PERAN PEMUDA DI TENGAH KRISIS KEPEMIMPINAN
Oleh:
IDRIS APANDI
“Beri aku seribu orang, dan dengan
mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru! Beri aku sepuluh pemuda yang
membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia.”
Kalimat itu diucapkan Soekarno, sang Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia
sebagai gambaran pentingnya kekuatan dan peran pemuda dalam pembangunan mengisi
kemerdekaan. Jika berkaca kepada sejarah dunia, kiprah pemuda telah banyak
merubah wajah dunia dan mampu membangun atau memperbaiki peradaban.
Sejarah
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia memang tidak lepas dari peran
pemuda. Peran pemuda diawali ketika
tahun 1908, Dr. Soetomo dan kawan-kawannya mendirikan organisasi Budi
Utomo. Tanggal 28 Oktober 1928, melalui Kongres Pemuda II di Jakarta, para
pemuda dari berbagai daerah seperti Jong Java, Jong Islamiten Bond, Jong
Sumatera, Jong Celebes, Jong Ambon, dan kelompok pemuda lainnya berkumpul
menyatukan visi memperjuangkan kemerdekaan dengan mengikrarkan “Sumpah Pemuda”,
yaitu berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu, Indonesia. Walaupun
berbeda-beda suku bangsa, adat, dan budaya, tapi mereka mampu melepaskan ego
masing-masing, mau bersatu demi Indonesia merdeka. Hal ini dilandasi oleh
pengalaman bahwa perjuangan yang bersifat kedaerahan gagal dalam mengusir
penjajah karena kekuatan yang kecil dan mudah dipecah belah. Perjuangan
kemerdekaan Indonesia mencapai titik kulminasinya pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan
diproklamirkannya kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) oleh
Soekarno-Hatta.
Disamping dua
nama proklamator di atas, kita tentu mengenal banyak tokoh pejuang kemerdekaan,
seperti Sutan Sjahrir, Muhammad Yamin, Sjafrudin Prawiranegara, Muhammad Toha,
Oto Iskandar Dinata, dan lain-lain. Di usia muda mereka sudah gigih
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.Yang menjadi modal utama mereka bukanlah
senjata, tetapi idealisme dan cita-cita agar Indonesia merdeka. Mereka berjuang
tanpa pamrih, tak mengharapkan imbalan, tak ingin dipuji, dan tak ingin nama
mereka dibesar-besarkan. Tetapi karena jasa-jasanya tersebut, nama mereka di
tulis dalam tinta emas sejarah perjuangan bangsa.
Para founding father tersebut telah
menitipkan negeri ini kepada kita khususnya para pemuda untuk melanjutkan cita-cita
mereka mengisi kemerdekaan dengan pembangunan dalam berbagai bidang. Setelah 66
tahun kemerdekaan negeri ini, kita tentu dapat melihat ada pembangunan yang dilakukan. Walaupun
demikian, kita pun pun tak menutup mata masih banyak kekurangan dalam berbagai
hal. Kemakmuran rakyat yang merupakan amanat konstitusi belum bisa terwujud.
Kue pembangunan belum bisa dirasakan oleh semua warga masyarakat. Dan korupsi pun
semakin merajalela.
Pancasila
sebagai ideologi bangsa sudah banyak ditinggalkan. Banyak kalangan menilai
bahwa kebijakan pemerintah Indonesia sekarang sudah mengacu kepada faham
neo-liberalisme dimana berlaku persaingan bebas, tidak berupaya memperkuat
ekonomi kerakyatan sebagai fondasi ekonomi nasional. Hukum yang berlaku dalam
pasar persaingan babas adalah yang memiliki banyak modal, itulah yang akan
menjadi penguasa, sedangkan yang kurang memiliki modal akan tersisih dari
persaingan. Dengan kata lain, yang kuatlah yang akan menang. Pemerintah mengimpor
beras, garam, bawang merah, dan kentang sementara
para petani merana karena hasil taninya sulit bersaing dengan produk impor.
Keberadaan pasar tradisional semakin terdesak oleh pasar modern.
Kesenjangan
antara kaum kaya dan miskin semakin lebar. Berdasarkan hasil penelitian terbaru
diketahui fakta yang cukup mencengangkan. Dalam kurun waktu 1,5
tahun, sejak Januari 2010 hingga Juni 2011, kenaikan kekayaan orang Indonesia
mencapai US$420 miliar atau sekitar Rp3.738 triliun. Dengan kenaikan itu, kekayaan total orang
Indonesia di pertengahan 2011 mencapai US$1,8 triliun atau Rp16.000 triliun.
Pertumbuhan kekayaan itu menjadikan Indonesia duduk pada urutan ke-14 negara
kontributor tertinggi bagi pertumbuhan kekayaan global. Fakta itu jelas mencengangkan. Bayangkan, pertumbuhan
kekayaan orang Indonesia itu tertinggi di Asia Tenggara. Indonesia berada di
atas Singapura, yang mencatat kenaikan kekayaan US$307 miliar (Media
Indonesia, 20/10/2011). Sementara di sisi lain, sekitar 40 juta rakyat
Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Inilah gambaran tidak meratanya
distribusi kesejahteraan. Yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin
miskin.
Mengenai data
konkrit jumlah penduduk miskin sering terjadi perdebatan antara versi Badan
Pusat Statistik (BPS) dan versi Bank Dunia (World
Bank). Hal ini terjadi karena perbedaan kriteria. BPS menyatakan bahwa
orang miskin adalah yang berpenghasilan Rp 200 ribu ke bawah, sementara yang
berpenghasilan di atasnya tidak termasuk ketagori orang miskin. Sedangkan kriteria
Bank Dunia, yang disebut orang miskin jika berpenghasilan di bawah 2 (dua) dollar US per hari. Kita sebenarnya tidak mau
terjebak kepada perdebatan tersebut. Yang jelas, fakta di lapangan menunjukkan
bahwa banyak orang semakin terbebani dengan kenaikan harga-harga sembako,
pendidikan dan kesehatan yang semakin tidak terjangkau, dan sulitnya mendapatkan
lapangan pekerjaan. Dampaknya, banyak orang yang mengalami gangguan jiwa,
stres, mudah tersulut emosi, dan melakukan tindakan kriminal.
Kesejahteraan
sebuah negeri memang tidak lepas dari peran pemimpin. Melalui Pemilu atau
Pemulikada kita memilih pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Tetapi yang terjadi adalah banyak pemimpin yang mengingkari mandat rakyat.
Bukannya mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, justru mereka aji
mumpung, menyalahgunakan jabatan dan wewenang yang dimilikinya untuk memperkaya
diri, keluarga, dan kelompoknya dengan melakukan korupsi.
Di masa
reformasi, peran pemuda tak terbantahkan. Pemuda khususnya kalangan mahasiswa
berhasil menjatuhkan rezim otoriter Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto
tahun 1998. Setelah itu, kita melihat para pemuda banyak berkiprah di dunia
politik, aktif baik di eksekutif maupun di legislatif. Para pemimpin muda tersebut
kita harapkan dapat menjadi lokomotif perubahan. Tetapi kita harus kecewa
manakala pemimpin muda banyak juga yang terseret ke pusaran korupsi. Idealisme
yang dulu mereka gelorakan lambat laun menurun bahkan padam. Idealisme mereka
luluh oleh gegap gempita pragmatisme dan
praktek politik kotor yang diwarnai oleh politik uang (money politic) dan politik dagang sapi.
Saat ini kaum
pemuda mengalami krisis kepemimpinan, para pemimpin saat ini tidak mampu
mencerminkan keteladanan. Mereka banyak yang gontok-gontokkan terlibat
perebutan kekuasaan. Di satu sisi meminta
rakyat hidup sederhana tetapi di sisi lain mereka hidup bermewah-mewahan dan
bergelimang fasilitas yang berasal dari uang rakyat.
Diakui atau
tidak, label negatif juga melekat pada sebagian pemuda. Pemuda yang saat ini
banyak yang lebih senang tawuran daripada belajar, bermental copy-paste, bermental
instan, tak mau susah-susah dalam menggapai sebuah cita-cita, banyak terlibat
penyalahgunaan narkoba, dan seks bebas. Pemuda kita lebih senang nongkrong di
mall daripada di membaca di perpustakaan meskipun mungkin aktivitas membaca
bisa dilakukan dimana saja termasuk dengan memanfaatkan fasilitas wi-fi internet di cafe-cafe. Mereka
lebih secang membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kesenangan
daripada mendiskusikan kondisi bangsa dan negara. Mungkin mereka apatis karena
negara ini kondisinya sudah sedemikian memperihatinkan. Menyelesaikan mnasalah
di negeri ini ibarat mengurai benang kusut, yang tidak tahu harus mulai dari
mana. Berbagai upaya juga kadang menemui jalan buntu karena ketidakseriusan
pemerintah, lemahnya peran serta masyarakat, dan tidak tegaknya supremasi
hukum.
Nasionalisme
dan patriotisme pemuda saat banyak dipertanyakan. Dulu, ketika pemuda
menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya atau lagu-lagu perjuangan, semangat
mereka bergelora, bahkan ada yang sampai meneteskan air mata. Tetapi sekarang,
lagu Indonesia Raya, hanya sekedar dinyanyikan, kurang dihayati makna yang
terkandung di dalamnya sehingga kurang menyentuh. Bahkan ada yang
menyanyikannya sambil bermain-main. Ukuran nasionalisme memang tidak hanya
dapat diukur dengan sejauhmana keseriusan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia
Raya, tetapi setidaknya bisa menjadi salah satu ciri dari rasa nasionalisme
seseorang.
Begitu pun
penghormatan terhadap bendera Merah Putih. Tidak lagi diperlakukan sebagai
sebuah lambang negara yang sakral. Kadang, bendera yang terpasang di halaman
kantor atau rumah dibiarkan terkena hujan dan panas sampai lapuk. Cara
melipatnya pun sembarangan, tidak disertai dengan penghormatan. Berbeda dengan
para pejuang kemerdekaan atau veteran pejuang memperlakukan sang Merah Putih
dengan penuh penghormatan. Dalam sejarah, kita tentu pernah membaca bagaimana
Ibu Fatmawati Soekarno menjahit bendera merah putih dan para pemuda menyimpan
bendera tersebut untuk dikibarkan pada saat proklamasi kemerdekaan RI.
Begitupun peristiwa di Hotel Yamato Surabaya tahun 1945 yang begitu
heroik. Dengan bertaruh nyawa para
pejuang naik ke atap hotel kemudian merobek warna biru bendera Belanda sehingga
menjadi warna merah putih.
Disamping
label negatif yang dilekatkan kepada sebagian pemuda, kita patut bangga. Masih
banyak pemuda yang berprestasi di berbagai bidang seperti olimpiade Fisika,
Matematika, Komputer, olah raga, seni, dan budaya. Kita pun perlu mengapresiasi
para pemuda yang menjadi pelopor terhadap berbagai kegiatan positif baik di
kampus maupun di lingkungan masyarakatnya. Banyak diantara mereka yang menjadi
sukarelawan dan pekerja sosial sehingga kiprah mereka benar-benar dirasakan
oleh masyarakat.
Ketika para
pemuda saat ini tengah mengalami krisis keteladanan pemimpin, pemuda
sendiri-lah yang harus membangun dirinya sebagai calon pemimpin bangsa. Mereka
harus meretas jalannya sendiri untuk meneruskan tongkat estafet pembangunan. Mereka
harus berusaha memelihara idealismenya. Memang tidaklah mudah untuk
mempertahankan idealisme di tengah budaya pragmatis yang semakin menggejala.
Ketika sudah terjun ke lapangan, banyak sekali konflik kepentingan, kesenjangan
antara harapan dan kenyataan. Tetapi, pemuda perlu berupaya sekuat tenaga untuk
untuk tidak tergerus pragmatisme. Peran organisasi pemuda juga perlu lebih
diperkuat dalam mencetak pemuda menjadi insan-insan pembangunan yang memiliki
idealisme dan karakter. Peribahasa mengatakan “air laut boleh asin, tapi ikan
tidak ikut asin.” Mampukah? Waktulah yang akan menjawabnya. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar