Minggu, 11 September 2011

KETIKA PRESIDEN SBY KUNJUNGI SEKOLAH


Ada satu catatan menarik setelah Susilo Bambang Yudhoyono atau yang lebih akrab dipanggil SBY terpilih menjadi presiden sejak tahun 2004 lalu. Presiden yang dipilih secara langsung oleh mayoritas rakyat Indonesia ini kerap mengunjungi sekolah. Yang dilakukan SBY di sekolah bukan hanya melakukan wawancara dengan warga sekolah dan observasi lingkungan sekolah, tetapi juga mengajar para siswa di kelas. Kegiatan presiden ini menjadi sinyal positif bahwa pemerintah mulai memperhatikan dunia pendidikan. Pemerintah (baca; SBY) sadar bahwa pendidikan adalah kunci utama keberhasilan pembangunan sebuah bangsa.

Dalam pekan ke-2 April 2006, presiden melakukan dua kali kunjungan ke sekolah. Pertama, tanggal 13 April 2006 mengunjungi SD Purwoasri I, Pacitan, Jawa Timur. Dan kedua, tanggal 16 April 2006 mengunjungi beberapa sekolah di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, yaitu; Sekolah Dasar 01 Pagi, Madrasah Al-Falah, Taman Kanak-kanak Samudera. Dalam kunjungan terakhir, presiden merasa prihatin dan kecewa melihat kondisi sekolah yang kotor dan bau. Dinding sekolah penuh dengan coretan, banyak bangku dan kursi yang sudah tidak layak pakai, dan WC yang kotor. Sekolah yang kotor dan bau mengakibatkan para siswa tidak dapat belajar dengan baik, sehingga akibatnya, hati para siswa menjadi ikut kotor, perilakunyapun ikut-ikutan kotor. Apa yang diungkapkan oleh para oleh Presiden SBY sontak membuat para pejabat di Kepulauan Seribu dan sekolah kebakaran jenggot. Kedatangan presiden yang mendadak membuat mereka tidak dapat mempersiapkan diri sebelumnya. Itulah budaya di negara kita, kalau mau kedatangan pejabat, kebersihan dan kerapihan lingkungan diperhatikan. Tetapi kalau pejabat itu sudah pergi, lingkungan yang tadinya bersih dan rapi kembali kotor dan bau.

Presiden meminta agar para pemimpin di daerah mulai dari Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Kepala Desa/Lurah untuk terjun langsung ke lapangan untuk melihat kondisi pendidikan di lapangan, karena mungkin SBY melihat bahwa para pejabat di daerah lebih banyak menunggu laporan dari bawah dan lamban dalam menindaklanjuti setiap laporan kerusakan fasilitas pendidikan.

Kondisi sekolah yang dilihat oleh Presiden SBY di Kepulauan Seribu hanyalah satu representasi dari sekian banyak sekolah di Indonesia yang kondisinya sangat memprihatinkan, bahkan ada yang lebih parah dari apa yang dilihat oleh Presiden sendiri. Kita bisa melihat, sekolah terpaksa melaksanakan KBM di luar sekolah dan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan karena bangunan sekolahnya ambruk atau khawatir ambruk. Ini harus menjadi cambuk bagi pemerintah untuk semakin memperhatikan dunia pendidikan, karena hanya dengan pendidikan, sebuah bangsa akan menjadi bangsa yang besar dan kompetitif dalam era globalisasi ini. Kita harus banyak belajar dari negara asing seperti Jepang yang menjelma menjadi salah satu negara super power dalam sains dan ekonomi di kawasan Asia bahkan di tingkat dunia karena Jepang sangat memperhatikan pendidikan.

Melihat kondisi sarana pendidikan di Kepulauan Seribu yang memprihatinkan tersebut, Presiden rela merogoh kocek sendiri untuk membantu sekolah-sekolah yang kondisinya memperihatinkan tersebut. Ini merupakan contoh yang baik dari seorang pemimpin, karena seorang pemimpin dituntut untuk rela berkorban dan memperhatikan kondisi rakyatnya. Apakah para pemimpin di daerah tidak malu dan tergerak hatinya untuk mengikuti action yang dilakukan oleh Presiden SBY tersebut?

Tidak berbanding lurus

Kepedulian Presiden SBY secara pribadi terhadap dunia pendidikan ternyata tidak berbanding lurus dengan anggaran pemerintah yang dipimpinnya untuk pendidikan dalam APBN. Anggaran pendidikan tahun 2006 hanya Rp36,7 triliun atau 9,6 % dari total APBN. Sedangkan konstitusi mengamanatkan bahwa anggaran pendidikan minimal 20 % dari total APBN. Pemerintah pun sebenarnya menyadari bahwa anggaran pendidikan tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh konstitusi, tetapi karena ketiadaan anggaran, pemerintah belum bisa melaksanakan amanat konstitusi tersebut. Pemerintah pusat berjanji akan menaikkan anggaran pendidikan hingga 20 % dalam APBN secara bertahap hingga tahun 2009. Kualitas pendidikan di Indonesia akan meningkat jika pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mau menganggarkan minimal 20 % dalam APBN dan APBD untuk pendidikan.

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan hak uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 13 tahun 2005 tentang APBN Tahun Anggaran 2006 yang diajukan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI menggugat terhadap minimnya anggaran pendidikan dalam APBN dan dianggap menyalahi amanat konstitusi. Oleh karena itu, pasca putusan MK tersebut, pemerintah bersama DPR harus mentaati putusan MK dan membuktikan komitennya terhadap peningkatan kualitas pendidikan dengan melakukan revisi anggaran pendidikan dalam APBN tahun 2006 sampai mencapai batas minimal 20 %. Selain itu, pemerintah pusat juga harus terus mendorong agar pemerintah daerah memiliki tekad dan kepedulian yang sama untuk meningkatkan anggaran pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi.

Korupsi anggaran pendidikan

Sudah bukan rahasia lagi bahwa dunia pendidikan kita masih diwarnai oleh korupsi. Anggaran pendidikan yang masih kecil tersebut semakin berkurang karena perilaku korup sebagian birokrat pendidikan. Korupsi terjadi mulai dari lingkungan Depdiknas sendiri sampai kepada lingkungan sekolah. Lembaga pengawas pemerintah seperti BPK dan BPKP, dan LSM yang peduli terhadap pendidikan sudah banyak menemukan dan melaporkan berbagai penyelewengan anggaran pendidikan tersebut. Kini kita menunggu ketegasan aparat hukum dalam menangani berbagai temuan tersebut. Bikrokrasi pendidikan yang seharusnya membangun dunia pendidikan Indonesia, justru menjadi salah satu pihak yang turut menambah borok pendidikan Indonesia. Kita bisa melihat, bagaimana sekolah yang baru beberapa tahun saja dibangun atau direnovasi sudah ambruk karena kualitas bangunan yang rendah. Rendahnya kualitas bangunan sekolah tersebut disebabkan kualitas bahan yang rendah. Kualitas bahan yang rendah disebabkan sebagian dananya disunat oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Bandingkan dengan kondisi sekolah peninggalan jaman Belanda, bangunannya begitu kokoh dan tahan lama karena dibangun dengan bahan-bahan yang berkualitas. Korupsi sungguh telah menjadi kanker ganas yang jika tidak terus diberantas akan membuat kondisi Indonesia semakin terpuruk. Kita mengharapkan bahwa Departemen Pendidikan Nasional dapat menjadi sebuah departemen yang bebas dari korupsi dan memberikan contoh yang mendidik bagi instansi-instansi pemerintah lainnya.

Kegiatan kunjungan ke sekolah yang dilakukan oleh Presiden SBY harus semakin sering dilakukan dan sebaiknya dilakukan secara mendadak, karena sudah bukan rahasia lagi, ketika kunjungan seorang pejabat apalagi seorang presiden diberitahukan sebelumnya, maka pihak yang akan dikunjungi akan mempersiapkan diri dan menutup bolong-bolong yang dimilikinya. Hal yang terjadi adalah manipulasi kondisi dan manipulasi informasi. Semuanya seakan-akan sempurna dan tidak tampak kekurangan. Akibatnya, yang diberikan adalah laporan ABS (Asal Bapak Senang). Perilaku-perilaku seperti itu sudah sepatutnya dihilangkan karena sangat merugikan dan mengakibatkan ketidaktepatan dalam melakukan penilaian dan pengambilan keputusan atau melakukan tindaklanjut. Menteri Pendidikan Nasional sudah selayaknya lebih getol daripada Presiden dalam memantau kondisi pendidikan, karena dialah yang paling bertanggung jawab yang mengelola pendidikan nasional. Dan setelah bergulirnya otonomi daerah dimana di dalamnya termasuk desentrasi pendidikan, pemerintah daerahpun harus lebih proaktif dalam memantau kondisi pendidikan di daerahnya masing-masing. Jangan mau kalah dan jangan mau dibuat malu oleh presiden yang mau berkunjung ke sekolah untuk memantau langsung kondisi nyata di lapangan.

Dengan kondisi sekolah yang bersih, diharapkan para siswa dapat belajar dengan nyaman, berhati bersih, dan berperilaku bersih (baca: baik) sesuai dengan tujuan pendidikan. Para koruptor yang banyak bergentayangan di negara kita, jangan-jangan adalah produk sekolah yang bau dan kotor. Dengan seringnya kunjungan Presiden secara mendadak ke sekolah menjadikan efek jera kepada pengelola sekolah supaya rajin bersih-bersih karena siapa tahu sang Presiden akan berkunjung ke sekolahnya.

*) Penulis adalah pegawai Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat, Guru Kewarganegaraan SMP Madani Kec. Cihampelas Kab. Bandung Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar