Minggu, 11 September 2011

TERORISME DAN KORUPSI

Polri kembali menangkap enam orang Daftar Pencarian Orang (DPO) Teroris Aceh di Medan beberapa waktu yang lalu. Masih segar dalam ingatan kita, Dulmatin, aktor intelektual Bom Bali tahun 2002 dan dua orang pengawalnya tewas pada penggerebegan yang dilakukan oleh Densus 88 Polri di Pamulang Tangerang Selatan beberapa waktu yang lalu menjadi kabar baik sekaligus membuat kita semua sedikit lega karena rantai terorisme sudah relatif diputus. Walaupun Dulmatin sudah tewas dan beberapa orang DPO teroris telah ditangkap, terorisme bukan berarti hilang dari bumi Indonesia. Aparat kepolisian dan masyarakat harus tetap waspada terhadap terorisme karena jaringan teroris terus melakukan perekrutan dan kaderisasi seperti yang terjadi di Aceh.  
Dulmatin tewas di tengah pengejaran Densus 88 Polri terhadap para teroris yang disinyalir menjadikan Aceh sebagai daerah latihan dan ingin menjadikannya sebagai base camp teroris. Berdasarkan keterangan Polri, Dulmatin pun erat kaitannya aktivitas para teroris di Aceh. Dulmatin berperan sebagai penyuplai senjata dan dana kepada kelompok teroris Aceh.
Indonesia dicap sebagai negeri teroris pasca terjadinya rangkaian teror bom seperti bom di Kedubes Philipina (2000), bom Bursa Efek Jakarta (2000), bom malam Natal (2000), bom Bali I (2002), bom di Kedutaan Besar Australia (2004), bom di Hotel JW Marriot (2003), Bom Bali II (2005), dan terakhir bom di hotel Carlton dan hotel JW Marriot atau disebut juga bom Kuningan (2009). Pelaku terorisme bukan hanya orang Indonesia, tetapi orang asing seperti dr. Azahari dan Noordin M. Top menjadikan Indonesia sebagai daerah operasi terorisme karena disamping lemahnya penegakkan hukum, juga masyarakat Indonesia dikenal sebagai warga yang ramah. Mereka menggunakan isu anti Amerika sebagai alat untuk mengajak para sukarelawan untuk mau bergabung “berjihad” bersama mereka. Rata-rata mereka adalah alumni Afghanistan dan alumni jihad di Ambon dan Poso.


Pemahaman makna jihad yang salah kaprah menyebabkan mereka menyebut teror sebagai jihad membela umat Islam dari ketidakadilan Amerika Serikat. Ayat-ayat jihad di dalam Al-Qur’an difahami secara salah sehingga perbuatan mereka justru merugikan umat Islam. Islam dicap sebagai teroris padahal itu hanyalah perbuatan segelintir orang saja yang mengatasnamakan Islam sebagai justifikasi perbuatan mereka.
Islam adalah agama perdamaian dan keselataman. Islam adalah rahmatallil’alamiin. Nabi Muhammad sebagai pembawa syariat Islam menyebarkan Islam bukan dengan cara kekerasan, tetapi dengan akhlak yang baik. Adalah benar Nabi pernah berkali-kali melakukan perang dengan kaum kafir quraisy tetapi bukan dalam rangka memaksakan kehendak, tetapi untuk membela diri dari serangan kaum kafir quraisy. Dengan kedamaian dan akhlak yang baik, akhirnya Islam dapat diterima dan menyebar ke seluruh dunia.
Jika ingin membela umat Islam, tentu harus dilakukan secara benar. Saat ini, yang dibutuhkan adalah pemikiran-pemikiran yang cerdas dan mencerahkan, bukannya cara destruktif seperti terorisme. Jika mau berjihad, langkah yang yang sangat relevan untuk dilakukan saat ini jihad dengan pikiran (ghazwul fikri) melawan faham barat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam sehingga generasi muda Islam tidak hanyut dan terpengaruh paham barat. Langkah yang paling strategis adalah melalui jalur pendidikan.
Esensi dari Jihad adalah kesungguh-sungguhan dalam melakukan sesuatu. Ketika kita sungguh-sungguh dalam bekerja, belajar, atau perbuatan baik lainnya, hal itu termasuk jihad. Dalam sebuah hadist, diriwayatkan bahwa ketika pulang dari perang Badar, Rasulullah berkata kepada para sahabat bahwa kita baru saja pulang dari jihad yang kecil, menuju jihad yang lebih besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu. Hal tersebut menandakan bahwa makna jihad yang dipahami oleh sebagian orang Islam saat ini diluruskan.
Dalam upaya mencegah pemahaman jihad yang menyimpang, Polri menggandeng Kementerian Agama untuk membuat Pendidikan Anti Terorisme untuk para napi. Kebanyakan para napi terorisme masuk kembali ke jaringan teroris selepas mereka keluar dari penjara. Hal itu disebabkan karena pemahaman jihad bagi mereka adalah meneror kepentingan-kepentingan asing di Indonesia yang kadang-kadang memakan korban jiwa yang tidak berdosa. Polri juga menggendeng pesantren untuk meluruskan makna jihad dan mencegah beredarnya faham radikalisme di masyarakat.
Sejumlah pengamat mengatakan bahwa kemiskinan adalah sumber terorisme. Para pelaku terorisme rata-rata adalah orang-orang miskin. Selain miskin, mereka juga memiliki fanatisme (yang salah) terhadap ajaran Islam sehingga mereka mudah dipengaruhi. Ketidakadilan Amerika Serikat terhadap umat Islam di Irak dan Afghanistan, penjajahan Israel di tanah Palestina. Dalam pandangan mereka, pemerintah Indonesia saat ini disebut thagut karena menjadi antek Amerika.
Kemiskinan masih menjadi pekerjaan besar pemerintah. Sejumlah program telah diluncurkan pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan tetapi hasilnya belum optimal. Kantong-kantong kemiskinan masih banyak terlihat baik di desa maupun di kota. Selama kemiskinan dan ketidakadilan masih ada, diasumsikan potensi terorisme tetap ada.
Korupsi
Penyebab masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia selain pemerintah yang belum berhasil mengentaskan kemiskinan juga adalah korupsi. Survei yang dilakukan oleh Political & Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2010 menempatkan Indonesia sebagai peringkat pertama negara paling korup dengan skor 9,07 dari nilai 10. Hal ini sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena sejak lama Indonesia terkenal sebagai negara korup.
Korupsi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Korupsi melanggar HAM. Korupsi pada dasarnya sama saja dengan terorisme bahkan dampaknya lebih hebat dari terorisme. Terorisme dan korupsi adalah dua pekerjaan besar yang harus mendapatkan perhatian serius pemerintah.                                                                                                                                                                                                                                                           


Penulis, Pemerhati Masalah Sosial, Praktisi Pendidikan.

(Tulisan ini dimuat di Majalah BKW No. 260 Juli 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar