PENDIDIKAN KARAKTER BAGI ORANG DEWASA
Wacana
tentang pendidikan karakter mengemuka di tengah keprihatinan kita terhadap
krisis karakter bangsa yang kian menggejala di berbagai lapisan masyarakat. Para
pejabat banyak yang terlibat korupsi, masyarakat,
mahasiswa, dan pelajar banyak yang terlibat tawuran, anak-anak muda kita banyak
yang terlibat seks bebasm penggunaan narkotika, obat-obat terlarang, aborsi,
dan sebagainya. Budaya instan, materialisme, dan hedonisme kian menjadi “ideologi” bangsa
kita. Lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi sarana pembentukan mental
dan karakter peserta didik juga terkena virus krisis karakter. Sebut saja
berbagai kasus kecurangan pada saat Ujian Nasional (UN), mencontek karya ilmiah
orang lain (plagiarisme), pemalsuan dan jual beli ijazah, dan sebagainya.
Dilandasi
berbagai hal tersebut di atas, maka pemerintah melalui Kementerian Pendidikan
Nasional (Kemdiknas) mulai tahun 2010 meminta sekolah-sekolah mengintegrasikan
pendidikan karakter ke dalam kurikulum sekolah. Para guru diminta untuk bekerja
lebih keras dalam membina dan membimbing peserta didik agar menjadi manusia
yang berkarakter. Berkarakter di sini, maksudnya bukan hanya memiliki budi
pekerti yang baik, tetapi juga memiliki semangat kerja keras, pantang menyerah,
dan memiliki mental berprestasi.
Pendidikan
karakter bukan hanya berkutat memperkenalkan sejumlah sikap dan perilaku yang
baik kepada peserta didik, tetapi juga bagaimana membiasakan para peserta didik
untuk melakukannya bukan hanya di sekolah tetapi juga di lingkungan rumah dan
masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan bukan karakter tidak disampaikan dalam
bentuk ceramah saja, tetapi harus ada prakteknya. Dan yang paling utama adalah
harus ada sosok atau figur orang dewasa yang mampu menjadi contoh teladan.
Kalau kita
mau objektif menilai, berbagai krisis karakter bangsa saat ini justru lebih
banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa. Coba kita perhatikan siapa yang
melakukan korupsi, siapa yang suka membung sampah sembarangan, siapa yang suka
merokok di tempat-tempat yang memang dilarang untuk merokok, siapa yang suka
melanggar rambu-rambu lalu lintas, siapa yang suka berkata-kata kasar dan
kotor, siapa yang terlibat skandal seks, dan siapa yang yang suka melakukan
berbagai perilaku menyimpang lainnya. Jawabannya adalah orang dewasa. Orang
dewasa-lah yang memberikan contoh kepada orang muda sehingga mereka melakukan
perilaku menyimpang. Jadi, di sini terjadi efek imitasi atau meniru dari orang muda
terhadap orang dewasa.
Kemdiknas
begitu bersemangat menggaungkan pendidikan karakter di sekolah, tetapi tak
seiring sejalan dengan yang terjadi di lapangan. Para pejabat silih berganti
diperiksa dan diadili di meja hijau karena kasus korupsi, kasus-kasus tawuran,
kasus bom bunuh diri, dan kasus kekerasan yang berbau SARA menjadi pemberitaan
media setiap hari. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan kita. Hal ini
kontraproduktif di tengah upaya untuk memperbaiki karakter bangsa ini.
Pemerintah terkesan hanya fokus membangun karakter didik,
tetapi kurang fokus membangun atau memperbaiki karakter bangsa secara umum. Hal
ini mungkin dilandasi oleh asumsi bahwa generasi muda adalah calon penerus
bangsa. Para pemimpin juga kurang memberikan keteladanan kepada masyarakat. Kita
faham bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga tanggung
jawab orang tua dan masyarakat. Di sini sering terjadi kesenjangan. Di satu
sisi, sekolah berusaha dengan sekuat tenaga mendidik para peserta didik, tetapi
di sisi lain, mereka kurang mendapatkan pendidikan di lingkungan keluarga dan
masyarakat. Justru kedua lingkungan tersebut mengerosi nilai-nilai yang
ditanamkan di sekolah. Dengan kata lain, tidak ada kerjasama antara keluarga,
sekolah, dan masyarakat.
Kita tentu
faham bahwa keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Kedua orang tuanya adalah
guru pertama mereka. Lingkungan masyarakat pun merupakan “sekolah alam” bagi
mereka. Satu langkah mereka keluar dari gerbang sekolah, di situlah terjadi
konflik nilai dengan yang diajarkan di sekolah. Hal ini menjadi persoalan
serius bagi kita di tengah karakter masyarakat yang di satu sisi cenderung
permisif dan di sisi lain juga cenderung intoleransi terhadap perbedaan.
Orang dewasa
memiliki peranan penting dalam rangka membangun karakter anak-anak dan remaja.
Dari orang dewasa-lah, mereka memperoleh pengalaman yang mungkin akan menjadi
patokan atau acuan dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga apapun yang
dilakukan oleh orang dewasa baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk akan
dicontoh oleh mereka. Sehingga orang dewasa harus mawas diri, menjaga sikap dan
perilakunya di hadapan anak-anak dan remaja. Dengan demikian, pendidikan
karakter bukan hanya perlu ditekankan kepada orang muda (anak-anak dan remaja)
tetapi juga untuk orang dewasa.
KUHPerdata
mendefinsikan orang dewasa sebagai orang sudah berusia 21 tahun atau sudah
menikah. Model pendidikan karakter bagi orang dewasa tentu tidak seperti model
untuk anak usia sekolah. Penulis berpendapat bahwa model pendidikan karakter
bagi orang dewasa tidak melalui pendekatan indoktrinatif, ceramah, dan hal-hal
lain yang lebih bersifat teoritis, tetapi lebih fokus kepada pembiasaan dan
keteladanan. Dan yang paling utama adalah perlu adanya kesadaran dari orang
dewasa untuk bersikap dan berbuat sesuai dengan norma dan etika yang berlaku di
masyarakat.
Pada dasarnya
orang dewasa tidak terlalu senang diceramahi, didikte, atau dikritik karena
merasa sudah bisa memilah, memilih, dan memutuskan sendiri apa yang akan
dilakukan. Orang dewasa di satu waktu mungkin saja dapat “dididik” oleh orang
lain agar memiliki karakter yang baik, tetapi
yang paling utama adalah dia harus mampu “mendidik” dirinya sendiri untuk
berkarakter baik. Tanpa itu, pendidikan karakter bagi orang dewasa tidak akan
optimal. Dalam konteks praksis, setiap orang dewasa perlu memulai dari dirinya
sendiri untuk menaati yang berlaku di masyarakat sehingga setiap orang muda
dapat mencontohnya.
Para orang
muda tentunya berharap kepada setiap orang dewasa untuk memberikan contoh yang
baik. Para orang dewasa tidak bisa berpangku tangan membiarkan krisis karakter
semakin kronis mendera bangsa ini. Tugas mendidik karakter bukan hanya tugas
guru sebagai bagian dari orang dewasa, tetapi orang dewasa secara umum juga
perlu menjadi guru dan mengimplementasikan pendidikan karakter.
Dalam konteks
pendidikan formal, Perguruan Tinggi (PT) baik di level sarjana maupun
pascasarjana dapat berperan dalam memberikan pendidikan karakter bagi orang
dewasa, meskipun tentunya pola
pendidikan yang digunakan adalah pola andragogi (pendidikan bagi orang dewasa).
Misalnya, adanya larangan merokok di tempat-tempat tertentu di sekitar kampus, menggunakan
pakaian ke kampus yang sesuai dengan norma dan etika, membiasakan datang datang
tepat waktu, saling menghormati pendapat ketika diskusi di dalam kelas,
menekankan pentingnya kejujuran akademis dan orisinalitas dalam membuat karya tulis ilmiah
dan penelitian, dan sebagainya. Pendidikan karakter bagi orang dewasa
diharapkan mampu menunjang pendidikan karakter peserta didik. Bangsa yang berkarakter
berawal dari individu-individu yang berkarakter. Semoga....!!!
Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar