Kamis, 27 Oktober 2011


PERAN PEMUDA DI TENGAH KRISIS KEPEMIMPINAN
Oleh:
IDRIS APANDI

“Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru! Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia.” Kalimat itu diucapkan Soekarno, sang Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia sebagai gambaran pentingnya kekuatan dan peran pemuda dalam pembangunan mengisi kemerdekaan. Jika berkaca kepada sejarah dunia, kiprah pemuda telah banyak merubah wajah dunia dan mampu membangun atau memperbaiki peradaban.
Sejarah perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia memang tidak lepas dari peran pemuda. Peran pemuda diawali ketika  tahun 1908, Dr. Soetomo dan kawan-kawannya mendirikan organisasi Budi Utomo. Tanggal 28 Oktober 1928, melalui Kongres Pemuda II di Jakarta, para pemuda dari berbagai daerah seperti Jong Java, Jong Islamiten Bond, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Ambon, dan kelompok pemuda lainnya berkumpul menyatukan visi memperjuangkan kemerdekaan dengan mengikrarkan “Sumpah Pemuda”, yaitu berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu, Indonesia. Walaupun berbeda-beda suku bangsa, adat, dan budaya, tapi mereka mampu melepaskan ego masing-masing, mau bersatu demi Indonesia merdeka. Hal ini dilandasi oleh pengalaman bahwa perjuangan yang bersifat kedaerahan gagal dalam mengusir penjajah karena kekuatan yang kecil dan mudah dipecah belah. Perjuangan kemerdekaan Indonesia mencapai titik kulminasinya pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan diproklamirkannya kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) oleh Soekarno-Hatta.
Disamping dua nama proklamator di atas, kita tentu mengenal banyak tokoh pejuang kemerdekaan, seperti Sutan Sjahrir, Muhammad Yamin, Sjafrudin Prawiranegara, Muhammad Toha, Oto Iskandar Dinata, dan lain-lain. Di usia muda mereka sudah gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.Yang menjadi modal utama mereka bukanlah senjata, tetapi idealisme dan cita-cita agar Indonesia merdeka. Mereka berjuang tanpa pamrih, tak mengharapkan imbalan, tak ingin dipuji, dan tak ingin nama mereka dibesar-besarkan. Tetapi karena jasa-jasanya tersebut, nama mereka di tulis dalam tinta emas sejarah perjuangan bangsa.
Para founding father tersebut telah menitipkan negeri ini kepada kita khususnya para pemuda untuk melanjutkan cita-cita mereka mengisi kemerdekaan dengan pembangunan dalam berbagai bidang. Setelah 66 tahun kemerdekaan negeri ini, kita tentu dapat melihat ada  pembangunan yang dilakukan. Walaupun demikian, kita pun pun tak menutup mata masih banyak kekurangan dalam berbagai hal. Kemakmuran rakyat yang merupakan amanat konstitusi belum bisa terwujud. Kue pembangunan belum bisa dirasakan oleh semua warga masyarakat. Dan korupsi pun semakin merajalela.
Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah banyak ditinggalkan. Banyak kalangan menilai bahwa kebijakan pemerintah Indonesia sekarang sudah mengacu kepada faham neo-liberalisme dimana berlaku persaingan bebas, tidak berupaya memperkuat ekonomi kerakyatan sebagai fondasi ekonomi nasional. Hukum yang berlaku dalam pasar persaingan babas adalah yang memiliki banyak modal, itulah yang akan menjadi penguasa, sedangkan yang kurang memiliki modal akan tersisih dari persaingan. Dengan kata lain, yang kuatlah yang akan menang. Pemerintah mengimpor beras, garam, bawang merah, dan  kentang sementara para petani merana karena hasil taninya sulit bersaing dengan produk impor. Keberadaan pasar tradisional semakin terdesak oleh pasar modern.
Kesenjangan antara kaum kaya dan miskin semakin lebar. Berdasarkan hasil penelitian terbaru diketahui fakta yang cukup mencengangkan. Dalam kurun waktu 1,5 tahun, sejak Januari 2010 hingga Juni 2011, kenaikan kekayaan orang Indonesia mencapai US$420 miliar atau sekitar Rp3.738 triliun.  Dengan kenaikan itu, kekayaan total orang Indonesia di pertengahan 2011 mencapai US$1,8 triliun atau Rp16.000 triliun. Pertumbuhan kekayaan itu menjadikan Indonesia duduk pada urutan ke-14 negara kontributor tertinggi bagi pertumbuhan kekayaan global. Fakta itu jelas mencengangkan. Bayangkan, pertumbuhan kekayaan orang Indonesia itu tertinggi di Asia Tenggara. Indonesia berada di atas Singapura, yang mencatat kenaikan kekayaan US$307 miliar (Media Indonesia, 20/10/2011). Sementara di sisi lain, sekitar 40 juta rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Inilah gambaran tidak meratanya distribusi kesejahteraan. Yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin miskin.
Mengenai data konkrit jumlah penduduk miskin sering terjadi perdebatan antara versi Badan Pusat Statistik (BPS) dan versi Bank Dunia (World Bank). Hal ini terjadi karena perbedaan kriteria. BPS menyatakan bahwa orang miskin adalah yang berpenghasilan Rp 200 ribu ke bawah, sementara yang berpenghasilan di atasnya tidak termasuk ketagori orang miskin. Sedangkan kriteria Bank Dunia, yang disebut orang miskin jika berpenghasilan di bawah 2 (dua)  dollar US per hari. Kita sebenarnya tidak mau terjebak kepada perdebatan tersebut. Yang jelas, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak orang semakin terbebani dengan kenaikan harga-harga sembako, pendidikan dan kesehatan yang semakin tidak terjangkau, dan sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan. Dampaknya, banyak orang yang mengalami gangguan jiwa, stres, mudah tersulut emosi, dan melakukan tindakan kriminal.
Kesejahteraan sebuah negeri memang tidak lepas dari peran pemimpin. Melalui Pemilu atau Pemulikada kita memilih pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Tetapi yang terjadi adalah banyak pemimpin yang mengingkari mandat rakyat. Bukannya mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, justru mereka aji mumpung, menyalahgunakan jabatan dan wewenang yang dimilikinya untuk memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya dengan melakukan korupsi.
Di masa reformasi, peran pemuda tak terbantahkan. Pemuda khususnya kalangan mahasiswa berhasil menjatuhkan rezim otoriter Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto tahun 1998. Setelah itu, kita melihat para pemuda banyak berkiprah di dunia politik, aktif baik di eksekutif maupun di legislatif. Para pemimpin muda tersebut kita harapkan dapat menjadi lokomotif perubahan. Tetapi kita harus kecewa manakala pemimpin muda banyak juga yang terseret ke pusaran korupsi. Idealisme yang dulu mereka gelorakan lambat laun menurun bahkan padam. Idealisme mereka luluh oleh gegap gempita pragmatisme dan  praktek politik kotor yang diwarnai oleh politik uang (money politic) dan politik dagang sapi.
Saat ini kaum pemuda mengalami krisis kepemimpinan, para pemimpin saat ini tidak mampu mencerminkan keteladanan. Mereka banyak yang gontok-gontokkan terlibat perebutan  kekuasaan. Di satu sisi meminta rakyat hidup sederhana tetapi di sisi lain mereka hidup bermewah-mewahan dan bergelimang fasilitas yang berasal dari uang rakyat.
Diakui atau tidak, label negatif juga melekat pada sebagian pemuda. Pemuda yang saat ini banyak yang lebih senang tawuran daripada belajar, bermental copy-paste, bermental instan, tak mau susah-susah dalam menggapai sebuah cita-cita, banyak terlibat penyalahgunaan narkoba, dan seks bebas. Pemuda kita lebih senang nongkrong di mall daripada di membaca di perpustakaan meskipun mungkin aktivitas membaca bisa dilakukan dimana saja termasuk dengan memanfaatkan fasilitas wi-fi internet di cafe-cafe. Mereka lebih secang membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kesenangan daripada mendiskusikan kondisi bangsa dan negara. Mungkin mereka apatis karena negara ini kondisinya sudah sedemikian memperihatinkan. Menyelesaikan mnasalah di negeri ini ibarat mengurai benang kusut, yang tidak tahu harus mulai dari mana. Berbagai upaya juga kadang menemui jalan buntu karena ketidakseriusan pemerintah, lemahnya peran serta masyarakat, dan tidak tegaknya supremasi hukum.
Nasionalisme dan patriotisme pemuda saat banyak dipertanyakan. Dulu, ketika pemuda menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya atau lagu-lagu perjuangan, semangat mereka bergelora, bahkan ada yang sampai meneteskan air mata. Tetapi sekarang, lagu Indonesia Raya, hanya sekedar dinyanyikan, kurang dihayati makna yang terkandung di dalamnya sehingga kurang menyentuh. Bahkan ada yang menyanyikannya sambil bermain-main. Ukuran nasionalisme memang tidak hanya dapat diukur dengan sejauhmana keseriusan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, tetapi setidaknya bisa menjadi salah satu ciri dari rasa nasionalisme seseorang.
Begitu pun penghormatan terhadap bendera Merah Putih. Tidak lagi diperlakukan sebagai sebuah lambang negara yang sakral. Kadang, bendera yang terpasang di halaman kantor atau rumah dibiarkan terkena hujan dan panas sampai lapuk. Cara melipatnya pun sembarangan, tidak disertai dengan penghormatan. Berbeda dengan para pejuang kemerdekaan atau veteran pejuang memperlakukan sang Merah Putih dengan penuh penghormatan. Dalam sejarah, kita tentu pernah membaca bagaimana Ibu Fatmawati Soekarno menjahit bendera merah putih dan para pemuda menyimpan bendera tersebut untuk dikibarkan pada saat proklamasi kemerdekaan RI. Begitupun peristiwa di Hotel Yamato Surabaya tahun 1945 yang begitu heroik.  Dengan bertaruh nyawa para pejuang naik ke atap hotel kemudian merobek warna biru bendera Belanda sehingga menjadi warna merah putih.
Disamping label negatif yang dilekatkan kepada sebagian pemuda, kita patut bangga. Masih banyak pemuda yang berprestasi di berbagai bidang seperti olimpiade Fisika, Matematika, Komputer, olah raga, seni, dan budaya. Kita pun perlu mengapresiasi para pemuda yang menjadi pelopor terhadap berbagai kegiatan positif baik di kampus maupun di lingkungan masyarakatnya. Banyak diantara mereka yang menjadi sukarelawan dan pekerja sosial sehingga kiprah mereka benar-benar dirasakan oleh masyarakat.
Ketika para pemuda saat ini tengah mengalami krisis keteladanan pemimpin, pemuda sendiri-lah yang harus membangun dirinya sebagai calon pemimpin bangsa. Mereka harus meretas jalannya sendiri untuk meneruskan tongkat estafet pembangunan. Mereka harus berusaha memelihara idealismenya. Memang tidaklah mudah untuk mempertahankan idealisme di tengah budaya pragmatis yang semakin menggejala. Ketika sudah terjun ke lapangan, banyak sekali konflik kepentingan, kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Tetapi, pemuda perlu berupaya sekuat tenaga untuk untuk tidak tergerus pragmatisme. Peran organisasi pemuda juga perlu lebih diperkuat dalam mencetak pemuda menjadi insan-insan pembangunan yang memiliki idealisme dan karakter. Peribahasa mengatakan “air laut boleh asin, tapi ikan tidak ikut asin.” Mampukah? Waktulah yang akan menjawabnya. Wallahu a’lam.

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Pemerhati Masalah Sosial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar