POLITISI DAN KORUPSI
Korupsi
terjadi hampir di setiap kalangan masyarakat, tak terkecuali di kalangan
politisi. Politisi adalah orang yang bergerak atau berkecimpung di dunia
politik. Politik sejatinya dapat diartikan sebagai ikhtiar mengelola negara untuk
mewujudkan kemakmuran rakyat. Politik adalah lahan pengabdian untuk mewujudkan
kemaslahatan umat. Menjadi politisi adalah suatu pekerjaan yang sangat mulia. Para
politisi menduduki jabatan-jabatan tertentu di lembaga politik seperti legislatif
dan eksekutif. Politisi bisa muncul dari partai politik atau dari perseorangan.
Melihat
fenomena beberapa tahun terakhir memang sangat memprihatinkan. Banyak politisi
yang harus duduk di meja hijau dan dijeblosan ke penjara karena terlibat kasus
korupsi. Bukan hanya politisi di tingkat pusat, politisi di tingkat daerah pun
banyak yang terjerat korupsi. Lahan basah yang menjadi objek korupsi para
politisi adalah APBD dan APBN. Bahkan ada yang nyambi menjadi calo anggaran.
Kasus-kasus
korupsi yang paling update, misalnya
kasus suap Sesmenpora, suap di Kemenakertrans, kasus surat Palsu MK yang
disamping melibatkan politisi juga melibatkan kalangan birokrasi dan aparat
penegak hukum. Saat ini pun muncul tuntutan agar Badan Anggaran (banggar) DPR
dibubarkan karena disinyalir hanya menjadi ajang korupsi dan calo anggaran. Beberapa pimpinan banggar DPR beberapa waktu
yang lalu diperiksa sebagai saksi oleh KPK. Buntutnya, banggar pun ngambek mengancam menghentikan
pembahasan APBN 2012. Selain itu, hubungan antara banggar DPR dan KPK pun
menjadi kurang harmonis. Kita juga tentu masih ingat, beberapa waktu yang lalu dua
orang pimpinan KPK, yaitu Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto pun pernah
diusir oleh Komisi III DPR pada saat menghadiri rapat. Hal tersebut membuktikan
bahwa hubungan antara KPK dan DPR kurang harmonis. Sudah cukup banyak anggota
DPR yang dijebloskan oleh penjara oleh KPK sementara di satu sisi, para
pimpinan KPK tersebut dipilih oleh DPR, sehingga ada semacam anggapan bahwa KPK
justru menyerang lembaga yang dulu memilihnya.
Survei Kemitraan tahun 2010 memperlihatkan bahwa
lembaga legislatif menempati urutan nomor satu sebagai lembaga terkorup
dibandingkan lembaga yudikatif dan eksekutif. Hasil survei tersebut
menyebutkan korupsi legislatif sebesar 78%, eksekutif 32% dan Yudikatif 70%.
Hasil survei tersebut dapat menjadi indikator bahwa kepercayaan publik terhadap
lembaga politik atau politisi sudah sangat rendah. Dampaknya, mungkin saja pada
saat pemilu atau pemilukada, masyarakat sudah apatis dan memilih menjadi golput
karena merasa dikhianati oleh para politisi yang mereka pilih.
Para politisi tersebut dipilih dan diberi amanah
oleh masyarakat dengan harapan mampu memberikan perubahan dan mewujudkan
kesejahteraan, tetapi kenyataannya berbanding terbalik. Para politisi tersebut
justru menjadikan lembaga legislatif dan eksekutif sebagai sarana untuk korupsi
dan memperkaya diri sementara rakyat yang memilihnya dilupakan, tetap miskin. Ketika
kita bertanya kepada seorang politisi, mengapa mencalonkan diri menjadi caleg,
Kepala Daerah, atau Presiden sekalipun, pasti jawabannya ideal, yaitu ingin
mengabdi untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Mereka pun berjanji
akan melakukan ini dan itu untuk memajukan daerah. Tetapi hal tersebut ternyata
hanya menjadi bumbu kampanye, lip service
tanpa upaya yang sungguh-sungguh utnuk merealisasikannya. Setelah menjadi
pemimpin, justru kekayaan mereka semakin bertambah, sementara rakyat banyak
yang hidup kesusahan. Masyarakat pun terpaksa harus kecewa dengan pilihannya
tersebut.
Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi
politisi, dia harus memiliki landasan moral yang kuat, menjunjung tinggi
integritas dan kejujuran karena realitas dunia politik saat ini dikenal sebagai
dunia yang kejam, penuh dengan intrik, kepalsuan, politik uang, dan kebohongan.
Dalam politik juga berlaku hukum rimba, siapa yang kuat, dia yang akan menang. Bahkan
Penyanyi Iwan Fals dalam salah satu lagunya menganalogikan dunia politik
seperti dunia para binatang. Pragmatisme di kalangan pemilih pun semakin
memperparah rendahnya kualitas kehidupan politik di Indonesia. Realitas seperti
itu seharusnya tidak perlu terjadi andaikan praktek politik dilandasi oleh
moral, integritas, dan kejujuran.
Jika kita perhatikan, usia politisi yang terlibat
kasus korupsi cenderung semakin muda. Misalnya kasus korupsi yang menimpa
mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin yang berusia sekitar 30
tahunan yang juga turut menyeret beberapa nama anggota DPR yang berasal dari
partai Demokrat yang usianya pun masih muda. Apakah ini merupakan sinyal bahwa
terjadi “kaderisasi” korupsi dari politisi senior kepada politisi junior? Jawabannya
bisa “ya” atau juga bisa “tidak” tergantung dari sudut pandang mana melihatnya.
Yang jelas, para politisi yang masih baru seumur jagung akan melihat
gerak-gerik dan perilaku para politisi senior. Hal ini tentunya sangat
memprihatinkan kita dimana ketika di satu sisi pemerintah gencar memberantas
korupsi, tetapi pelaku korupsi semakin banyak dan usianya semakin muda.
Maraknya korupsi yang dilakukan oleh politisi
seolah-olah mengidentikkan dunia politik dengan korupsi. Stigma yang muncul
adalah bahwa setiap politisi pasti (pernah) korupsi. Para pemimpin saat ini memang
banyak yang dihujat oleh rakyatnya karena terjerat korupsi. Saat ini sulit
sekali mencari pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya. Walaupun demikian,
diantara banyaknya politisi yang korup, penulis melihat masih ada politisi yang
bersih dan bisa menjadi panutan. Joko Widodo, Walikota Solo, Jawa Tengah adalah
salah satu politisi yang menurut penulis perlu mendapatkan kredit point. Beliau
begitu dicintai rakyatnya karena dinilai sebagai sosok pemimpin yang bersih,
merakyat, berpihak kepada kepentingan rakyat, mampu melindungi pasar
tradisional sebagai urat nadi perekonomian rakyat dari serbuan pasar modern
dengan melarang berdirinya mall di kota Solo. Meskipun tidak sepaham dengan
Bibit waluyo, Gubernur Jawa Tengah dalam konsep pengembangan ekonomi, tetapi Joko
Widodo punya prinsip dan mendapat dukungan masyarakat Solo.
Selain Joko Widodo, sosok politisi (pemimpin)
yang bisa dijadikan panutan adalah Adam Dambea, Walikota Gorontalo. Beliau
sungguh-sungguh memberantas korupsi di kota Gorontalo. Beliau pun terjun
langsung ke lapangan, berinteraksi dengan masyarakat, tanggap terhadap setiap
keluhan masyarakat, dan menjadi sosok terdepan dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Beliau terkenal pemimpin yang tegas, tak segan-segan
menindak stafnya yang tidak melaksanakan tugas dengan baik. Beliau menjadi
sosok pemimpin yang disegani oleh bawahan dan dicintai oleh rakyat karena
satunya perkataan dan perbuatan.
Penulis melihat bahwa korupsi yang terjadi di
kalangan politisi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena rendahnya
moralitas dan integritas sehingga menyebabkan mereka tergiur untuk korupsi.
Ketika pertama kali masuk ke dunia politik, seorang politisi mungkin masih
memiliki idealisme, tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan sistem yang
kotor, maka idealismenya tersebut lambat laun terus menurun bahkan hilang.
Kedua, mahalnya biaya politik. Sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa ketika seseorang mencalonkan diri menjadi caleg atau
Kepala Daerah, biaya yang dibutuhkan sangat besar. Dana tersebut disamping berasal
dari dirinya sendiri, juga berasal dari “sumbangan” pengusaha sehingga ketika
dia terpilih, maka langka yang pertama dilakukan adalah mengembalikan modalnya
dan harus memberikan bakpas budi kepada pihak-pihak yang telah menyumbang dan
menjadi tim suksesnya. Peribahasa Inggris mengatakan “no lunch free” alias tak ada makan siang gratis. Sumbangan yang
diberikan dari pihak tertentu kepada seorang politisi tentunya disertai dengan
motif tertentu, sangat sulit lepas dari kepentingan terselubung penyumbang.
Ketiga, gagalnya kaderisasi dan pendidikan politik
di partai politik. Realita menunjukan bahwa ketika seseorang ingin menjadi
ketua parpol, maka dia harus memiliki “gizi” yang banyak, sehingga politik
uang, politik transaksional pun terjadi ketika pemilihan ketua parpol. Orang
yang tidak berdarah-darah meniti karir politik dari bawah mendadak bisa menjadi
elit partai karena memiliki uang. Salah satu fungsi parpol adalah menjadi
sarana pendidikan politik, membentuk orang-orang muda untuk menjadi politisi
yang idealis,bermoral, dan militan, tetapi ternyata hanya melahirkan politisi
karbitan dan pragmatis, hanya menjadikan parpol sebagai kendaraan politik untuk
mencapai kekuasaan. Hal ini tidak lepas dari praktek di internal parpol sendiri
yang penuh dengan instrik dan politik uang.
Penulis
menilai bahwa parpol adalah pihak yang
paling bertanggung jawab terhadap korupsi yang dilakukan oleh politisi
karena parpol telah gagal menjalankan fungsinya. Dalam sebuah negara demokrasi,
keberadaan parpol adalah sebuah keniscayaan sebagai agen untuk melahirkan pemimpin.
Keikutsertaan parpol dalam pemilu adalah sebuah ikhtiar konstitusional untuk
membangun sebuah tatanan negara dan pemerintahan yang bisa mewujudkan negara
bangsa yang makmur dan sejahtera. Oleh karena itu, keberadaan parpol dibutuhkan
dalam sebuah negara demokratis. Partai politik pun kerap dituding sebagai
bunker yang melindungi koruptor sehingga komitmen parpol sebagai lembaga yang
antikorupsi pun semakin diragukan.
Walaupun
demikian, kita tidak bisa menyalahkan terhadap masyarakat yang semakin apatis
terhadap partai politik. Setiap menjelang pemilu, banyak partai politik baru
berdiri dan menawarkan perubahan, tetapi hasilnya sama saja. Rakyat selalu
dibohongi dan dibuai dengan janji-janji manis. Pada awal bergulirnya reformasi
tahun 1997, partai-partai baru dengan penuh percaya diri mengklaim sebagai
partai yang antikorupsi. Rakyat pun menyimpan harapan terhadap partai-partai
baru tersebut. Tetapi realitanya ketika sudah berkuasa, justru menjadi sarang
koruptor. Seorang pimpinan parpol yang dulunya seorang aktivis dan ketua
organisasi mahasiswa, saat ini justru terseret ke dalam pusaran kasus korupsi.
Untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sudah rendah tersebut, partai politik
secara institusi dan politisi secara individu harus introspeksi diri,
memperbaiki diri, membersihkan dirinya dari para kader yang korup. Integritas
dan kejujuran merupakan hal yang mutlak harus dimiliki oleh kader-kader parpol.
Jika tidak, maka keberadaan parpol semakin tidak dipercaya dan semakin tidak
dibutuhkan oleh masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar