Minggu, 11 September 2011

KORUPSI MORAL SEMAKIN MENGANCAM

Jika mendengar kata korupsi maka yang terbayang adalah tindakan mengambil atau menyelewengkan uang yang bukan menjadi haknya dan digunakan untuk memperkaya diri atau pihak lain secara melawan hukum. Korupsi uang memang berbahaya, tetapi ada korupsi yang lebih berbahaya atau paling berbahaya dibandingkan dengan korupsi uang yaitu korupsi moral. Perilaku korupsi yang semakin menjadi-jadi di negeri ini hanyalah salah satu contoh dari korupsi moral yang semakin merajalela di negeri ini.

Korupsi moral yang sedang terjadi di Indonesia dapat dilihat dari begitu mudahnya kita melihat berbagai perilaku menyimpang baik yang dilakukan oleh aparat pemerintah, aparat hukum, dan masyarakat sendiri. Arus globalisasi yang membawa paham liberalisme dan sekulerisme dan transformasi informasi melalui berbagai perangkat multimedia dan bentuk media massa lainnya yang begitu gencar masuk ke Indonesia adalah dua faktor yang memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap terjadinya korupsi moral. Perbuatan yang pada masa lalu dianggap sebagai perbuatan yang tabu saat ini dianggap sebagai perbuatan yang biasa-biasa saja dan dianggap sebagai simbol dari masyarakat yang modern. Penghargaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai, norma, dan etika yang berlaku semakin rendah. Masyarakat semakin terjerumus ke dalam sekulerisme dan liberalisme dan larut ke dalam gaya hidup barat yang tidak sesuai dengan adat dan budaya Indonesia sebagai negara timur.

Konsep hidup modern dan gaul telah disalahartikan menjadi gaya hidup yang bebas tanpa batas. Anomali terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama dan pendidikan saat ini seakan kurang efektif di ruang kehidupan masyarakat dan kurang berkorelasi terhadap pembentukan moralitas bangsa. Banyak kegiatan agama yang dilakukan dan banyak anggota masyarakat yang menghadirinya, tetapi lebih cenderung hanya bersifat formalitas atau ritualitas semata. Dunia pendidikan pun sama nasibnya, di satu sisi tujuan dari pendidikan nasional adalah melahirkan warga negara yang cerdas dan berbudi pekerti luhur, tetapi di lapangan banyak kita lihat banyak lingkungan pendidikan yang kurang kondusif untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut.

Penulis melihat bahwa korupsi moral sudah semakin mengancam eksistensi jati diri bangsa. Citra bangsa Indonesia yang dikenal ramah, sopan-santun, suka tolong-menolong, dan berbudi pekerti luhur kini semakin pudar. Jika pemerintah dan masyarakat tidak memberikan perhatian yang serius terhadap masalah ini, maka keaslian karakter bangsa ini akan punah. Sebagai bagian dari warga dunia ini, Indonesia tidak akan luput dari derasnya arus globalisasi tetapi kita tentunya tidak menginginkan bangsa Indonesia menelan mentah-mentah apa saja yang muncul dari globalisasi yang kebanyakan adalah budaya barat dan akhirnya menjadi korban globalisasi. Banyak yang mengartikan bahwa modernisasi adalah westernisasi. Padahal antara modernisasi dan westernisasi adalah dua hal yang berbeda. Modernisasi berkaitan dengan perubahan pola pikir yang lebih moderat dan maju sedangkan westernisasi adalah pola hidup yang meniru gaya barat dimana masyarakat khususnya kalangan remaja banyak meniru gaya hidup barat yang negatif dan kurang mendidik.
Globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Banyak manfaat yang dapat kita ambil dari globalisasi antara lain; dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, komunikasi, kegiatan pendidikan, kegiatan bisnis dan perdagangan, perbankan, budaya, dan sebagainya. Internet menawarkan berbagai macam kemudahan manusia dalam mencari informasi, melakukan komunikasi,dan sebagainya. Kuncinya adalah bagaimana internet tidak digunakan untuk keperluan mencari atau melakukan perbuatan yang amoral karena tidak bisa dipungkiri internet banyak menampilkan informasi-informasi yang banyak merusak moral seperti situs-situs pornografi, prostitusi via internet, atau kejahatan via internet.

Di atas telah disebutkan bahwa indikator dari korupsi moral adalah semakin masifnya berbagai perilaku menyimpang yang terjadi di sekitar kita. Secara eksplisit, berbagai perilaku menyimpang tersebut antara lain; pertama, semakin maraknya perbuatan mengumbar syahwat dan hawa nafsu dalam bentuk pornografi dan pornoaksi melalui media cetak maupun media elektronik. Para pelakunya berkilah bahwa apa yang dilakukannya bukanlah pornografi atau pornoaksi tetapi pure seni dan sebagai bagian totalitas profesionalisme dalam pekerjaan. Selain itu, apa yang dilakukannya adalah sebagai bentuk kebebasan berekspresi yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Selain itu, bentuk perbuatan mengumbar hawa nafsu yang lain adalah begitu mudahnya orang-orang melakukan tindakan kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan seksual. Tindakan kekerasan sudah merambah dan mewabah di lingkungan rumah tangga, masyarakat, bahkan lingkungan pendidikan. Berita-berita kriminal dan kekerasan tidak pernah sepi menghiasi program berita di media massa cetak dan elektronik. Saat ini rasa aman menjadi hal yang mahal dan nyawa manusia semakin kurang dihargai oleh sesamanya.

Kedua, semakin rendahnya perhargaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai agama, etika, dan moralitas dalam masyarakat dan berkembangnya budaya serba boleh (permisif) sehingga berdampak pada semakin pudarnya budaya malu di kalangan masyarakat. Ada orang tanpa perasaan risi berpacaran dan bercumbu di tempat umum atau kendaraan umum dan tidak memperhatikan pandangan orang-orang di sekitarnya. Ada pejabat yang tanpa malu mengorupsi uang rakyat baik secara sendiri maupun secara berjamaah. Anehnya, pejabat yang korup tersebut tidak mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat, justru masih dianggap sebagai orang terpandang dan terhormat dalam masyarakat karena dia rajin menyumbang dalam kegiatan-kegiatan sosial. Dengan tanpa malu juga, di tengah limpahan gaji dan berbagai fasilitas, pejabat ramai-ramai mengajukan kenaikan tunjangan di saat banyak warga masyarakat yang terkena busung lapar, kurang gizi, dan makan nasi aking. Sudah matikah hati nurani mereka?

Ada pasangan yang hidup layaknya suami istri tetapi tidak dilandasi ikatan perkawinan yang syah (kumpul kebo) dengan alasan suka sama suka dan jika berpisah tidak ada kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan layaknya orang yang bercerai dari ikatan perkawinan. Pasangan yang melakukan hubungan seks di luar pernikahan semakin meningkat. Gadis yang hamil di luar nikah bukan hanya terjadi di pelosok kota saja, di daerah pedesaan yang konon lebih religius dari wilayah kota pun sudah banyak terjadi dan dianggap sebagai hal yang “biasa”, bukan sebagai aib yang sangat memalukan. Ada perempuan yang sengaja menyebarkan video adegan mesumnya dengan tujuan untuk terkenal. Ada juga orang menceritakan aibnya tanpa perasaan sungkan, malu-malu dengan ekspresi seperti merasa tidak berdosa terhadap aib yang pernah dilakukan. Sungguh zaman ini sudah jadi jaman edan.

Ketiga, semakin maraknya penyakit masyarakat seperti perjudian, peredaran narkoba, minuman keras, prostitusi. Masalah penyakit masyarakat ini sudah menjadi masalah akut karena sulit sekali diberantas karena disamping menyangkut masalah sosial ekonomi masyarakat juga bisnis-bisnis haram ini kadang-kadang dilindungi oleh aparat dan pejabat. Pemberantasan penyakit masyarakat pun tidak jarang di halang-halangi oleh kelompok masyarakat yang merasa kepentingannya terancam sehingga pemerintah dihadapkan pada dilema dalam penegakan hukum. Karena dinilai aparat hukum tidak tegas dalam pemberantasan penyakit masyarakat, ada kelompok massa yang berinisiatif memberantasnya terkadang menyebabkan konflik horizontal dengan kelompok massa yang lain dan berhadapan dengan aparat hukum karena dianggap melakukan main hakim sendiri dan mengambil peran aparat hukum.

Keempat, merebaknya kejahatan ekonomi seperti penimbunan dan berdagang secara tidak jujur yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen. Karena dalih ingin mengambil keuntungan yang tinggi, seorang pedagang tega menimbun barang di tengah kesulitan konsumen mendapatkan barang. Beberapa waktu yang lalu kita dihebohkan dengan produk makanan dan minuman yang menggunakan zat kimia pengawet mayat seperti formalin. Indonesia pun menjadi surga bagi para pembajak hak cipta, impor ilegal, dan pemalsu barang. Dalam pandangan mereka, kejujuran dalam berniaga hanyalah penghalang untuk meraih untung yang besar.

Kelima, semakin kurangnya kesetiakawanan sosial sehingga menyebabkan kesenjangan sosial semakin menganga. Di satu sisi ada kelompok orang kaya yang bingung untuk menghabiskan uang sampai-sampai menghabiskan uangnya untuk belanja ke luar negeri sementara di sisi lain banyak orang miskin yang bingung hari ini mau makan apa. Jumlah orang miskin di Indonesia lebih dari 40 juta jiwa. Dan bila mengacu kepada kriteria bank dunia, jumlah orang miskin lebih dari 100 juta jiwa karena rata-rata berpenghasilan di bawah 2 dolar per hari. Para pejabat pun tidak memberikan contoh teladan ketika dia menganjurkan untuk hidup hemat kepada rakyatnya sementara dia sendiri hidup bergelimang harta dan kemewahan. Meningkatnya jumlah warga miskin salah satu sebabnya adalah kurangnya solidaritas kaum kaya terhadap kaum miskin. Negara pun belum dapat menjalankan tugas sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. Kemiskinan bisa menjadi bom waktu sosial yang sewaktu-waktu bisa meledak jika para kaum kaya tidak memiliki kesetiakawanan sosial dan kebijakan pemerintah tidak pro rakyat kecil.

Keenam, semakin berkembangnya hedonisme dan materialisme. Pemenuhan syahwat dan kepuasan sesaat dijadikan satu-satunya tujuan hidup. Harkat dan martabat seseorang diukur berdasarkan kepada status sosial ekonominya sehingga memunculkan diskriminasi dan kelas-kelas sosial. Para pemuja hedonisme tidak berpikir akan ada kehidupan setelah mati yang dipikirkannya adalah bagaimana menikmati hidup di dunia ini dengan perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukannya. Orang-orang yang mengingatkan nilai-nilai agama dan moral kepada mereka dianggap sebagai orang-orang yang sok moralis dan dianggap sebagai pengganggu terhadap kenikmatan mereka.

Ikhtiar solusinya?
Keenam hal tersebut hanyalah sekelumit dari setumpuk korupsi moral yang sedang melanda bangsa ini. Penulis berpendapat bahwa jika tidak mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah maupun masyarakat akan menjerumuskan bangsa Indonesia kepada degradasi moral yang semakin dalam dan semakin menenggelamkan bangsa Indonesia kepada krisis multidimensional.

Ikhtiar solusi dari berbagai permasalahan tersebut tidak lepas dari peran pemerintah dan masyarakat. Keluarga sebagai unit masyarakat terkecil harus menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama dalam masyarakat. Setiap orang tua harus dapat menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anaknya. Selain itu, orang tua juga membina, membimbing, dan mengawasi pergaulan anak-anaknya di luar rumah. Saat ini, karena tuntutan kebutuhan hidup memaksa kedua orang tua bekerja mencari nafkah sementara anak-anaknya dititipkan kepada pembantu, mertua, atau saudara. Hal ini bukannya jelek, tetapi kurang baik karena proses perkembangan anak dan pergaulan anak tidak bisa langsung dipantau oleh orang tua.

Peran sekolah sebagai laboratorium pendidikan moral harus lebih dioptimalkan. Semua pengelola sekolah mulai dari Kepala Sekolah, Guru, dan Staf bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan moral kepada para siswanya. Penerapan aturan sekolah pun harus lebih dipertegas lagi antara lain dalam hal cara berpenampilan, bersikap, dan berperilaku di sekolah dimana banyak siswa yang penampilannya sudah semakin “berani” dan tidak sesuai dengan tata tertib sekolah. Selanjutnya peran masyarakat pun tidak kalah pentingnya utamanya peran tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam mengingatkan kepada masyarakat terhadap bahaya korupsi moral ini. Peran pemerintah sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam memberantas korupsi moral, pendekatan yang dapat dilakukan oleh pemerintah disamping pendekatan kultural juga melalui pendekatan hukum karena pemerintah dilengkapi dengan instrumen hukum dan aparat penegak hukum.

Perlunya Mental Model
Pemberantasan korupsi moral disamping harus dilakukan secara preventif dan represif, hal penting yang perlu perhatikan adalah keteladanan dari pemimpin sebagai mental model bagi masyarakat. Kita rindu akan pemimpin yang bermoral, pejabat yang bermoral, birokrasi yang bermoral, politisi yang bermoral, pengusaha yang bermoral, tokoh agama dan tokoh masyarakat yang bermoral. Mereka harus menyadari bahwa perbuatan amoral yang mereka lakukan menjadi justifikasi terhadap perbuatan amoral yang dilakukan oleh masyarakat. Kita sering mendengar kalimat “Kalau dari atasnya korupsi, ke bawah pun ikut-ikutan korupsi”.

Jika berbagai bentuk korupsi moral ini dapat ditanggulangi secara bersama-sama, maka Indonesia akan menjadi negara yang mendapat ridha dan ampunan Allah SWT, bermartabat dan dihargai oleh negara-negara lain. Berbagai bencana yang menimpa bangsa ini perlu dilihat sebagai peringatan dari Allah karena korupsi moral semakin merajalela. Sekali lagi penulis mengingatkan bahwa bahaya dari korupsi moral lebih dahsyat dari korupsi uang.

Penulis, Pegawai LPMP Jabar, Guru PKn SMP Madani Kab. Bandung Barat.
(Tulisan ini dimuat di HU Pelita, tanggal 7 Mei 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar