HAJI DALAM PERSPEKTIF BUDAYA
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban
haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
semesta Alam.”
(QS Ali-Imran : 97)
Iring-iringan
mobil tampak mengantarkan kloter calon jemaah haji ke suatu tempat yang telah
ditentukan. Supaya mudah dikenal, pada kaca bagian depan dan belakang mobil ditempel
kertas yang bertuliskan rombongan pengantar ibadah haji. Pemandangan seperti
akan sering kita lihat menjelang masuknya musim haji dan akan semakin banyak
jika sudah mendekati bulan dzuhijjah.
Sebagaimana
kita ketahui menunaikan ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Allah
mewajibkan kepada semua umat Islam yang mampu untuk menunaikannnya. Setiap umat
Islam tentu mengharapkan suatu saat dapat menginjakkan kakinya di Baitullah
karena itulah taraf ibadah paling tinggi dari ibadah-ibadah lainnya karena
ibadah tersebut memerlukan persiapan lahir dan batin. Persiapan lahir berupa
bekal, biaya, dan fisik yang kuat sementara persiapan batin berupa niat yang
kuat, keimanan yang kokoh, dan kepasrahan terhadap semua ketentuan Allah SWT.
Ibadah haji
disamping merupakan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah yang penuh dengan
berbagai keutamaan dibandingkan ibadah yang dilakukan di luar Mekkah-madinah,
juga merupakan bentuk pengalaman sipiritual yang sangat berkesan, tidak mungkin
terlupakan bagi yang telah menunaikannya. Karena keutamaannya, orang yang
pernah menunaikan ibadah haji pun, merinndukan suatu saat dapat menunaikannya
kembali. Setiap jemaah haji tentunya berharap menjadi haji mabrur.
Menunaikan ibadah
haji sebenarnya bukan hanya berkaitan dengan masalah biaya, tetapi juga
berkaitan dengan taufik-hidayah Allah, dan nasib. Banyak yang secara materi
sudah mampu tetapi hatinya belum tergerak menunaikan ibadah haji, tetapi ada
kalanya ada orang yang secara materi kekurangan tetapi dapat menunaikan ibadah
haji karena sudah “dipanggil” pergi Baitullah oleh Allah SWT. Orang yang sudah
sampai ke Baitullah pun, tidak dapat menyelesaikan rangkaian rukun haji karena
keburu meninggal. Selain itu, ada juga yang sudah pamitan dari rumah, ternyata
tidak dapat berangkat ke Mekkah karena terlantar (atau diterlantarkan) oleh
perusahaan pemberangkatan jemaah haji.
Indonesia
termasuk salah satu negara negara yang setiap tahunnya mengirim jemaah haji
paling banyak ke Saudi Arabia. Jumlahnya mencapai ratusan ribu orang. Bahkan
kuota jemaah haji setiap tahun selalu terbatas sehingga orang harus sabar
menanti bertahun-tahun untuk mendapatkan giliran menunaikan ibadah haji. Banyaknya
warga yang ngantri ingin menunaikan ibadah haji selian berasal dari orang yang sama
sekali belum menunaikannya, juga berasal dari orang yang ingin menunaikan
ibadah haji kembali meskipun wajibnya hanya satu kali saja. Banyaknya orang
yang ingin menunaikan ibadah haji juga menjadi indikator bahwa banyak rakyat
Indonesia yang hidup sejahtera dibalik banyak pula rakyat yang hidup
kekurangan.
Budaya
Pelaksanaan
ibadah haji disamping bisa dikaji dari konteks religi, juga dapat dikaji dari konteks
budaya. Jika kita perhatikan, setiap orang yang berniat menunaikan ibadah haji,
maka jauh-jauh hari sudah menabung. Bagi petani, mereka rela menjual sawah dan
ladang untuk bisa menunaikan ibadah haji. Ketika mereka sudah dipastikan
mendapatkan kuota, mereka pun intens melakukan bimbingan (manasik) ibadah haji
sebagai persiapan untuk melakukan berbagai ritual ibadah haji. Menjelang
keberangkatan, mereka pun melakukan syukuran (walimatussafar). Mereka mengundang tetangga dan sahabat untuk
menghadiri syukuran. Kegiatan disamping diisi dengan do’a juga diisi dengan tausyiah dari seorang mubaligh.
Jika kita
perhatikan, pada saat orang-orang menghadiri undangan, ada tradisi menyerahkan
amplop sebagai bentuk “kebaikan” untuk “bekal” orang yang akan pergi haji.
Padahal, logikanya tidak semata-mata orang akan pergi haji jika tidak memiliki
bekal yang cukup baik untuk dirinya ataupun keluarga yang ditinggalkannya. Biasanya,
amplop-amplop tersebut dicatat oleh orang yang pergi haji tersebut. Ketika
pulang dari ibadah haji, orang-orang yang memberikan amplop tersebut diberikan
cinderamata atau “oleh-oleh” haji walaupun membelinya dari di Indonesia. Mereka
pun telah mempersiapkan oleh-oleh untuk yang
berkunjung ke rumah. Ada semacam beban psikologis ketika pulang ibadah
haji tidak memberikan cinderamata kepada tetangga, walaupun hanya sebuah
tasbih.
Ketika pergi dari
rumah menuju tempat penampungan (embarkasi), mereka diantar oleh keluarga,
tetangga, dan sahabatnya. Ada kalanya jemaah haji harus menyiapkan akomodasi
dan transportasi bagi pengantar. Jumlahnya bisa bermobil-mobil. Dan juga,
biasanya para pengantar, disamping mengantar jemaah haji juga sekalian
jalan-jalan dan berwisata. Pemandangan iring-iringan pengantar jemaah haji
mungkin hanya terjadi di Indonesia, sedangkan di negara-negara lain, ibadah
haji dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja. Biasanya, orang satu kampung
tahu tentang keberangkatan seseorang untuk beribadah haji.
Ketika mereka
sampai di Mekkah-Madinah, mereka mereka melakukan rangkaian rukun ibadah haji
seperti ihram (memakai dua lembar kain putih), thawaf (mengelilingi ka’bah
sebanyak tujuh kali), sa’i (lari-lari kecil sebanyak tujuh kali antara safa dan
marwa), wukuf (berdiam diri dan berdo’a di padang arafah pada tanggal sembilan
dzulhijjah), melontar jumrah, tahallul (menggunting
rambut setelah melakukan sa’i), mabit (bermalam
di Mina dan Muzdalifah). Selama menunaikan ibadah haji, para jemaah haji
diwajibkan memanfaatkan waktunya untuk senantiasa beribadah kepada Allah SWT
karena ibadah haji merupakan kesempatan yang sangat berharga dan istimewa untuk
lebih mendekatkan diri kepada-Nya.
Pada saat
pulang ke tanah air, para jemaah haji siap-siap dijemput oleh keluarga yang
sudah cukup lama menunggu. Mereka saling berpelukan disertai tangis bahagia
karena dapat kembali ke tanah air dalam keadaan selamat karena tak sedikit
jamaah haji yang pulang nama, meninggal dan dikebumikan di Saudi Arabia. Setelah
itu, pada umumnya mereka biasanya dipanggil “Pak Haji” dan “Bu Hajah”. Tak
ketinggalan, huruf “H” atau “Hj” juga dicantumkan di awal namanya. Tapi ada
juga sebagian kecil orang yang tidak mau dipanggil “Haji” atau “Hajah” atau
mencantuman “gelar” kehajiannya karena menilai haji bukan sebuah gelar, tapi
terlihat dari peningkatan kualitas keimanan, ketakaqwaan, dan akhlak setelah
menunaikan ibadah haji. Atau dengan kata lain, menjadi haji mabrur (diterima
Allah).
Di
kampung-kampung yang masih cenderung feodal, seorang haji mendapatkan posisi
status sosial yang lebih tinggi dari warga yang belum menunaikan ibadah haji. Mereka
dijadikan pemimpin dan sosok panutan. Sayangnya, tak semua orang yang telah
menunaikan ibadah haji mampu menampilkan pribadi terpuji yang diharapkan
sehingga suka muncul istilah “haji...haji...tapi...”. Banyak yang sudah pergi
haji tetapi masih sombong, riya, ingin dipuji orang, pelit, kurang memiliki
kepedulian sosial, pelit untuk beramal, tidak mampu menjaga perkataan, sikap,
dan perbuatannya sehingga justru dilecehkan oleh orang lain. itulah gambaran
haji yang mardud (ditolak Allah). Sekarang tinggal kembali kepada setiap jemaah
haji, apakah dia menunaikan ibadah haji dilandasi niat ikhlas untuk lebih bertaqarrub kepada Allah, atau hanya
sebatas mengejar gengsi atau status sosial. Dan jawabannya akan terlihat dari
perkataan, sikap, dan perilaku pasca menunaikan ibadah haji.
Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah
Sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar