuhkan sangat besar. Dana tersebut disamping berasal dari dirinya sendiri, juga berasal dari “sumbangan” pengusaha sehingga ketika dia terpilih, maka langka yang pertama dilakukan adalah mengembalikan modalnya dan harus memberikan bakpas budi kepada pihak-pihak yang telah menyumbang dan menjadi tim suksesnya. Peribahasa Inggris mengatakan “no lunch free” alias tak ada makan siang gratis. Sumbangan yang diberikan dari pihak tertentu kepada seorang politisi tentunya disertai dengan motif tertentu, sangat sulit lepas dari kepentingan terselubung penyumbang.
Ketiga, gagalnya kaderisasi dan pendidikan politik di partai politik. Realita menunjukan bahwa ketika seseorang ingin menjadi ketua parpol, maka dia harus memiliki “gizi” yang banyak, sehingga politik uang, politik transaksional pun terjadi ketika pemilihan ketua parpol. Orang yang tidak berdarah-darah meniti karir politik dari bawah mendadak bisa menjadi elit partai karena memiliki uang. Salah satu fungsi parpol adalah menjadi sarana pendidikan politik, membentuk orang-orang muda untuk menjadi politisi yang idealis,bermoral, dan militan, tetapi ternyata hanya melahirkan politisi karbitan dan pragmatis, hanya menjadikan parpol sebagai kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan. Hal ini tidak lepas dari praktek di internal parpol sendiri yang penuh dengan instrik dan politik uang.
Penulis menilai bahwa parpol adalah pihak yang  paling bertanggung jawab terhadap korupsi yang dilakukan oleh politisi karena parpol telah gagal menjalankan fungsinya. Dalam sebuah negara demokrasi, keberadaan parpol adalah sebuah keniscayaan sebagai agen untuk melahirkan pemimpin. Keikutsertaan parpol dalam pemilu adalah sebuah ikhtiar konstitusional untuk membangun sebuah tatanan negara dan pemerintahan yang bisa mewujudkan negara bangsa yang makmur dan sejahtera. Oleh karena itu, keberadaan parpol dibutuhkan dalam sebuah negara demokratis. Partai politik pun kerap dituding sebagai bunker yang melindungi koruptor sehingga komitmen parpol sebagai lembaga yang antikorupsi pun semakin diragukan.
Walaupun demikian, kita tidak bisa menyalahkan terhadap masyarakat yang semakin apatis terhadap partai politik. Setiap menjelang pemilu, banyak partai politik baru berdiri dan menawarkan perubahan, tetapi hasilnya sama saja. Rakyat selalu dibohongi dan dibuai dengan janji-janji manis. Pada awal bergulirnya reformasi tahun 1997, partai-partai baru dengan penuh percaya diri mengklaim sebagai partai yang antikorupsi. Rakyat pun menyimpan harapan terhadap partai-partai baru tersebut. Tetapi realitanya ketika sudah berkuasa, justru menjadi sarang koruptor. Seorang pimpinan parpol yang dulunya seorang aktivis dan ketua organisasi mahasiswa, saat ini justru terseret ke dalam pusaran kasus korupsi.
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sudah rendah tersebut, partai politik secara institusi dan politisi secara individu harus introspeksi diri, memperbaiki diri, membersihkan dirinya dari para kader yang korup. Integritas dan kejujuran merupakan hal yang mutlak harus dimiliki oleh kader-kader parpol. Jika tidak, maka keberadaan parpol semakin tidak dipercaya dan semakin tidak dibutuhkan oleh masyarakat.

Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Sosial.

PENDIDIKAN KARAKTER BAGI ORANG DEWASA


Wacana tentang pendidikan karakter mengemuka di tengah keprihatinan kita terhadap krisis karakter bangsa yang kian menggejala di berbagai lapisan masyarakat. Para pejabat banyak yang  terlibat korupsi, masyarakat, mahasiswa, dan pelajar banyak yang terlibat tawuran, anak-anak muda kita banyak yang terlibat seks bebasm penggunaan narkotika, obat-obat terlarang, aborsi, dan sebagainya. Budaya instan, materialisme, dan  hedonisme kian menjadi “ideologi” bangsa kita. Lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi sarana pembentukan mental dan karakter peserta didik juga terkena virus krisis karakter. Sebut saja berbagai kasus kecurangan pada saat Ujian Nasional (UN), mencontek karya ilmiah orang lain (plagiarisme), pemalsuan dan jual beli ijazah, dan sebagainya.
Dilandasi berbagai hal tersebut di atas, maka pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) mulai tahun 2010 meminta sekolah-sekolah mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kurikulum sekolah. Para guru diminta untuk bekerja lebih keras dalam membina dan membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang berkarakter. Berkarakter di sini, maksudnya bukan hanya memiliki budi pekerti yang baik, tetapi juga memiliki semangat kerja keras, pantang menyerah, dan memiliki mental berprestasi.
Pendidikan karakter bukan hanya berkutat memperkenalkan sejumlah sikap dan perilaku yang baik kepada peserta didik, tetapi juga bagaimana membiasakan para peserta didik untuk melakukannya bukan hanya di sekolah tetapi juga di lingkungan rumah dan masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan bukan karakter tidak disampaikan dalam bentuk ceramah saja, tetapi harus ada prakteknya. Dan yang paling utama adalah harus ada sosok atau figur orang dewasa yang mampu menjadi contoh teladan.
Kalau kita mau objektif menilai, berbagai krisis karakter bangsa saat ini justru lebih banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa. Coba kita perhatikan siapa yang melakukan korupsi, siapa yang suka membung sampah sembarangan, siapa yang suka merokok di tempat-tempat yang memang dilarang untuk merokok, siapa yang suka melanggar rambu-rambu lalu lintas, siapa yang suka berkata-kata kasar dan kotor, siapa yang terlibat skandal seks, dan siapa yang yang suka melakukan berbagai perilaku menyimpang lainnya. Jawabannya adalah orang dewasa. Orang dewasa-lah yang memberikan contoh kepada orang muda sehingga mereka melakukan perilaku menyimpang. Jadi, di sini terjadi efek imitasi atau meniru dari orang muda terhadap orang dewasa.
Kemdiknas begitu bersemangat menggaungkan pendidikan karakter di sekolah, tetapi tak seiring sejalan dengan yang terjadi di lapangan. Para pejabat silih berganti diperiksa dan diadili di meja hijau karena kasus korupsi, kasus-kasus tawuran, kasus bom bunuh diri, dan kasus kekerasan yang berbau SARA menjadi pemberitaan media setiap hari. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan kita. Hal ini kontraproduktif di tengah upaya untuk memperbaiki karakter bangsa ini.
Pemerintah  terkesan hanya fokus membangun karakter didik, tetapi kurang fokus membangun atau memperbaiki karakter bangsa secara umum. Hal ini mungkin dilandasi oleh asumsi bahwa generasi muda adalah calon penerus bangsa. Para pemimpin juga kurang memberikan keteladanan kepada masyarakat. Kita faham bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Di sini sering terjadi kesenjangan. Di satu sisi, sekolah berusaha dengan sekuat tenaga mendidik para peserta didik, tetapi di sisi lain, mereka kurang mendapatkan pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Justru kedua lingkungan tersebut mengerosi nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah. Dengan kata lain, tidak ada kerjasama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kita tentu faham bahwa keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Kedua orang tuanya adalah guru pertama mereka. Lingkungan masyarakat pun merupakan “sekolah alam” bagi mereka. Satu langkah mereka keluar dari gerbang sekolah, di situlah terjadi konflik nilai dengan yang diajarkan di sekolah. Hal ini menjadi persoalan serius bagi kita di tengah karakter masyarakat yang di satu sisi cenderung permisif dan di sisi lain juga cenderung intoleransi terhadap perbedaan.
Orang dewasa memiliki peranan penting dalam rangka membangun karakter anak-anak dan remaja. Dari orang dewasa-lah, mereka memperoleh pengalaman yang mungkin akan menjadi patokan atau acuan dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga apapun yang dilakukan oleh orang dewasa baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk akan dicontoh oleh mereka. Sehingga orang dewasa harus mawas diri, menjaga sikap dan perilakunya di hadapan anak-anak dan remaja. Dengan demikian, pendidikan karakter bukan hanya perlu ditekankan kepada orang muda (anak-anak dan remaja) tetapi juga untuk orang dewasa.
KUHPerdata mendefinsikan orang dewasa sebagai orang sudah berusia 21 tahun atau sudah menikah. Model pendidikan karakter bagi orang dewasa tentu tidak seperti model untuk anak usia sekolah. Penulis berpendapat bahwa model pendidikan karakter bagi orang dewasa tidak melalui pendekatan indoktrinatif, ceramah, dan hal-hal lain yang lebih bersifat teoritis, tetapi lebih fokus kepada pembiasaan dan keteladanan. Dan yang paling utama adalah perlu adanya kesadaran dari orang dewasa untuk bersikap dan berbuat sesuai dengan norma dan etika yang berlaku di masyarakat.
Pada dasarnya orang dewasa tidak terlalu senang diceramahi, didikte, atau dikritik karena merasa sudah bisa memilah, memilih, dan memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan. Orang dewasa di satu waktu mungkin saja dapat “dididik” oleh orang lain agar memiliki karakter yang baik,  tetapi yang paling utama adalah dia harus mampu “mendidik” dirinya sendiri untuk berkarakter baik. Tanpa itu, pendidikan karakter bagi orang dewasa tidak akan optimal. Dalam konteks praksis, setiap orang dewasa perlu memulai dari dirinya sendiri untuk menaati yang berlaku di masyarakat sehingga setiap orang muda dapat mencontohnya.
Para orang muda tentunya berharap kepada setiap orang dewasa untuk memberikan contoh yang baik. Para orang dewasa tidak bisa berpangku tangan membiarkan krisis karakter semakin kronis mendera bangsa ini. Tugas mendidik karakter bukan hanya tugas guru sebagai bagian dari orang dewasa, tetapi orang dewasa secara umum juga perlu menjadi guru dan mengimplementasikan pendidikan karakter.
Dalam konteks pendidikan formal, Perguruan Tinggi (PT) baik di level sarjana maupun pascasarjana dapat berperan dalam memberikan pendidikan karakter bagi orang dewasa,  meskipun tentunya pola pendidikan yang digunakan adalah pola andragogi (pendidikan bagi orang dewasa). Misalnya, adanya larangan merokok di tempat-tempat tertentu di sekitar kampus, menggunakan pakaian ke kampus yang sesuai dengan norma dan etika, membiasakan datang datang tepat waktu, saling menghormati pendapat ketika diskusi di dalam kelas, menekankan pentingnya kejujuran akademis dan  orisinalitas dalam membuat karya tulis ilmiah dan penelitian, dan sebagainya. Pendidikan karakter bagi orang dewasa diharapkan mampu menunjang pendidikan karakter peserta didik. Bangsa yang berkarakter berawal dari individu-individu yang berkarakter. Semoga....!!!

Penulis, Guru SMP Madani KBB, Widyaiswara LPMP Jawa Barat.

Kamis, 29 September 2011


URGENSI PENDIDIKAN LALULINTAS


“Setiap 30 menit satu orang meninggal karena kecelakaan lalulintas di Indonesia dan setiap satu jam ada yang terluka parah karena kecelakaan”
(Dr. Agus Taufik Mulyono, Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada, www.bbcindonesia.com, 16/06/2008)

Jika kita perhatikan suasana jalan raya di kota-kota besar saat ini sungguh sangat semrawut. Kemacetan hampir terjadi di setiap ruas jalan. Dengan alasan buru-buru takut terlambat ke tempat tujuan, para pengendara kendaraan bermotor saling serobot memanfaatkan sekecil apapun ruang yang ada diantara berjubelnya kendaraan. Demi mengejar waktu, para pengendara pun tak segan-segan melanggar rambu-rambu lalulintas. Mereka pun mengabaikan untuk saling menghormati sesama pengguna jalan lainnya.
Polisi walaupun sudah berupaya keras mengatur arus lalulintas, tetapi kemacetan semakin sulit dikendalikan. Kemacetan yang terjadi saat ini disamping disebabkan oleh rendahnya disiplin pengguna jalan raya, juga tidak lepas dari semakin tidak seimbangnya jumlah kendaraan dan panjang jalan. Pertambahan jumlah kendaraan bermotor khususnya kendaraan roda dua di Indonesia  saat ini mencapai 24-30 % dalam satu tahun. Jika regulasi berkaitan dengan pembatasan jumlah kendaraan dan panjang jalan tidak diatur dengan tegas, maka tidak tertutup kemungkinan suatu saat akan terjadi kemacetan total.
Untuk semakin mempertegas dan memperjelas regulasi berkaitan dengan lalulintas, pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan menggantikan Undang-undang Nomor 14 tahun 1992. Sekarang tinggal menunggu keseriusan aparat kepolisan untuk mengatur dan menindak pelanggar lalulintas.
Sebuah ungkapan bijak menyatakan bahwa “jalan raya cerminan peradaban sebuah bangsa”. Dengan merujuk kepada ungkapan tersebut, jika kondisi jalan raya saat ini semrawut dan macet, maka dapat diasumsikan bahwa bangsa kita belum termasuk bangsa yang beradab karena masih senang melanggar peraturan lalulintas tanpa rasa bersalah. Pelanggaran peraturan lalulintas bukan hanya dilakukan oleh pengendara kendaraan bermotor saja, tetapi Pedagang Kaki Lima (PKL) dan pejalan kaki juga ikut melanggar. PKL tidak segan-segan berjualan di badan jalan dan trotoar sehingga semakin menambah macet jalan. Pejalan kaki juga dengan seenaknya menyeberang dimana saja tidak melalui zebra cross atau jembatan penyeberangan. Kendaraan umum menunggu atau menurunkan penumpang bukan di tempat semestinya, dan ugal-ugalan dalam menjalankan kendaraan. 
Ketidakdisiplinan dan kelalaian pengguna jalan tak ayal sering menyebabkan terjadinya kecelakaan lalulintas. Selain itu, kecelakaan juga disebabkan oleh kondisi jalan yang rusak, kondisi kendaraan yang tidak laik jalan, dan berlebihnya muatan kendaraan. Oleh karena itu, aparat kepolisian harus semakin tegas dalam menindak para pelanggar lalulintas karena disamping membahayakan dirinya sendiri juga membahayakan pengguna jalan lainnya. Indonesia menempati urutan pertama di ASEAN dalam hal kecelakaan lalulintas (TV One, 24/02/2010). Data Kementerian  Perhubungan menyebutkan  bahwa untuk kendaraan roda dua saja, persentase kecelakaan mencapai lebih dari 67% karena kecelakaan lebih banyak melibatkan pengendara kendaraan roda dua. Asian Development Bank (ADB) mengeluarkan data yang cukup mencengangkan terkait jumlah kecelakaan lalulintas di Indonesia. Menurut ADB, pada tahun 2007, ada 30.000 orang meninggal dan kerugiannya mencapai 41 triliun (Seputar Indonesia, 21/04/2008).
Pendidikan Lalulintas
Melihat kenyataan banyaknya pelanggaran lalulintas dan tingginya angka kecelakaan di jalan raya, disamping melakukan penegakkan hukum terhadap pelanggar lalulintas, sebagai tindakan preventif, Polri saat ini telah bekerja sama Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) untuk memberikan pendidikan lalulintas pada jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA. Hal ini dilandasi niat untuk memberikan sekaligus membangun pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran siswa terhadap peraturan lalulintas. Kita tidak menutup mata bahwa saat ini banyak siswa yang menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Tidak jarang kita melihat mereka melanggar peraturan lalulintas seperti tidak membawa atau memiliki SIM, STNK, tidak menggunakan helm, kebut-kebutan, ugal-ugalan, melanggar lampu lalulintas dan rambu-rambu lalulintas lainnya. Atau belum berumur 17 tahun tetapi sudah mengendarai sepeda motor. Dengan dalih sayang kepada anak atau lebih praktis, orang tua juga memfasilitasi anaknya pergi ke sekolah dengan menggunakan sepeda motor walaupun belum cukup umur dan tidak memiliki SIM.
Berdasarkan kepada hal tersebut di atas, maka Pendidikan lalulintas (PLL) menjadi sangat urgen (baca = penting) untuk diberikan di sekolah. Bentuk-bentuk pendidikan lalulintas dapat dilakukan dengan beragam cara. Antara lain, pertama, mengintegrasikannya pada mata pelajaran khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) karena mata pelajaran ini sangat relevan. Antara lain, berkaitan dengan pembahasan masalah hukum dan norma yang berlaku di masyarakat dimana salah satunya adalah ketaatan terhadap peraturan lalulintas sebagai cerminan warga negara yang baik dan bertanggung jawab serta menghargai Hak Asasi Manusia (HAM).  Diintegrasikannya PLL ke dalam mata pelajaran PKn mengingat bahwa kurikulum saat ini sudah padat sehingga tidak perlu menjadi satu mata pelajaran khusus.
Kedua, memperkenalkan rambu-rambu lalulintas, surat-surat kendaraan, kelengkapan diri dan kelengkapan kendaraan. Ketiga, kampanye mengemudi aman (safety driving) melalui pengumuman, famflet, atau brosur. Keempat, melalui kegiatan ekstrakurikuler. Misalnya program Polisi Sahabat Anak, Patroli Keamanan Sekolah (PKS), dan sebagainya. Kelima, mengundang aparat kepolisian atau mengajak siswa berkunjung ke kantor polisi untuk berwawancara atau mengamati proses pembuatan SIM, SNTK,  BPKB, atau surat-surat kendaraan lainnya.
Keenam, mengajak siswa untuk berkunjung ke tempat yang menunjang untuk sosialisasi rambu-rambu lalulintas. Misalnya, berkunjung ke Taman lalulintas. Ketujuh, menugaskan siswa untuk mengamati, meliput, mencatat  pelanggaran lalulintas. Jika dimungkinkan mewawancarai pelanggar lalulintas atau aparat kepolisian yang berada di lokasi kemudian membuat laporan kegiatannya. Selain cara-cara di atas, dimungkinkan menggunakan cara-cara lainnya. Yang penting, substansinya memberikan pengetahuan, pemahaman, dan penyadaran terhadap siswa tentang pentingnya tertib berlalulintas. Dan, tentunya pelaksanaan PLL disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak didik.
Salah satu pihak yang ditengarai suka melakukan pelanggaran terhadap peraturan lalulintas adalah genk motor. Kita tentu sangat prihatin dengan banyaknya pelajar yang menjadi anggota genk motor. Keberadaan genk motor telah banyak meresahkan masyarakat. Beberapa waktu yang lalu, seorang polisi dibacok oleh kawanan genk motor, kemudian di Tasikmalaya, genk motor menjarah sebuah toko pakaian. Dan ternyata, anggota genk motor tersebut adalah perempuan. Anggota genk motor tersebut rata-rata berasal dari keluarga yang broken home dengan latar belakang sosial ekonomi menengah ke atas.
Dengan adanya Pendidikan Lalulintas, maka diharapkan akan melahirkan masyarakat yang sadar dan tertib berlalulintas. Dengan demikian, lalulintas pun akan berjalan tertib, aman, dan nyaman serta terjaminnya hak-hak sesama pengguna jalan raya. Jika hal tersebut terwujud, maka tingkat kecelakaan di jalan raya pun akan menurun. Selian itu, tugas kepolisian dalam mengatur lalulintas pun akan semakin ringan. Mari kita tampilkan wajah bangsa ini sebagai bangsa yang tertib dan beradab dengan tertib berlalulintas di jalan raya.

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat

SEKOLAH BEBAS ROKOK, MUNGKINKAH?




Beberapa tahun silam pemerintah mencanangkan program “Sekolah Bebas Rokok dan Narkoba”. Program ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang bersih, sehat, berdisiplin, dan menyelamatkan generasi bangsa dari bahaya rokok dan narkoba. Pada awal program ini digulirkan, banyak sekolah yang mengampanyekannya dimana salah satu bentuknya adalah memasang spanduk bertuliskan “Sekolah Bebas Rokok dan Narkoba”. Sekarang program ini nyaris tak terdengar. Salah satu penyakit bangsa ini adalah kalau membuat program bersemangat di awal dan seiring perjalanan waktu biasanya semakin melempem. Kalau meminjam peribahasa sunda “rubuh-rubuh gedang”(baca = hanya bersifat temporer, tidak bertahan lama).

Siapapun (termasuk para perokok dan pengguna narkoba) pasti setuju bahwa program sekolah bebas rokok dan narkoba merupakan program yang sangat bagus dan perlu didukung oleh semua pihak, tapi dalam kenyataannya program tersebut hanya bagus di dalam konsep saja sementara dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Pada tulisan ini, penulis hanya akan memfokuskan pada masalah rokok saja karena penulis menilai bahwa para pendidik dan tenaga kependidikan (mayoritas kaum laki-laki), bahkan siswa pun masih banyak yang suka merokok di lingkungan sekolah. Sementara penggunaan narkoba dapat dikatakan jumlahnya relatif jauh di bawah jumlah perokok di sekolah. Hal ini disebabkan karena rokok bukan termasuk barang terlarang sementara narkoba termasuk barang terlarang dan penggunanya dapat dijerat oleh hukum.

Hasil survei The Tobacco Atlas 2005 menyebutkan bahwa jumlah perokok di Indonesia mencapai 60 juta orang dan jumlahnya diperkirakan akan semakin meningkat seiring bertambahnya para perokok baru. Usia perokok pun semakin muda. Dulu usia 18 tahun baru merokok, sekarang usia 10-12 tahun sudah coba-coba merokok. Walaupun terkesan hanya formalitas dan normatif saja, dalam bungkus rokok biasanya tercantum pesan “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin” dan “hanya untuk usia 18 tahun ke atas”. Pada kenyataannya, pesan-pesan tersebut hanya dibaca saja tidak banyak menggugah hati para pecandu atau yang coba-coba untuk merokok untuk berhenti atau menjauhi rokok. Rambu-rambu atau stiker dilarang merokok di tempat-tempat umum pun tidak berdaya menghadapi “egoisme” para perokok.

Pemerintah sebenarnya sudah membuat aturan hukum tentang larang merokok di tempat umum. Misalnya dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 tahun 2005 pasal 49 ayat (1) huruf v menyebutkan bahwa; “merokok di tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah), dan/atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Identitas Kependudukan lainnya, dan/atau pengumuman di media masa”. Aturan tersebut hanya menjadi macan kertas saja ketika banyak orang masih melanggarnya dan pemerintah tidak serius dalam menegakkan aturan hukum.
Semua pasti setuju bahwa merokok adalah kebiasaan yang kurang baik dan pemborosan. Madharatnya jauh lebih banyak daripada manfaatnya. Dr. H. Dadang Hawari mengatakan bahwa dalam rokok terdapat ribuan zat yang membahayakan tubuh dan yang paling banyak adalah nikotin. Nikotin adalah amfetamin yang dapat menyebabkan kecanduan. Oleh karena itu, orang yang sudah kecanduan rokok biasanya susah untuk berhenti. Ada mitos bahwa merokok adalah simbol kejantanan laki-laki. Banyak siswa yang terseret menjadi perokok sebagai bentuk solidaritas terhadap teman-temannya yang perokok dan untuk menjaga harga dirinya di depan teman-temannya. Ditemani secangkir kopi, rokok merupakan pasangan ideal ketika ngantuk, melamun, bekerja, nonton, atau ngobrol.


Jumlah penduduk Indonesia yang 250 juta lebih menjadi pasar yang potensial untuk industri rokok. Industri rokok pun menjadi salah satu penyumbang devisa negara terbesar negeri ini. Tampaknya menjadi hal yang tidak mungkin meminta pemerintah menutup pabrik rokok. Karena disamping penyumbang devisa negara, juga industri rokok banyak menyerap tenaga kerja. Meminta agar perokok berhenti tentu bukan suatu hal yang mudah. Upaya yang dapat dilakukan saat ini mungkin, mengurangi jumlah rokok yang dihisap, dan menekan jumlah perokok baru. Pelajar dan mahasiswa adalah subjek yang paling berpeluang menjadi para perokok baru.

Perlu Komitmen dan Keteladanan
Untuk mewujudkan sekolah yang bebas rokok, perlu komitmen dan keteladanan dari semua warga sekolah. Guru, walaupun dia seorang perokok upayakan agar dia tidak mengajar sambil merokok karena hal tersebut disamping dapat mengganggu siswa, juga mengurangi wibawa guru di hadapan siswa. Di ruang kantor pun, tidak semua guru adalah perokok, ada guru-guru yang bukan perokok. Asap rokok yang mengepul biasanya mengganggu orang lain sebagai perokok pasif. Bahkan salah satu hasil penelitian menyebutkan bahwa perokok pasif berisiko menderita penyakit pernafasan lebih tinggi dibandingkan perokok aktif.

Adalah hal yang kontraproduktif ketika guru meminta siswa untuk tidak merokok sementara dia sendiri adalah seorang perokok. Belum lagi kondisi di rumah dan lingkungan pergaulan siswa. Anak biasanya melihat orang tuanya merokok penasaran ingin mencoba rokok. Kebiasaan di masyarakat pun sangat menunjang dalam bertambahnya jumlah perokok. Misalnya dalam acara-acara syukuran, tahlilan, biasanya pemangku hajat memberikan rokok kepada undangan yang notabene masih anak-anak.

Idealnya sekolah harus bebas rokok, tapi tampaknya harapan tersebut hanya sebuah utopis belaka. Ketika suasana tersebut belum dapat terwujud perlu dikembangkan sikap toleransi, saling menghargai, dan kesungguhan dari semua warga sekolah. Bagi yang sulit menghilangkan kebiasaan merokok, ketika sudah tidak tahan ingin merokok, cari tempat dimana kepulan asap rokok tidak mengganggu orang-orang di sekitarnya dan tidak melakukannya di hadapan siswa karena dapat menurunkan wibawa guru. Pada hakikatnya, kebiasaan merokok di tempat umum (termasuk sekolah) bukan hanya pelanggaran terhadap hukum tetapi juga melanggar etika.

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat 

Rabu, 28 September 2011


PENDIDIKAN KARAKTER BAGI ORANG DEWASA


Wacana tentang pendidikan karakter mengemuka di tengah keprihatinan kita terhadap krisis karakter bangsa yang kian menggejala di berbagai lapisan masyarakat. Para pejabat banyak yang  terlibat korupsi, masyarakat, mahasiswa, dan pelajar banyak yang terlibat tawuran, anak-anak muda kita banyak yang terlibat seks bebasm penggunaan narkotika, obat-obat terlarang, aborsi, dan sebagainya. Budaya instan, materialisme, dan  hedonisme kian menjadi “ideologi” bangsa kita. Lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi sarana pembentukan mental dan karakter peserta didik juga terkena virus krisis karakter. Sebut saja berbagai kasus kecurangan pada saat Ujian Nasional (UN), mencontek karya ilmiah orang lain (plagiarisme), pemalsuan dan jual beli ijazah, dan sebagainya.
Dilandasi berbagai hal tersebut di atas, maka pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) mulai tahun 2010 meminta sekolah-sekolah mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kurikulum sekolah. Para guru diminta untuk bekerja lebih keras dalam membina dan membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang berkarakter. Berkarakter di sini, maksudnya bukan hanya memiliki budi pekerti yang baik, tetapi juga memiliki semangat kerja keras, pantang menyerah, dan memiliki mental berprestasi.
Pendidikan karakter bukan hanya berkutat memperkenalkan sejumlah sikap dan perilaku yang baik kepada peserta didik, tetapi juga bagaimana membiasakan para peserta didik untuk melakukannya bukan hanya di sekolah tetapi juga di lingkungan rumah dan masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan bukan karakter tidak disampaikan dalam bentuk ceramah saja, tetapi harus ada prakteknya. Dan yang paling utama adalah harus ada sosok atau figur orang dewasa yang mampu menjadi contoh teladan.
Kalau kita mau objektif menilai, berbagai krisis karakter bangsa saat ini justru lebih banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa. Coba kita perhatikan siapa yang melakukan korupsi, siapa yang suka membung sampah sembarangan, siapa yang suka merokok di tempat-tempat yang memang dilarang untuk merokok, siapa yang suka melanggar rambu-rambu lalu lintas, siapa yang suka berkata-kata kasar dan kotor, siapa yang terlibat skandal seks, dan siapa yang yang suka melakukan berbagai perilaku menyimpang lainnya. Jawabannya adalah orang dewasa. Orang dewasa-lah yang memberikan contoh kepada orang muda sehingga mereka melakukan perilaku menyimpang. Jadi, di sini terjadi efek imitasi atau meniru dari orang muda terhadap orang dewasa.
Kemdiknas begitu bersemangat menggaungkan pendidikan karakter di sekolah, tetapi tak seiring sejalan dengan yang terjadi di lapangan. Para pejabat silih berganti diperiksa dan diadili di meja hijau karena kasus korupsi, kasus-kasus tawuran, kasus bom bunuh diri, dan kasus kekerasan yang berbau SARA menjadi pemberitaan media setiap hari. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan kita. Hal ini kontraproduktif di tengah upaya untuk memperbaiki karakter bangsa ini.
Pemerintah  terkesan hanya fokus membangun karakter didik, tetapi kurang fokus membangun atau memperbaiki karakter bangsa secara umum. Hal ini mungkin dilandasi oleh asumsi bahwa generasi muda adalah calon penerus bangsa. Para pemimpin juga kurang memberikan keteladanan kepada masyarakat. Kita faham bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Di sini sering terjadi kesenjangan. Di satu sisi, sekolah berusaha dengan sekuat tenaga mendidik para peserta didik, tetapi di sisi lain, mereka kurang mendapatkan pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Justru kedua lingkungan tersebut mengerosi nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah. Dengan kata lain, tidak ada kerjasama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kita tentu faham bahwa keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Kedua orang tuanya adalah guru pertama mereka. Lingkungan masyarakat pun merupakan “sekolah alam” bagi mereka. Satu langkah mereka keluar dari gerbang sekolah, di situlah terjadi konflik nilai dengan yang diajarkan di sekolah. Hal ini menjadi persoalan serius bagi kita di tengah karakter masyarakat yang di satu sisi cenderung permisif dan di sisi lain juga cenderung intoleransi terhadap perbedaan.
Orang dewasa memiliki peranan penting dalam rangka membangun karakter anak-anak dan remaja. Dari orang dewasa-lah, mereka memperoleh pengalaman yang mungkin akan menjadi patokan atau acuan dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga apapun yang dilakukan oleh orang dewasa baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk akan dicontoh oleh mereka. Sehingga orang dewasa harus mawas diri, menjaga sikap dan perilakunya di hadapan anak-anak dan remaja. Dengan demikian, pendidikan karakter bukan hanya perlu ditekankan kepada orang muda (anak-anak dan remaja) tetapi juga untuk orang dewasa.
KUHPerdata mendefinsikan orang dewasa sebagai orang sudah berusia 21 tahun atau sudah menikah. Model pendidikan karakter bagi orang dewasa tentu tidak seperti model untuk anak usia sekolah. Penulis berpendapat bahwa model pendidikan karakter bagi orang dewasa tidak melalui pendekatan indoktrinatif, ceramah, dan hal-hal lain yang lebih bersifat teoritis, tetapi lebih fokus kepada pembiasaan dan keteladanan. Dan yang paling utama adalah perlu adanya kesadaran dari orang dewasa untuk bersikap dan berbuat sesuai dengan norma dan etika yang berlaku di masyarakat.
Pada dasarnya orang dewasa tidak terlalu senang diceramahi, didikte, atau dikritik karena merasa sudah bisa memilah, memilih, dan memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan. Orang dewasa di satu waktu mungkin saja dapat “dididik” oleh orang lain agar memiliki karakter yang baik,  tetapi yang paling utama adalah dia harus mampu “mendidik” dirinya sendiri untuk berkarakter baik. Tanpa itu, pendidikan karakter bagi orang dewasa tidak akan optimal. Dalam konteks praksis, setiap orang dewasa perlu memulai dari dirinya sendiri untuk menaati yang berlaku di masyarakat sehingga setiap orang muda dapat mencontohnya.
Para orang muda tentunya berharap kepada setiap orang dewasa untuk memberikan contoh yang baik. Para orang dewasa tidak bisa berpangku tangan membiarkan krisis karakter semakin kronis mendera bangsa ini. Tugas mendidik karakter bukan hanya tugas guru sebagai bagian dari orang dewasa, tetapi orang dewasa secara umum juga perlu menjadi guru dan mengimplementasikan pendidikan karakter.
Dalam konteks pendidikan formal, Perguruan Tinggi (PT) baik di level sarjana maupun pascasarjana dapat berperan dalam memberikan pendidikan karakter bagi orang dewasa,  meskipun tentunya pola pendidikan yang digunakan adalah pola andragogi (pendidikan bagi orang dewasa). Misalnya, adanya larangan merokok di tempat-tempat tertentu di sekitar kampus, menggunakan pakaian ke kampus yang sesuai dengan norma dan etika, membiasakan datang datang tepat waktu, saling menghormati pendapat ketika diskusi di dalam kelas, menekankan pentingnya kejujuran akademis dan  orisinalitas dalam membuat karya tulis ilmiah dan penelitian, dan sebagainya. Pendidikan karakter bagi orang dewasa diharapkan mampu menunjang pendidikan karakter peserta didik. Bangsa yang berkarakter berawal dari individu-individu yang berkarakter. Semoga....!!!

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat.

Minggu, 11 September 2011

PEMILU DAN BISNIS POLITIK


Bagi bangsa Indonesia, tahun 2009 adalah tahun pemilu. Tanggal 9 April 2009 akan diselenggarakan pemilu legislatif dimana rakyat akan memilih para anggota DPR, DPRD, dan DPD. Sementara tanggal 8 Juli 2009 akan diselenggarakan pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Hingar bingar pemilu legislatif telah berelangsung sejak bulan Juli 2008 silam. Masa kampanye pemilu legislatif saat ini adalah masa kampanye paling panjang sepanjang sejarah pemilu di Indonesia dimana kampanye berlangsung selama sembilan bulan, yaitu dari bulan Juli 2008 sampai dengan Maret 2009.
Dalam menghadapi pemilu legislatif, pada umumnya partai politik dan caleg jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri. Bagi partai yang memiliki anggaran terbatas, mereka tidak terlalu jorjoran berkampanye. Mereka mengatur dan mengukur kekuatan jangan sampai kehabisan tenaga di tengah jalan. Tetapi bagi partai yang berkantong tebal, sejak awal mereka sudah all out atau jorjoran berkampanye di berbagai media. Dana miliaran rupiah yang dikeluarkan tidak menjadi masalah karena mereka disokong dengan dana yang kuat. Yang penting bagi mereka adalah partai mereka dikenal masyarakat dan popularitasnya pun terdongkrak.
Dalam menghadapi pemilu, semua cara dilakukan oleh partai dan caleg untuk meraih simpati masyarakat mulai dari cara yang persuasif sampai dengan cara-cara yang berbau materi. Mereka menyadari bahwa sebagian masyarakat Indonesia belum menjadi pemilih yang dewasa dan kritis dimana mereka memilih atas dasar idealisme, tetapi banyak juga yang memilih karena diiming-imingi pemberian tertentu. Mereka pun harus berhadapan dengan kondisi objektif terjadinya krisis kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Hal itu terjadi karena rakyat merasa dibohongi oleh janji-janji manis pada pemilu di masa lalu. Ketika sudah duduk di kursi kekuasaan, para wakil rakyat lebih mementingkan kepentingan kelompok dan partainya daripada kepentingan rakyat, sementara kehidupan rakyat pun terabaikan. Akibatnya, rakyat banyak yang memilih menjadi golput. Jumlah golput pada pemilu 2009 diperkirakan mencapai 40%.
Masa kampanye yang panjang menyebabkan partai-partai dan caleg-caleg harus memiliki dana yang besar untuk biaya kampanye sehingga banyak diantara mereka yang kelimpungan mencari dana kampanye. Aturan sumbangan dana pemilu semakin ketat. Setiap penyumbang harus memiliki NPWP dan setiap partai politik harus melaporkan dana kampanye mereka. Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak disamping memberikan angin segar terhadap caleg di nomor bawah dan semakin mengokohkan hakikat demokrasi, juga membawa konsekuensi semakin ketatnya persaingan bukan hanya dengan caleg dari partai lain juga dengan sesama caleg dari partainya sendiri sehingga melahirkan potensi semakin maraknya politik uang (money politic).
Seorang caleg dibebani harus membuat berbagai atribut kampanye, beriklan di media, membuat tim sukses di daerah pemilihan masing-masing, mengunjungi konstituen, belum lagi proposal-proposal permohonan bantuan yang masuk pada mereka. Memang, itulah konsekuensi yang harus dipikul oleh seorang caleg. Ketika seseorang memutuskan menjadi caleg, berarti dia siap dengan segala konsekuensinya termasuk harus mempersiapkan dana kampanye yang besar. Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengatakan bahwa pemilu di Indonesia adalah pemilu paling panjang, paling rumit, melelahkan, dan melahirkan ekonomi biaya tinggi.
Dari perspektif bisnis, pemilu menjadi peluang bisnis yang potensial. Dari bisnis pemilu, sejumlah pengusaha meraih keuntungan besar. Coba kita perhatikan bagaimana hingar bingarnya usaha pembuatan berbagai atribut kampanye seperti kaos, bendera, jaket, rompi, pin, stiker, dan baligo, dan sebagainya. Sentra pembuatan kaos dan atribut politik di wilayah Jalan Surapati Bandung banyak kebanjiran order. Di wilayah lain pun banyak usaha-usaha serupa bermunculan mencoba meraih peruntungan dari pemilu.
Lembaga konsultan politik pun ikut meraup keuntungan. Banyak lembaga survei yang disamping melakukan survei secara independen, juga ada yang dikontrak menjadi konsultan untuk kepentingan partai atau capres tertentu. Disamping lembaga survei yang telah eksis sejak pemilu sebelumnya, saat ini pun muncul berbagai lembaga survei baru. Lembaga survei pernah menjadi masalah tersendiri ketika mereka melaporkan hasil yang berbeda-beda sehingga memunculkan ketidakpasatian informasi dan beresiko membingungkan masyarakat. Oleh karena itu, KPU membuat aturan bahwa setiap lembaga survei yang melakukan survei pemilu harus mendaftarkan diri ke KPU.
Masa kampanye yang saat ini sedang berlangsung akan mencapai puncaknya pada bulan Maret 2009. Partai-partai dan para calegnya akan melakukan kampanye terbuka. Pada saat kampanye terbuka tentu dibutuhkan massa untuk menghadiri kampanye tersebut. Oleh karena itu, muncullah bisnis baru, yaitu bisnis rekruitmen dan mobilisasi massa kampanye. Dengan bayaran sejumlah uang, transportasi, dan konsumsi, sejumlah biro jasa massa kampanye siap untuk mengerahkan massanya menghadiri kampanye pihak-pihak yang mengontraknya. Biasanya, yang menjadi massa bayaran tersebut adalah orang-orang miskin dan anak-anak jalanan yang sebenarnya tidak mengerti dan terlalu peduli dengan pemilu itu sendiri, tetapi yang penting mereka mendapatkan imbalan untuk menyambung hidup mereka.
Pemilu disamping sebagai ajang untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin, juga menjelma menjadi bisnis politik dengan omzet yang luar biasa besar. Oleh karena itu, sebagian masyarakat yang apatis terhadap pemilu meragukan pemilu akan melahirkan wakil-wakil rakyat dan pemimpin yang amanah dan peduli terhadap rakyat karena secara ekonomi, ketika mereka terpilih, mereka tentu harus mengembalikan dana besar telah mereka keluarkan. Para caleg itu bukan orang bodoh yang mau mengeluarkan uang untuk kepentingan umum, tentu ada target yang ingin mereka capai. Pengabdian, rela berkorban dan pro kepentingan rakyat hanyalah kata-kata utopis yang menjadi bumbu-bumbu kampanye untuk meraih simpati rakyat. Penulis yakin bahwa saat ini rakyat sudah cerdas, tidak mau dibodohi lagi. Mereka bosan menjadi bulan-bulanan politik para petualang politik yang ingin duduk di singgasana kekuasaan.
Walaupun pemilu memunculkan sejumlah apatisme di kalangan masyararakat, di tengah krisis global yang melanda dunia saat ini, penyelenggaraan pemilu dapat menjadi penyelamat bagi dunia usaha khususnya bagi pengusaha atribut pemilu karena mereka dapat terus berproduksi dan menghindari PHK yang saat ini telah terjadi di banyak perusahaan.


Penulis, Pemerhati Sosial, Pegawai Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.
(Tulisan ini dimuat di HU Pelita, tanggal 6 Maret 2009)

NASIONALISME DI TENGAH PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CINA


Perdagangan bebas Asean-Cina / Asean-Cina Free Trade Agreement (ACFTA) yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2010 banyak menuai penentangan dari kalangan industri dan buruh. Berlakunya ACFTA dikhawatirkan akan merusak perekonomian dalam negeri dan PHK besar-besaran terhadap buruh. Melimpahnya produk-produk Cina ke Indonesia dikhawatirkan akan merusak pasar dalam negeri karena harganya lebih murah mengalahkan produk lokal yang harganya lebih mahal. Akibat kalahnya produk lokal oleh produk Cina, maka potensi PHK pun tidak bisa dielakkan. Jika PHK massal terjadi, maka angka pengangguran akan semakin tinggi. Itulah asumsi yang dimunculkan oleh sejumlah ekonom dalam pendapatnya pada diskusi-diskusi dan sejumlah media.
Kegagapan kalangan industri menghadapi ACFTA sebagai bukti bahwa mereka tidak mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya jauh-jauh hari sebelum ACFTA diberlakukan. Padahal ACFTA telah ditandatangani sejak tahun 2002. Berarti ada waktu yang  relatif cukup untuk mempersiapkan diri. Sejumlah kalangan menilai Pemerintah tidak serius dalam mengantisipasi ACFTA. Hal ini dapat dilihat dari relatif kurangnya supporting pemerintah dalam pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai jantung perekonomian nasional.
Jauh-jauh hari sebelum ACFTA diberlakukan, kita sudah terbiasa atau akrab dengan produk-produk Cina seperti alat-alat elektronik, otomotif, alat-alat rumah tangga, kosmetik, buah-buahan, makanan, minuman, permen, dan mainan anak-anak. Bahkan, produk-produk tekstil Cina pun ramai-ramai membanjiri Indonesia sehingga keberadannya mengancam produk tekstil lokal.
Masyarakat juga tampaknya justru senang membeli atau menggunakan produk Cina karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan dengan produk lokal. Masyarakat tidak terlalu peduli dengan kualitas dan resiko dari barang buatan Cina tersebut, yang penting harganya murah dan terjangkau. Beberapa waktu yang lalu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengumumkan bahwa beberapa produk makanan, minuman, dan kosmetik asal Cina mengandung bahan-bahan berbahaya seperti melamin, formalin, dan zat-zat berbahaya lainnya. Oleh karena itu, masyarakat dihimbau untuk tidak meggunakan produk tersebut. Sejenak masyarakat berhenti mengonsumsi dan menggunakan barang-barang tersebut, tetapi kemudian menggunakan kembali produk Cina karena tergiur harganya yang murah meriah.
Murahnya harga berbagai produk Cina juga mampu menyaingi produk-produk yang sudah mapan. Misalnya, kemunculan HP-HP Cina mampu menyaingi produsen-produsen HP yang sudah mapan seperti Nokia, Sony Ericsson, Samsung, Motorola, dan LG. Dalam produk sepeda motor pun, mereka mencoba menyaingi pabrikan Jepang seperti Honda, Yamaha, Suzuki, dan Kawasaki.
Cina telah menjelma menjadi raksasa ekonomi Asia bahkan dunia. Kebangkitan ekonomi Cina juga diprediksikan mampu menyaingi Jepang dan Amerika Serikat. Keberhasilan ekonomi Cina didapatkan bukan dalam waktu sesaat, tetapi mereka terus bekerja keras untuk terus produktif dan inovatif menghasilkan barang-barang. Orang-orang Cina memang dikenal memiliki mental dagang yang luar biasa. Mereka tersebar di hampir seluruh belahan dunia dengan profesi yang hampir sama yaitu berdagang. Bahkan jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka pun, orang-orang Cina telah banyak datang ke Indonesia. Saat ini, orang-orang Cina banyak yang memiliki usaha besar bahkan menjadi konglomerat di Indonesia.
Globalisasi
Menurut penulis, ACFTA adalah konsekuensi dari globalisasi dalam bidang ekonomi. Sebagian kalangan menilai bahwa ACFTA adalah bentuk neoliberalisasi ekonomi. Globalisasi tak dapat dibendung. Globalisasi telah merubah pola pikir dan pola hidup masyarakat. Globalisasi juga telah merubah budaya masyarakat. Media informasi dan komunikasi memberikan kontribusi yang besar dalam menyebarkan hegemoni globalisasi. Dampak dari globaliasi, bukan hanya informasi yang dengan mudah didistribusikan dari satu sumber ke sumber yang lain, tetapi barang-barang pun sudah merambah dari satu negara ke negara yang lain melalui kegiatan eksport-import atau melalui jalan ilegal berupa penyelundupan.
Nasionalisme
ACFTA telah terlanjur diberlakukan. Dibalik penentangan yang saat ini banyak terjadi, hal yang perlu diperhatikan adalah penguatan ekonomi nasional jangan sampai kalah bersaing dengan produk-produk Cina. Selain itu, dalam konteks kebangsaan, kita harus menanamkan rasa cinta terhadap produk dalam negeri dalam artian menggunakan dan mengonsumsi produk dalam negeri.
Kampanye cinta produk dalam negeri juga perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas produk karena masyarakat tidak bisa dipaksa untuk mengonsumsi atau menggunakan produk dalam negeri jika kualitasnya rendah. Masyarakat pun tidak dapat dilarang menggunakan produk Cina jika kualitasnya bagus dan harganya lebih murah dibandingkan dengan produk Cina. Oleh karena itu, peningkatan daya saing produk menjadi hal yang mutak harus dilakukan oeh para pengusaha. Biasanya, kualitas barang yang bagus berbandung lurus dengan harga yang mahal. Jika barang mahal, maka masyarakat pun berpikir ulang untuk membeli. Oleh karena itu, pemerintah pun perlu membuat regulasi yang mendukung terhadap peningkatan kualitas produk lokal. Misalnya dengan memberikan keringanan pajak bagi industri dan membantu pengusaha dalam menekan mahalnya biaya produksi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pilihan masyarakat untuk menggunakan produk luar negeri disamping karena harga murah seperti produk-produk Cina, juga adanya kepercayaan terhadap kualitas terhadap produk-produk branded dari luar negeri walaupun harganya mahal. Bahkan, bagi kalangan berduit mereka belanja atau berobat pun ke luar negeri. Hal tersebut menjadi bukti bahwa sebagian masyarakat lebih percaya terhadap kualitas barang dan pelayanan di luar negeri.
Mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla, pernah mengatakan bahwa dengan banyaknya orang Indonesia yang berobat ke luar negeri, uang yang harusnya menjadi devisa negeri sendiri justru menjadi devisa negara lain. Hal tersebut merupakan kerugian bagi negara kita. Di tengah kerasnya persaingan pada perdagangan bebas saat ini, nampaknya menggelorakan rasa nasionalisme, walaupun bukan jalan yang paling mujarab tetapi minimal menjadi penyemangat bagi bangsa kita bahwa kita harus memiliki jati diri, cinta dan bangga terhadap produk negeri sendiri. Anak-anak bangsa harus berkarya dan terus berkarya menghasilkan yang terbaik bagi kejayaan dan kebesaran bangsa Indonesia.

Penulis, Praktisi Pendidikan, Pegawai LPMP Jawa Barat