Senin, 24 Oktober 2011


HAJI DALAM PERSPEKTIF BUDAYA

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang  yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta Alam.”
(QS Ali-Imran : 97)

Iring-iringan mobil tampak mengantarkan kloter calon jemaah haji ke suatu tempat yang telah ditentukan. Supaya mudah dikenal, pada kaca bagian depan dan belakang mobil ditempel kertas yang bertuliskan rombongan pengantar ibadah haji. Pemandangan seperti akan sering kita lihat menjelang masuknya musim haji dan akan semakin banyak jika sudah mendekati bulan dzuhijjah.
Sebagaimana kita ketahui menunaikan ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Allah mewajibkan kepada semua umat Islam yang mampu untuk menunaikannnya. Setiap umat Islam tentu mengharapkan suatu saat dapat menginjakkan kakinya di Baitullah karena itulah taraf ibadah paling tinggi dari ibadah-ibadah lainnya karena ibadah tersebut memerlukan persiapan lahir dan batin. Persiapan lahir berupa bekal, biaya, dan fisik yang kuat sementara persiapan batin berupa niat yang kuat, keimanan yang kokoh, dan kepasrahan terhadap semua ketentuan Allah SWT.
Ibadah haji disamping merupakan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah yang penuh dengan berbagai keutamaan dibandingkan ibadah yang dilakukan di luar Mekkah-madinah, juga merupakan bentuk pengalaman sipiritual yang sangat berkesan, tidak mungkin terlupakan bagi yang telah menunaikannya. Karena keutamaannya, orang yang pernah menunaikan ibadah haji pun, merinndukan suatu saat dapat menunaikannya kembali. Setiap jemaah haji tentunya berharap menjadi haji mabrur.
Menunaikan ibadah haji sebenarnya bukan hanya berkaitan dengan masalah biaya, tetapi juga berkaitan dengan taufik-hidayah Allah, dan nasib. Banyak yang secara materi sudah mampu tetapi hatinya belum tergerak menunaikan ibadah haji, tetapi ada kalanya ada orang yang secara materi kekurangan tetapi dapat menunaikan ibadah haji karena sudah “dipanggil” pergi Baitullah oleh Allah SWT. Orang yang sudah sampai ke Baitullah pun, tidak dapat menyelesaikan rangkaian rukun haji karena keburu meninggal. Selain itu, ada juga yang sudah pamitan dari rumah, ternyata tidak dapat berangkat ke Mekkah karena terlantar (atau diterlantarkan) oleh perusahaan pemberangkatan jemaah haji.
Indonesia termasuk salah satu negara negara yang setiap tahunnya mengirim jemaah haji paling banyak ke Saudi Arabia. Jumlahnya mencapai ratusan ribu orang. Bahkan kuota jemaah haji setiap tahun selalu terbatas sehingga orang harus sabar menanti bertahun-tahun untuk mendapatkan giliran menunaikan ibadah haji. Banyaknya warga yang ngantri ingin menunaikan ibadah haji selian berasal dari orang yang sama sekali belum menunaikannya, juga berasal dari orang yang ingin menunaikan ibadah haji kembali meskipun wajibnya hanya satu kali saja. Banyaknya orang yang ingin menunaikan ibadah haji juga menjadi indikator bahwa banyak rakyat Indonesia yang hidup sejahtera dibalik banyak pula rakyat yang hidup kekurangan.
Budaya
Pelaksanaan ibadah haji disamping bisa dikaji dari konteks religi, juga dapat dikaji dari konteks budaya. Jika kita perhatikan, setiap orang yang berniat menunaikan ibadah haji, maka jauh-jauh hari sudah menabung. Bagi petani, mereka rela menjual sawah dan ladang untuk bisa menunaikan ibadah haji. Ketika mereka sudah dipastikan mendapatkan kuota, mereka pun intens melakukan bimbingan (manasik) ibadah haji sebagai persiapan untuk melakukan berbagai ritual ibadah haji. Menjelang keberangkatan, mereka pun melakukan syukuran (walimatussafar). Mereka mengundang tetangga dan sahabat untuk menghadiri syukuran. Kegiatan disamping diisi dengan do’a juga diisi dengan tausyiah dari seorang mubaligh.
Jika kita perhatikan, pada saat orang-orang menghadiri undangan, ada tradisi menyerahkan amplop sebagai bentuk “kebaikan” untuk “bekal” orang yang akan pergi haji. Padahal, logikanya tidak semata-mata orang akan pergi haji jika tidak memiliki bekal yang cukup baik untuk dirinya ataupun keluarga yang ditinggalkannya. Biasanya, amplop-amplop tersebut dicatat oleh orang yang pergi haji tersebut. Ketika pulang dari ibadah haji, orang-orang yang memberikan amplop tersebut diberikan cinderamata atau “oleh-oleh” haji walaupun membelinya dari di Indonesia. Mereka pun telah mempersiapkan oleh-oleh untuk yang  berkunjung ke rumah. Ada semacam beban psikologis ketika pulang ibadah haji tidak memberikan cinderamata kepada tetangga, walaupun hanya sebuah tasbih.
Ketika pergi dari rumah menuju tempat penampungan (embarkasi), mereka diantar oleh keluarga, tetangga, dan sahabatnya. Ada kalanya jemaah haji harus menyiapkan akomodasi dan transportasi bagi pengantar. Jumlahnya bisa bermobil-mobil. Dan juga, biasanya para pengantar, disamping mengantar jemaah haji juga sekalian jalan-jalan dan berwisata. Pemandangan iring-iringan pengantar jemaah haji mungkin hanya terjadi di Indonesia, sedangkan di negara-negara lain, ibadah haji dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja. Biasanya, orang satu kampung tahu tentang keberangkatan seseorang untuk beribadah haji.
Ketika mereka sampai di Mekkah-Madinah, mereka mereka melakukan rangkaian rukun ibadah haji seperti ihram (memakai dua lembar kain putih), thawaf (mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali), sa’i (lari-lari kecil sebanyak tujuh kali antara safa dan marwa), wukuf (berdiam diri dan berdo’a di padang arafah pada tanggal sembilan dzulhijjah), melontar jumrah, tahallul (menggunting rambut setelah melakukan sa’i), mabit (bermalam di Mina dan Muzdalifah). Selama menunaikan ibadah haji, para jemaah haji diwajibkan memanfaatkan waktunya untuk senantiasa beribadah kepada Allah SWT karena ibadah haji merupakan kesempatan yang sangat berharga dan istimewa untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.
Pada saat pulang ke tanah air, para jemaah haji siap-siap dijemput oleh keluarga yang sudah cukup lama menunggu. Mereka saling berpelukan disertai tangis bahagia karena dapat kembali ke tanah air dalam keadaan selamat karena tak sedikit jamaah haji yang pulang nama, meninggal dan dikebumikan di Saudi Arabia. Setelah itu, pada umumnya mereka biasanya dipanggil “Pak Haji” dan “Bu Hajah”. Tak ketinggalan, huruf “H” atau “Hj” juga dicantumkan di awal namanya. Tapi ada juga sebagian kecil orang yang tidak mau dipanggil “Haji” atau “Hajah” atau mencantuman “gelar” kehajiannya karena menilai haji bukan sebuah gelar, tapi terlihat dari peningkatan kualitas keimanan, ketakaqwaan, dan akhlak setelah menunaikan ibadah haji. Atau dengan kata lain, menjadi haji mabrur (diterima Allah).
Di kampung-kampung yang masih cenderung feodal, seorang haji mendapatkan posisi status sosial yang lebih tinggi dari warga yang belum menunaikan ibadah haji. Mereka dijadikan pemimpin dan sosok panutan. Sayangnya, tak semua orang yang telah menunaikan ibadah haji mampu menampilkan pribadi terpuji yang diharapkan sehingga suka muncul istilah “haji...haji...tapi...”. Banyak yang sudah pergi haji tetapi masih sombong, riya, ingin dipuji orang, pelit, kurang memiliki kepedulian sosial, pelit untuk beramal, tidak mampu menjaga perkataan, sikap, dan perbuatannya sehingga justru dilecehkan oleh orang lain. itulah gambaran haji yang mardud (ditolak Allah). Sekarang tinggal kembali kepada setiap jemaah haji, apakah dia menunaikan ibadah haji dilandasi niat ikhlas untuk lebih bertaqarrub kepada Allah, atau hanya sebatas mengejar gengsi atau status sosial. Dan jawabannya akan terlihat dari perkataan, sikap, dan perilaku pasca menunaikan ibadah haji.
Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar